"Seulgi." Panggil seseorang tiba-tiba.
Seulgi mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedang dimainkannya. Ketika dia menengok ke sebelah kanannya, seketika matanya membulat. Di sana, telah hadir sosok terakhir yang ingin dilihatnya saat ini. Irene berdiri tidak jauh darinya, hanya beberapa langkah darinya. Jari jemari gadis itu tidak hentinya memegang ujung jersey lama bernomor dada 20 milik Seulgi yang dikenakannya dengan gugup.
Gadis berambut cokelat itu bangkit dari duduknya dari kursi panjang di koridor ruang ganti. Ponsel yang ada dalam genggamannya diletakkan dengan asal di kursi. Dahinya sedikit mengkerut ketika dia memperhatikan sosok Irene di depannya. Rambutnya indahnya yang biasanya digerai atau diikat dengan rapi, kini dibiarkan tergerai liar layaknya orang yang kurang terurus. Wajah Irene yang biasanya cerah, kini terlihat murung, seperti begitu banyak kesedihan yang menyelimutinya. Sorot matanya yang biasanya hangat, kini mendadak suram. Mata gadis berambut hitam itu juga bengkak, seperti habis menangis. Dia juga menyadari perubahan lain pada tubuh mantan kekasihnya itu. Tubuhnya yang biasanya terlihat sehat dan berisi, kini lebih kurus dari biasanya. Walaupun Seulgi ingin menampiknya, namun di hati kecilnya dia merasa khawatir dengan perubahan yang terjadi pada mantan kekasihnya ini.
Apa yang terjadi?
Apakah kamu jadi stress sekarang?
"Irene." Panggilnya lagi. Entah kenapa namanya sekarang terasa begitu asing di bibirnya.
Gadis berambut hitam itu semakin mendekat, namun Seulgi membiarkannya. Dia juga membiarkan telapak tangan Irene meraih pipinya dan mengusapnya lembut. "Aku merindukanmu." Ungkap gadis itu pelan.
Seulgi menghela nafasnya pelan. Dengan lembut dia melepas tangan Irene yang berada di pipinya. "Sebentar lagi pertandingan akan dimulai. Aku harus segera ke dalam untuk briefing bersama timku."
Irene hanya menggangguk mengerti. "Bisakah kau disini lebih lama lagi?" Wajahnya menatap Seulgi dengan memohon.
Pandangan Seulgi melunak. "Irene, maaf aku tidak bisa."
Dalam hatinya, Seulgi mengutuk dirinya sendiri. Dengan besar hati, dia harus mengakui sesuatu. Sebesar apapun rasa bencinya terhadap Irene karena apa yang telah dilakukannya, dia tetap tidak bisa memperlakukan mantan kekasihnya itu dengan kasar. Bahkan ketika melihat kondisinya yang mengenaskan, dia tetap berbicara secara lembut dengannya seperti saat ini. Andai saja Tuhan tidak mentakdirkannya sebagai orang dengan hati yang lembut, ingin sekali rasanya dia menjadi orang yang tidak punya perasaan. Sehingga dia bisa bersikap tidak peduli seperti yang dia inginkan.
"Aku mengerti." Irene mengangguk lagi. "Waktu itu kamu pernah berjanji kita akan bicara serius. Kau masih mau menepati janji itu kan?" Tanya Irene dengan penuh harap sambil menggenggam jersey yang Seulgi kenakan.
Seulgi tersenyum padanya. "Aku sudah berjanji. Kita akan bicara nanti, setelah aku selesai bertanding. Aku ingin menyelesaikan tanggung jawabku dulu di tim sebelum menyelesaikan masalah kita."
"Oke."
"Aku harus pergi sekarang. Pelatih Oh dan yang lain sudah menungguku." Ujar Seulgi tiba-tiba.
Irene mengangguk lemah mengiyakan. Belum sempat Seulgi beranjak, dengan kuat Irene menarik jersey yang dia kenakan, sehingga tubuh Seulgi sedikit membungkuk ke depan. Memanfaatkan momentum tersebut, Irene meraih wajah Seulgi dengan tangannya yang bebas dan mencium bibirnya dengan lembut.
Sejenak, otak Seulgi seperti berhenti berpikir. Matanya membulat saking kagetnya. Tubuhnya membatu layaknya patung yang berada di kelas seni mereka. Sekeras apapun dia ingin menampik, dia tak dapat mengendalikan debaran jantungnya yang berdegup sangat kencang. Sejenak, kesadarannya seperti hilang ditelan waktu. Seulgi seperti masuk ke dalam dimensi lain, dimana hanya ada Irene dan dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kang 20
FanfictionSeulgi Kang, seorang striker kebanggaan Galaxy Academy percaya bahwa ia tidak punya waktu untuk cinta. Mimpinya sebagai pemain sepak bola dan tanggung jawabnya untuk menjaga adik dan neneknya membuatnya tidak tertarik untuk berkencan. Namun ketika I...