Balas | 3

7.5K 856 184
                                    

Silas mengajak Erchilla ke mesin kopi yang tersedia di ujung lorong, membelikannya cup kopi dan memberikannya pada Erchilla. Erchilla tersenyum berterima kasih pada Paman Silas yang selalu baik padanya setiap bertemu.

"Bagaimana kabar keluargamu?" tanya pria yang sudah terlihat tua meski masih saja tampan.

Erchilla tersenyum setelah menyeruput kopinya. "Baik, tadi mampir sebentar untuk ketemu dokter Arswen tanya Paman Silas ada di mana, eh malah ketemu di sini."

"Baru datang dan langsung mencari paman?" tanya Silas yang tersenyum.

"Iya, mau minta tolong Paman buat jadi partner buat urus ijin praktek, Paman Silas tahu seluk beluk perijinan di sini 'kan?" tanya Erchilla.

Silas mengangguk sebentar. "Bisa, jadi kamu mau tinggal di sini lama?"

Erchilla mengangguk pelan, "Iya, rencananya begitu. Mau dirikan klinik saja di sini, dan... tinggal lama."

"Bagus, cita-cita yang mulia harus direalisasikan." Silas mengacungkan jempol. "Kamu tenang saja, paman akan bantu sampai klinikmu berdiri."

"Beneran, Paman? Terima kasih," senyum Erchilla manis. "Kalau gitu, Erchilla pamit dulu ya. Sampai jumpa Paman, hubungi Erchilla di kartu nama itu ya."

"Sampai jumpa," kata Silas mengiyakan.

Erchilla pergi dengan langkah ringan, tujuannya telah tersampaikan dan hanya menunggu proses selanjutnya yang nantinya akan dibantu Silas. Ponsel gadis cantik itu berdering, dan begitu diangkat suara neneknya yang tetap lembut terdengar. Sementara Silas memungut bola bekel yang menggelinding terantuk sepatunya, menunduk dan memberikannya pada gadis kecil yang memakai tongkat penyangga kecil di bawah lengan kanannya.

"Terima kasih dokter Ganteng," kata gadis kecil itu tersenyum pada Silas.

"Sama-sama, Elisa. Ayo, kembali ke kamarmu lagi," pinta Silas yang membantu gadis kecil itu kembali masuk ke ruang rawat inapnya.

Gadis itu melambaikan tangan pada Silas, di matanya Silas adalah dokter muda yang terlalu tampan dan baik hati, tak jarang Ia dibantu dokter Silas kembali ke kamar rawat inapnya ketika ibunya pergi mengambil obat. Tapi, dalam pandangan orang dewasa, wajah Silas sama dengan wajah dokter lainnya, berwajah tua, berkeriput, berjanggut putih dan memakai kacamata yang tak modis. Silas kembali menyusuri lorong, mengabaikan tatapan manis gadis kecil bernama Elisa.

Silas membuka pintu ruang kerjanya, sudah ada seseorang yang duduk angkuh di kursi depan meja kerjanya. Silas tahu siapa pasiennya yang pertama selepas jam istirahat ini, Ia duduk dan menatap pasiennya sambil berdehem.

"Ada angin apa hingga membuatmu datang menemuiku?"

Pria berkemeja hitan itu menyatukan tangannya di atas meja kerja Silas. "Ini soal wanita. Kau paham benar soal ini, dia ulang tahun kado apa yang cocok untuknya, waktumu satu menit."

Silas tersenyum. "Perlakuan yang manis dan bunga."

Pria itu bangkit seketika dan pergi begitu saja tanpa ada ucapan terima kasih apapun. Suster yang membawa map masuk bersamaan dengan pasien Silas sampai melongo karena sikapnya yang serampangan dan mempunyai aura gelap keluar dari ruangan dokter.

"Pasien itu sudah selesai, Pak?"

"Sudah, hanya beberapa menit perlunya."

Suster itu tersenyum saja dan mencentang nama pasien yang sulit sekali ditanyainya tadi. "Pasien Dathan, cek."

♧♧

Erchilla menunggu jemputan online yang akan mengantarnya pulang ke rumah, Nenek Ash sudah menunggunya pulang bersama Rose di rumah. Rose berteriak di telepon berkata jika sedang membuat kue di dapur, sungguh Rose teman yang energik. Suara klakson mobil terdengar, mobil metalik dengan nopol yang sama dengan yang ada di aplikasi menurunkan kaca, benar itu sopir mobil yang akan mengantar pulang.

Equanimous #4 - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang