Mengingat | 6

5.9K 836 145
                                        

Pria empat putera itu masih duduk di depan cermin, tangannya meniti tiap helai rambutnya sambil memicingkan mata ke depan. Kadang ia berdecak bahwa usianya tak lagi muda sejak anak-anaknya tumbuh dewasa. Belum lagi guratan tua di bawah matanya, di pipi dan keningnya menyiratkan masa tuanya telah berjalan. Suara langkah terdengar dekat, di cermin ia bisa tahu dengan jelas siapa yang datang?

"Kenapa rambutnya? Ada kutunya?" tanya wanita yang juga memiliki uban di rambutnya.

"Ubanku banyak, lebih banyak darimu."

"Mau kamu semir, Pa? Biar dikata masih muda? Kamu mau anak-anak kita tumbuh dewasa tapi kita masih muda? Ya enggak bisa dong, Pa. Sudah ayo sarapan dulu, anak-anak udah di meja makan loh," bujuk Arsha sambil menunggu suaminya beranjak.

Kezlin menoleh ke belakang dan berpikir sejenak, benar kata isterinya. Ia akan menjadi tua demi bisa melihat anak-anaknya tumbuh dewasa. Itu adalah hukum alam yang tak bisa dihindari, termasuk tumbuhnya uban-uban di rambutnya. Menjadi orang tua tak akan mengurangi cinta dan kasih keluarganya bukan? Justru mereka masih saja melimpahinya cinta kasih hingga detik ini.

Meja makan yang selalu diduduki anak-anaknya dulu semasa kecil, kini masih saja sama. Mereka tetap di sana dalam wujud manusia dewasa, obrolan mereka tak lagi soal mainan yang seru, teman sekolah dasar yang kadang menyebalkan, atau tambahan pelajaran di waktu perut terasa kempis minta diisi. Kini, obrolan mereka seputar Norio, sementara yang satunya seputar tempat kuliah yang semakin seru karena ada mahasiswa-mahasiswi baru.

"Selamat pagi, Pa."

Sapaan hangat dan senyum keempat puteranya selalu menjadi nada indah di pagi hari, mereka telah dirawat dan dididiknya dengan baik sehingga punya rasa sopan santun, kekeluargaan yang baik dan saling menyayangi. Ditambah seorang ratu yang selalu menyayanginya hingga saat ini, Arsha.

"Kadang ya, mama tuh pengen banget punya anak perempuan yang bisa bantuin mama masak," kata Arsha menaruh sambal terong di meja.

"Mama itu ditakdirkan menjadi satu-satunya wanita di keluarga ini, yang selalu dicintai kami para pria berlima." Arion menanggapi kata-kata mamanya.

"Huum, betul! Mama itu menjadi pusat perhatian kami setelah papa, mama dan papa adalah yang terbaik."

"Orangtua terbaik yang kami punya," kata Dean mengakhiri dengan tatapan cinta.

"Yang selalu memberi kami semua sentuhan tulus penuh cinta, terima kasih Papa, Mama telah menjadi orangtua kami," kata Alucian, adik paling kecil Alucio.

"Ouh, lihat-lihat, Pa. Anak-anakmu pandai sekali merayu mamanya." Arsha menyenggol tangan Kezlin sambil matanya sayup terharu.

"Ajaran siapa? Papa." Kezlin tersenyum manis pada isterinya.

"Terima kasih, para prianya mama, hhh terima kasih Tuhan atas segala rahmat yang Kauberikan pada kami," kata Arsha penuh syukur.

Kelima pria tampan itu menjawab amen dan mulai sarapan mereka pagi ini. Masakan sederhana dari tangan mamanya dibantu asisten rumah tangga yang baru.

"Mama, tolong sambal terongnya, Cian suka sekali sambal buatan Mama, mantap!" seru Alucian pada mamanya.

"Jangan banyak-banyak, Cian nanti kamu ada pertandingan 'kan?"

"Dikit kok, Ma. Mama nanti enggak usah capek-capek datang, itu pertandingan biasa." Alucian berkata sambil menyendokkan sambal terong di piringnya.

"Pertandingan lagi? Antar kampus?" tanya Alerion.

"Iya, Kak. Mereka mau tanding ulang, enggak terima kalau kita menang. Ya sudah," jawab Alucian.

"Mama nanti lihat ah, daripada di rumah bengong."

Equanimous #4 - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang