33. Sebuah Cara

2.2K 189 1
                                    

Happy Reading & Enjoy All

"Ceritain tentang Taliana."

Marcell memutuskan untuk melakukan gencatan senjata. Meski dia jengkel sekali dengan sifat keras kepala Tatiana yang terus menyalahkan dirinya sendiri, tapi di balik semua itu Tatiana mengalami depresi berat. Perlahan-lahan, yakin Marcell, dan Tatiana akan memahami bahwa semua ini tidak seperti yang dia bayangkan. Dan untuk itu Marcell merasa perlu tahu banyak untuk melancarkan rencananya.

"Kenapa lo tiba-tiba mau tahu tentang Taliana?" Tatiana bertanya dengan kening berkerut. "Bukannya lo nggak suka ya sama Taliana? Kenapa ngungkit-ngungkit dia sekarang."

"Kapan gue pernah bilang kalo gue nggak suka Taliana?" Marcell bertanya dengan tatapan tetap fokus pada jalanan di depannya.

"Setiap kali gue bawa-bawa nama Taliana lo selalu marah-marah. Kata-kata lo jadi kasar."

"Menurut lo karena siapa gue jadi seperti itu? Yang jelas itu bukan karena orang mati."

Itu karena gue yang bodoh, cicit batin Tatiana sambil merengut. "Iya, iya gue tahu!" ketus perempuan itu. Tanpa disadari Tatiana, Marcell menyeringai senang mendengar nada ketus seperti ini.

"Ceritain tentang Taliana. Dia saudara kembar lo, jadi gue pengen tahu banyak tentang dia."

Tatiana mencari posisi bersandar yang nyaman di kursinya. Kepalanya terdongak untuk berfikir, lalu senyumnya terukir. Sosok Taliana memenuhi pikirannya sekarang.

"Gue dan Taliana benar-benar identik. Sangat identik. Apalagi Mama sering banget beliin kami barang-barang yang serupa dan kami juga sering memakainya bersama-sama. Gue yakin pasti sulit banget buat bedain kami berdua."

"Termasuk Mama lo?"

Tatiana tertawa kuat, merasa lucu dengan pertanyaan Marcell. "Mama pengecualian, hanya dengan gerak-gerik kami saja Mama sudah tahu apakah itu Tatiana atau pun Taliana. Tapi kalau Papa mungkin."

"Karena kalian nggak begitu dekat dengan Papa?"

"Mama dan Papa bercerai, lalu kami dibawa Mama ke Kanada. Kami tumbuh besar di sana. Kami benar-benar jarang berkomunikasi dengan Papa. Sampai akhirnya Mama meninggal dan Papa membawa kami ke Indonesia."

"Dan Papa lo nggak bisa bedain kalian berdua?" Marcell tertawa, tapi tanpa dia sadari tatapan Tatiana mulai kosong.

"Papa bahkan belum sempat bertemu kami, jadi bagaimana bisa Papa mengenali kami? Kami diculik saat perjalanan menuju rumah di Indonesia." Jawab Tatiana lalu berdecih. Senyumnya terlihat masam. Rasanya Marcell ingin memukul mulutnya yang tadi sempat tertawa di saat Tatiana teringat momen buruk.

"Sorry, gue ngingetin lo lagi tentang itu."

"It's okay, tanpa diingetin pun gue selalu inget, Marcell. Bukan masalah besar, kok."

"And then?"

"And then... kami diculik, disiksa, lalu Taliana nyuruh gue kabur sendirian, dan sayangnya gue pingsan sebelum ketemu penyelamat gue. Dan setelah sepuluh hari koma, gue dapet kabar Taliana meninggal. Mimpi buruk gue di mulai setelah itu."

"Tatiana, sebenernya gue bingung kenapa Papa lo begitu menyembunyikan lo. Seriously, bahkan Papa gue yang notabene-nya temenan sama Papa lo pun nggak tahu nama lo. Gue hampir nggak percaya, dan sampe detik ini pun gue masih susah percaya."

Tatiana terkekeh. "Papa bilang untuk kebaikan gue, tapi detailnya gue nggak tahu. Lebih tepatnya nggak mau tahu."

"Dan ini adalah salah satu kesalahan lo," tuding Marcell dengan cepat. Tatiana merengut karena  detik itu juga. "Dengerin gue dulu..." sela Marcell dengan cepat kala menyadari Tatiana merengut. Mungkin dia jengkel karena disalahkan terus dari tadi olehnya. "Maksud gue adalah kenapa lo cuma menerima tanpa mau mencari tahu detailnya. Bagi gue ini sangat-sangat nggak masuk akal. Jenis kebaikan macam apa yang menyuruh anaknya menjauh-sejauhnya dari orangtuanya? Takut bahaya? Bukannya dengan lo sendirian di luar negeri itu lebih bahaya? Dan setelah menjauh, apa lo baik-baik saja?" Tatiana menunduk terdiam. "Seperti kata gue, ini hidup lo. Lo berhak tahu semuanya meski itu direncanakan oleh orangtua lo sendiri. Mungkin aja dengan tahu sedikit kebenaran tentang ini rasa sakit di hati lo akan sedikit tertolong."

"Sebenernya gue takut, Marcell. Gue takut kalo kenyataannya nggak akan seindah bayangan lo. Gue takut tersakiti lagi, apalagi oleh Papa gue sendiri."

Marcell melepas tangan kirinya dari kemudi, lalu menaruhnya di atas tangan Tatiana yang saling meremas di pangkuannya. "Lo punya gue, percayalah." Marcell ikut meremas tangan Tatiana untuk menyalurkan keyakinannya.

"Thanks, ya. Gue merasa beruntung bisa bertemu lo, Marcell."

Dan entah kenapa perasaannya begitu membuncah. Dia bahagia mendengar itu.

***

"Lo seriusan mau masuk? Nggak usah deh kayaknya. Gue bisa menangani semuanya sendiri." Tatiana menahan lengan Marcell, berusaha menahan agar pria itu tidak masuk dan bertemu Papanya. Dia punya firasat buruk. Papanya pasti marah besar.

"Gimana caranya? Marah-marah dan kehilangan kendali lalu berakhir mabuk-mabukkan seperti semalem? No, nggak akan gue biarin. Kali ini gue yang bakal menjelaskan."

"Tapi, Marcell..."

"Gue yang nelpon beliau malem-malem dan mengatakan kalo lo nginep di apartemen gue. Dan gue yakin seribu persen pagi ini dia pasti pengen denger penjelasan detailnya dari mulut gue langsung, bukan dari lo."

Tatiana berusaha menahan pria itu, tapi deheman yang cukup keras membuatnya mematung di tempat. Papanya berdiri menyaksikan pertengkaran kecil mereka.

"Kenapa kamu menghalang-halangi Marcell untuk masuk, Tatiana. Papa benar-benar menunggu pria itu datang dan menjelaskannya secara langsung.

"Pa,"

"Terima kasih, Om. Kalau diizinkan, boleh saya masuk sekarang?"

Marcell ini benar-benar menjengkelkan. Tatiana berusaha agar pria itu tidak digertak oleh Papanya, tapi bukannya mengerti lalu pergi, pria itu justru menantang mautnya sendiri.

"Om, saya datang untuk meminta maaf sekaligus memulangkan Tatiana. Dia tidak kurang sedikitpun."

"Saya heran dengan anak muda jaman sekarang. Apakah mereka seliar kalian berdua? Atau memang ini hanya kalian saja? Dan Tatiana... kamu semakin tidak terduga. Bukankah Papa sudah melarang kamu untuk berhenti bersikap seperti perempuan murahan? Jangan menantang Papa, Tatiana."

"Maaf, Pa." Tatiana menunduk, walau sebenarnya dia tidak terlalu digerogoti oleh perasaan menyesal. Ini hanya kesopanan.

"Dengan kamu yang seperti ini Papa semakin yakin akan mengirim kamu kembali ke Kanada."

"Om, jangan salahkan Tatiana, salahkan saya saja."

"Siapa kamu, Marcell, sampai mau menanggung kesalahan anak saya?" Bobby Aruan memandang Marcell dengan sinis.

"Tatiana mengatakan akan ke Kanada, dan dia juga mengatakan kalau waktunya di sana tidak terbatas oleh waktu. Semua tergantung pada Om," Marcell menjeda. "Dan saya nggak mau berpisah dengan Tatiana tanpa waktu yang jelas, Om. Saya nggak bisa biarin Tatiana pergi begitu saja."

"Lalu apa mau kamu, hah?"

"Om, semalam saya dan Tatiana menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol, dan kami saya mendapatkan satu keinginan saya." Marcell menarik nafasnya, lalu menajamkan matanya. Berkali-kali dia menegaskan dalam hatinya kalau ini adalah yang terbaik. "Saya akan menikahi, Tatiana."

TBC

Semoga suka :)

Doakan saya bisa konsisten, please :)

2 Februari 2019

Losing You | #1 Twins SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang