Dean terdiam, tapi pikirannya berkelana ke mana-mana. Tak hanya itu, ia mengusap keringatnya sambil menggigit bibir sebelum masuk ke dalam toko. Itu hanya toko binatang, menjual anak kucing yang berbulu lembut tapi terlihat menyiksa bagi Dean. Pegawai toko yang membawa alat pembersih kaca melihat gerak-gerik Dean dengan heran.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya pegawai wanita itu pada Dean.
Dean berbalik dan terlihat cemas sendiri. "E, e, tidak, tidak. Tidak apa."
"Oh, begitu." Pegawai itu pun tersenyum tipis dan mulai membersihkan dinding kaca di belakang Dean.
Dean ingin segera menjauh dari toko binatang itu, pergi sejauh mungkin dan tak mendengar kuku-kuku kucing mungil itu menggaruk-garuk dinding kaca. Rasanya luka semasa bayinya ikut tergores kembali di kulitnya, sampai ia perlu memejamkan mata karena ingatan itu begitu menyiksa. Tapi, jika ia pulang begitu saja tanpa ada usaha untuk meminta maaf pada Chilla, mamanya akan menatapnya pedih dan mengabaikannya lagi.
"E, Mbak," panggil Dean pada akhirnya.
Pegawai yang sudah asyik membersihkan dinding kaca sedikit terkejut menoleh pada Dean. "Iya, Pak?"
"E, apakah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?" tanya Dean menunjuk sekilas ke arah anak-anak kucing mungil yang saling bergelut manja di dalam tempat hangat pajangan toko.
"Tentu saja, silakan masuk saya akan beritahu prosedurnya," kata pegawai toko itu ramah pada Dean.
Dean menggaruk kedua lengannya, mengusap pelan sebelum benar-benar masuk dan melihat ada banyak anak-anak kucing yang mengeong padanya. Mereka menatap Dean dengan lembut, tapi Dean tidak demikian, justru ingin menendang mereka jauh-jauh darinya. Akantetapi, ia perlu salah satu dari penerus kelangsungan hidup kucing itu dibungkus dan dikirim ke rumah Chilla.
Dean duduk dengan gusar, jika di lain waktu ia dibuat gusar oleh para investor kini ia dibuat gusar, gatal dan gemetar oleh anak-anak kucing yang mengeong menatapnya, meminta dibawa pulang olehnya. Dean menulis identitasnya di kertas sambil berkeringat, sungguh bukan situasi di mana dirinya bisa tenang menghadapi sesuatu yang terlihat biasa saja.
"Bapak baik-baik saja?" tanya pegawai itu pada Dean sambil mengulurkan beberapa lembar tisu.
Dean menerima lembaran-lembaran tisu dan meremasnya kemudian mengusapnya ke kening dan pelipis di mana aliran keringatnya berada. "E, sedikit takut, tapi tak apa."
"Bapak yakin baik-baik saja, kulit Bapak memerah dan berkeringat, wajah Bapak juga pucat. Bapak takut sama kucing?" tanya pegawai itu tepat sasaran.
"Iya, aku takut kucing, Mbak. Tapi, tak apa ini bukan buatku dan aku akan baik-baik saja jika tak menyentuhnya." Dean menenangkan dirinya sendiri dengan beberapa kali menarik napas dan mengembuskan.
"Atau perlu kuteleponkan dokter? Bapak terlihat pucat sungguh," kata pegawai itu khawatir.
"Tidak apa, apa ini sudah cukup membuat salah satunya diadopsi?" tanya Dean.
"Bapak mau yang mana?" tanya pegawai itu menerima formulir identitas Dean.
Dean menggerakkan tubuhnya ke arah anak-anak kucing, mereka mengeong dan mengangkat kepala pada Dean. Mata mereka jernih, bulunya halus dan tentu saja sehat dan siap adopsi. Dean tak tahu caranya memilih kucing yang tepat, menyentuhnya saja enggan tapi memang kucing adalah sogokan yang pas untuk Chilla.
"E, Mbak saja yang pilihkan mana yang sehat dan lucu," kata Dean enggan mendekat.
"Baiklah, ini lucu dan bulunya halus, semuanya sehat kok, Pak. Sudah dikasih vaksin juga." Pegawai itu mengambil salah satu anak kucing berbulu abu-abu, matanya bulat dan manis sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Equanimous #4 - END
RomanceUpdate sebisanya | 21+ ⚠Don't Copy My Story⚠ Erchilla memutuskan kembali pulang setelah kepulangannya beberapa tahun yang lalu. Ia menganggap jika Dean telah berubah mau menerimanya menjadi teman, teman lama. Tapi, semua bayangan Erchilla tak sama...