Mimpi Dean | 28

5.5K 820 119
                                    

Chilla berusaha memejamkan mata sambil tidur menyamping kanan, akan makin canggung rasanya jika tidur terlentang atau miring ke kiri. Tubuhnya lelah dan hawa dingin yang merembes lewat celah jendela membiusnya perlahan. Ia sengaja menaruh tas ransel kecilnya di belakang punggung sebagai batasan jika dirinya kebablasan bergerak ke sisi lain ranjang.

Di sisi kanan ranjang, Dean membalik kepalanya menghadap ke kiri, ia tersenyum melihat Chilla sudah sedekat ini dengannya. Senyum Dean terulur ketika ingat jika dirinya belum benar meminta maaf atas kesalahannya yang lalu pada Chilla. Dean membebaskan tangan kirinya dan mengelus bayangan dokter wanita itu dari sisinya.

Chilla bergerak mengubah posisinya ketika merasa sudah nyaman, tak merasa harus membuat batasan tempat tidur dengan Dean karena telah terbuai oleh mimpi. Sementara Dean melotot dengan sikap siaga berjaga-jaga menyiapkan alasan jika Chilla bertanya apa yang telah dilakukannya. Tapi, Dean bisa bernapas lega ketika Chilla tak terbangun dan tetap di alam mimpinya.

Jika Dean hanya bisa menatap dokter umum itu dari jarak minimal satu meter atau setengah meter, kini ia bahkan bisa melihat pori-pori kulitnya. Betapa halus dan kemulusan kulitnya begitu alami dan harum. Netra Dean bergerak ke bawah namun di atas dagu, sebentuk bibir yang merah muda dipoles lipstik tipis. Dean berbalik, jika biasanya ia didekati oleh gadis-gadis cantik dari berbagai rupa dan kasta tapi tak tertarik sama sekali, kali ini berbeda. Ia merasa wajahnya memerah dan panas padahal AC masih setia menyala.

"Dean." Sebuah suara membuatnya menoleh.

Chilla mengibas-kibaskan tangannya ke arah lehernya yang jenjang dan mengangkat rambutnya dengan satu ikat. Dean melongo dan tertegun di tempat, wanita cantik penyuka kucing itu terbangun dan memanggilnya.

"Apa?"

"Gerah banget, AC-nya mati ya?" tanya Chilla menatap AC yang terpasang di tengah ruangan kamar.

Dean menatap ke arah yang sama kemudian mencari remot AC, "Kurasa ada masalah, tak dingin."

"Gerah sekali, Dean. Boleh enggak aku minta ijin?"

"Buat?"

"Lepasin kemejaku, gerah banget sampai basah," kata Chilla.

Chilla tak menunggu jawaban Dean, tangannya telah bergerak duluan membebaskan kancing dari pengaitnya. Dean menelan salivanya, sungguh pemandangan di depannya begitu menarik, bagaimana tidak? Seorang wanita muda dengan kulit selembut sutera hanya memakai tanktop tipis selayaknya pakaian tidur dan satu ruangan dengannya.

"Kenapa menatapku begitu?"

Dean mengatupkan bibirnya dan melempar pandangan. "E, tidak, tidak."

"Ini baju tidur dari Devine, bagus kan? Sekalian kupakai tadi sebelum berangkat karena kupikir aku akan langsung tidur tinggal lepas pakaian luarnya," jelas Chilla.

Dean tak tahu harus menanggapi bagaimana, tapi Chilla justru bangkit dan duduk makin dekat jaraknya dengan Dean.

"Kau mau pergi keluar? Ini hampir dini hari. Maaf, aku mengganggumu, cuman aku enggak tahu harus minta tolong pada siapa."

"Tidurlah lagi, aku mau cari minuman."

"Boleh nitip, aku juga haus."

Dean keluar dari kamar dan menemukan showcase di sisi pojok bagian resepsionis. Ada pegawai penginapan yang berjaga sambil bermain game online di komputer, melayani permintaan Dean untuk membeli minuman. Ia mengambil dua kaleng minuman isotonik dan membayarnya, membawanya ke kamar sudah menemukan Chilla justru sudah menanggalkan celana jeansnya, berganti dengan celana pendek yang menunjukkan kaki jenjangnya.

Equanimous #4 - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang