Perhitungan | 15

4.1K 677 111
                                    

Klinik Chilla telah selesai ditata dan dibersihkan dari debu-debu, perlengkapan juga sudah berada di tempat yang diinginkan. Ia melihat-lihat sekiranya jika pasien datang bagaimana reaksinya? Sampai pada ruangan di mana ia akan memeriksa pasien di sana, mengelus meja periksa dan tersenyum.

"Selamat pagi, Dokter Chilla," ujar seseorang yang kemudian tersenyum pada Chilla.

Chilla berbalik melihat Izann sudah di ambang pintu ruangannya sambil membawa sebuket bunga yang cantik. Pria yang lebih dewasa daripadanya mendekat dan memberikan apa yang dibawanya. Chilla menerimanya dengan senang hati.

"Selamat pagi, Kak Izann." Chilla mencium bunga yang dibawa Izann, menaruhnya di meja kerja dan mempersilakan Izann duduk.

"Aku suka suasanya, tenang dan nyaman. Sudah cari orang yang akan membantumu?" tanya Izann.

"Belum, masih mencari dan semoga segera dapat dan hari Senin sudah mulai bisa dibuka." Chilla menaruh minuman dingin dari lemari pendingin mini yang ada di ruangannya.

Izann mengangguk. "Mau kubantu mencari?"

"Boleh," kata Chilla yang duduk di depan Izann.

Izann menaruh minumannya dan menatap Chilla dengan intens. "Aku datang selain ingin tahu bagaimana rupa klinikmu, juga karena ingin katakan sesuatu. Sesuatu hal yang seharusnya kukatakan padamu sejak dulu."

Chilla tersenyum, "Serius sekali, Kak Izann?"

Izann memegang tangan Chilla lembut. "Chilla, asal kamu tahu, aku menunggu saat ini sudah lama dan saat inilah akan kuungkapkan perasaaanku. Chilla maukah kau jadi kekasihku?"

Ungkapan perasaan Izann terdengar serius di telinga Chilla, maka dokter wanita itu berhenti tersenyum dan mulai bingung tak tahu harus menjawab apa pada perkataan Izann. Chilla menunduk dan tersenyum menarik napasnya, menatap balik Izann yang masih menunggu jawahannya.

Di luar ruangan, seorang wanita menjatuhkan bunga yang dibawanya. Hatinya merasa teriris mendengar penyataan cinta yang Izann katakan, pernyataan yang ditunggunya selama ini tak pernah didapatkannya, akantetapi justru didengar Izann untuk wanita lain. Ia berbalik pergi dengan air mata berlinang, bagaimana menunggu bertahun-tahun dan dekat dengannya justru wanita lain yang mendapatkan cintanya?

Wanita itu menangis sambil berjalan ke luar, menghentikan taksi kosong yang melintas dan naik. Ia tak tahu harus berkata apalagi? Hatinya telah robek, patah dan menjadi kepingan kaca yang remuk. Tadinya, ia mengelak dengan semua kejadian manis yang diberikan Izann pada Chilla, perhatian lebih dan ratusan kali melihat Izann membicarakan Chilla dengan wajah merona.

Sopir taksi menatap bayangan penumpangnya lewat spion depan, memberikannya beberapa lembar tisu tanpa mau bertanya apa yang membuatnya menjadi demikian? Ia hanya bertanya ke mana tujuannya setelah itu menyetir tanpa berkata apa pun. Wanita itu sudah menyumpalkan tisu pada kedua matanya, berkali-kali mengusap tapi masih saja ada air mata yang jatuh. Ketika taksi mengantarnya tepat di tempat tujuan, wanita itu lantas masuk dengan langkah cepat ke kamarnya.

"Sudah pulang, Zena?" tanya wanita paruh baya yang sibuk dengan tangkai bunga di meja samping ruang tengah.

Wanita paruh baya itu tertegun melihat sikap Zena yang demikian. Sementara perempuan lebih muda dari Zena hanya memandang mamanya dengan mengangkat bahu. Wanita paruh baya itu mendekati kamar puterinya, mengetuknya beberapa kali tapi tak jua terbuka. Maria membuka pintu kamar puterinya langsung mendengar suara isak tangis Zena.

"Kenapa puteri mama nangis gini, hmm?" tanya Maria mengusap lengan Zena pelan.

Zena masih terisak dan mamanya masih setia menunggu, sampai wanita yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar itu mau berhenti menangis dan menatap mamanya. Maria tersenyum tipis mengusap air mata Zena yang berjatuhan.

Equanimous #4 - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang