Sisir yang dipegang Rose bukanlah tongkat sihir, karena tak mengeluarkan magic ataupun trik yang bisa membuat orang senang melainkan bisa membuat kepala benjol. Jangan meminta bukti karena korbannya sudah cukup banyak di kampusnya. Ia melirik tajam ke arah depan, tepat pada lelaki berkemeja biru dongker yang menatap balik ke arah Rose dengan kengah.
"Hei, harus begitu kauawasi aku seperti ini? Aku sudah janji tidak akan ikuti dia, ya Tuhaaan," keluh lelaki itu pada Rose.
"Harus! Kau itu seperti kutu saja ngikut ke mana Chilla pergi, dia itu bukan pacarmu, tunangan apalagi." Rose menjawab ketus sambil memicingkan matanya, tangannya tak lupa menunjuk Devine dengan ujung sisir.
"Bisakah kausingkirkan benda itu?"
"Kenapa? Kau ada pobia dengan sisir?" tanya Rose curiga, jemarinya mengelus sisir bagian dalam sambil melihat ke arah Devine.
Devine menjadi gugup dan salah tingkah, ia mengelus tengkuknya dan memalingkan muka ke arah lain. Sementara di tempat lain bibi tengah tertawa tertahan melihat dua orang yang sedang mengobrol tapi mengintimidasi lawan bicaranya dari dapur. Nenek Ash turun dan melihat Devine duduk di sebeeang sofa yang diduduki Rose, wajah keduanya pun tampak aneh.
"Devine enggak jadi ikut Chilla pergi?" tanya Nenek Ash turun dari tangga.
"E, tidak Nenek, dia jadi satpam begitu aku bisa ikut darimana?" tanya Devine pada Nenek Ash.
"Kau itu bukan anaknya Chilla yang ke WC aja ngikut. Ngapain ikut makan malam di rumah orang? Siapa tahu itu orang penting buat memperlancar kliniknya."
Nenek Ash duduk di sisi Devine sambil tersenyum. "Chilla memang meminta bantuan seseorang, orang bagian dalam yang paham soal perijinan klinik Chilla, jadi nenek rasa pembicaraan mereka penting. Bosen ya? Mau ikut nenek?"
"Ikut! Daripada di sini diintimidasi begini," keluh Devine.
"Huh, tukang ngadu selain tukang ngikut," gerutu Rose.
"Nenek mau ketemu teman yoga di rumahnya, nenek mau belajar menyulam," jelas Nenek Ash pada Devine.
Devine tersenyum aneh mendengar penjelasan Nenek Ash ke mana akan pergi. "E, begitu ya, Nek. Aduh, Devine 'kan cowok mana paham soal menyulam. Buah cempedak sudah!"
"Ya sudah, kamu di sini aja sama Rose, oke." Nenek Ash tersenyum dan bangkit dari duduknya.
Rose tertawa tertahan, tapi seterusnya menjadi tawa tergelak yang membuat telinga Devine terasa sakit. Rose menertawakan Devine yang tak jadi ikut karena jelas obrolan para wanita tua berbeda jalur dengannya. Devine mengangkat tangannya kemudian menghempaskannya ke paha.
"Yup! Tertawa saja terus," gerutu Devine bangkit dari duduknya.
Rose menahan tawanya saat melihat sikap Devine, setelah Devine pergi Rose tertawa lagi dan semakin kencang sampai terbatuk-batuk. Devine pergi ke dapur, mengambil minuman kemasan dan melihat ke arah Rose sambil mengomel dalam hati. Ia sempat diberitahu oleh Gita kalau Erchilla punya teman yang begitu dekat alias sahabat klop yang sangat care padanya. Tapi, Devine tak sampai mengira jika sahabat Erchilla begitu demikian menyebalkan.
"Kau tak ubahnya jadi kakek-kakek nemenin nenek-nenek menyulam, menyetel lagu keroncong hanuna hanuna la la la la sambil... sambil astaga," kata Rose yang tergelak kemudian karena membayangkan sendiri bagaimana ekspresi Devine.
"Ya, ya, ya! Senang sekali membuatku seperti ini, tersinakan!"
"Ternistakan!" Rose membenarkan sambil tertaww kemudian.
"Apalah itu, aku pergi! Sulit sekali belajar bahasa indonesia yang benar, huh pusing!" Devine pergi begitu saja meninggalkan rumah.
Rose masih dengan tawanya, ditahannya kemudian tergelak lagi. "Bulè sih bulè, tapi bulèpotan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Equanimous #4 - END
RomanceUpdate sebisanya | 21+ ⚠Don't Copy My Story⚠ Erchilla memutuskan kembali pulang setelah kepulangannya beberapa tahun yang lalu. Ia menganggap jika Dean telah berubah mau menerimanya menjadi teman, teman lama. Tapi, semua bayangan Erchilla tak sama...