Izann tak berniat meminum kopi yang dipesannya dalam waktu dekat, atau nencicipi resep baru dari koki yang ditawarkan restoran. Ia hanya menatap pepohonan yang bergerak pelan dan pejalan kaki yang lalu-lalang di balik kaca restoran. Ujung jarinya mengetuk-ketuk meja, diamnya tengah membebaskan pikirannya yang berkelana ke mana-mana. Perhatiannya teralihkan ketika seseorang duduk di depannya, Sivan.
"Mau bicara apa?"
"Tak mau pesan sesuatu? Kopi, teh, atau minuman dingin," tawar Izann.
Sivan melipat tangannya di dada. "Bicara saja, aku sudah mau datang, itu kemajuan bukan?"
Izann menunduk dan menghela napasnya. "Aku akan melamar Zena."
Sivan masih mendengarkan apa yang ingin dikatakan Izann tapi, pria yang merupakan kakak kandungnya itu menunggu reaksinya.
"Hanya itu yang ingin kaukatakan?" tanya Sivan.
"Aku mengatakannya karena kau adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Adik kandungku." Izann menatap Sivan tepat.
Sivan tak mau berdebat lagi, tapi juga tak mau melupakan rasa sakitnya ditinggalkan. "Aku tak bida berbuat apa-apa untuk membantumu."
"Sampai kapan kau marah padaku, Sivan? Kita sudah sama-sama dewasa, kau adalah satu-satunya adik kandungku yang kupunya. Ratusan kata maaf memang tak akan merubah semuanya, tapi setidaknya kau ikut andil bagaimana pendapatmu mengenai itu?" tanya Izann panjang lebar.
Sivan terdiam untuk beberapa saat, kemudian berdehem. "Kau tahu siapa Zena? Siapa yang ada di dekatnya selama ini? Dean."
"Kami sudah bertemu dan dia justru menginginkanku membahagiakan Zena," kata Izann.
"Kalau begitu ya sudah lamar saja dia."
Izann menatap Sivan, merasa lebih baik setelah bicara dengan adik kandungnya. Mungkin Sivan tak hanya adik kandungnya, karena ada wanita cantik bernama Luisa yang menjadi kakaknya. Sivan tak tahu perasaan apa ini, yang jelas ia melihat Izann tersenyum lega juga membuatnya merasa nyaman, merasa dibutuhkan dan diingat.
Izann membiarkan Sivan pergi karena harus latihan. Sementara Izann masih duduk dan menikmati apa yang telah dipesannya, kopinya mendadak terasa manis. Izann meninggalkan restoran untuk membeli sesuatu, apa yang diperlukan seorang pria untuk melamar anak perempuan sebuah keluarga?
Mama Izann menatap lekat-lekat wajah puteranya, sejak anak kecil berusia sepuluh tahun datang ke rumahnya pertama kali, ia merasa naluri keibuannya keluar. Ia tak suka melihat Izann terdiam sedih memikirkan sesuatu, perasaannya begitu halus dan penuh pertimbangan. Ia yakin telah berpikir puluhan kali sebelum mengutarakan hal ini padanya.
"Mama hanya mama angkatmu, Izann. Tak pernah melahirkanmu ke dunia, tapi Tuhan mengantarkan berkahNya ke rumah ini darimu. Mama ingin melihatmu bahagia, Izann. Mama tahu siapa wanita yang kauingini," kata mama Izann lemah lembut.
Izann merengkuh kedua tangan mamanya. "Aku sudah pikirkan baik-baik, Ma. Papa pernah berkata padaku, bahwa Tuhan tak pernah marah pada kita jika berbuat baik. Aku mau membuka hatiku untuknya, Ma."
Mama Izann mengelus rambut anaknya. "Kalau begitu, bahagiakan dia, cintai dia selayaknya dia memanggil namamu di dalam doanya."
Izann bersimpuh di pangkuan mamanya, air matanya lolos. "Doakan Izann bisa bahagian Zena, Ma."
"Doa mama selalu untukmu, Sayang." Mama Izann mengecup kening Izann di pangkuannya. "Kalau begitu senyum donk, mau lamar anak orang kok malah nangis."
Izann tertawa kecil karena mamanya tahu bekas air matanya. "Izann sayang Mama."
"Harus. Ayo," ajak mamanya dengan senyum merekah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Equanimous #4 - END
RomanceUpdate sebisanya | 21+ ⚠Don't Copy My Story⚠ Erchilla memutuskan kembali pulang setelah kepulangannya beberapa tahun yang lalu. Ia menganggap jika Dean telah berubah mau menerimanya menjadi teman, teman lama. Tapi, semua bayangan Erchilla tak sama...