Goal Kick

1.1K 180 15
                                    

Irene menghirup minumannya sejenak, merasakan bagaimana aroma kuat dari whiskey menghipnotis indra penciumannya. Ia lalu meneguk gelas whiskeynya dalam sekali tegukan. Whiskey yang diminumnya membuat tubuhnya seketika menghangat. Sejenak, ia merasa lebih ringan seperti balon gas yang melayang di udara. Ia lalu tertawa keras walaupun tidak ada yang perlu ditertawakan. Suara tawanya membuat beberapa orang disekitarnya menoleh, namun mereka tidak berbuat apa-apa selain hanya memandangnya dengan tatapan aneh. Ia lalu terkekeh pelan, gelas whiskeynya dicengkramnya kuat dalam genggamannya. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia sudah gila? Oh mungkin iya, mungkin ia perlu ke psikiater sekarang untuk mengecek kondisi mentalnya. Atau mungkin ini efek karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol? Ia sadar telah kehilangan hitungan gelas whiskey yang sudah diminumnya sejak tadi.

Tidak jauh darinya ia melihat Rosé sudah tidak sadarkan diri di bar. Sepertinya sahabatnya itu sudah sangat mabuk. Ia lalu menghela nafas pelan dan menghapus air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya. Noda hitam terlihat saat ia mengusap matanya. Ia mengutuk dirinya, jika tadi ia menggunakan maskara waterproof, ini tidak akan terjadi. Mungkin saat ini wajahnya terlihat sangat mengenaskan.

Gadis bersurai hitam itu menatap sekeliling, namun penglihatannya mulai kabur. Mungkin ia sudah melewati batas kadar alkohol yang menjadi toleransinya dan sebentar lagi akan tumbang seperti Rosé. Ia bisa memprediksi dirinya akan mengalami hangover ketika pagi nanti, namun ia tidak peduli. Saat ini ia tidak dapat berpikir jernih dan merasa butuh pelampiasan. Bahkan minuman favoritnya tidak dapat menghilangkan rasa pedih di hatinya. Ia butuh lebih banyak lagi.

Belum sempat ia menenggak minumannya, seseorang merebut gelas whiskeynya. Sontak ia pun menengok cepat, ingin memaki orang yang mengganggunya. Tapi makian itu hanya tertahan di tenggorokan ketika melihat raut wajah Jisoo yang memandangnya dengan serius.

"Hentikan, Rene! Kau sudah mabuk! Lebih baik kita segera pulang." pinta Jisoo.

Irene menggeleng pelan. Ia lalu berusaha mengambil gelas whiskey yang direbut Jisoo. Melihat itu, Jisoo semakin menjauhkan gelasnya. Dari kejauhan Irene tampak seperti anak kecil yang sedang berebut mainan.

"Berikan whiskeyku, Soo! Aku mau whiskeyku!" Teriaknya sambil berusaha mengambil gelasnya.

Melihat itu Jisoo dengan cepat meneguk whiskeynya. Ia lalu tersenyum penuh kemenangan sambil menunjukkan gelas kosong kepada sepupunya. "Lihat? Sekarang whiskeymu sudah habis! Ayo kita pulang!"

"Kau benar-benar keparat, Jisoo!" Irene lalu mendekati bar dengan sempoyongan. "Berikan aku whiskey lagi, Scott!" Pintanya dengan kasar.

Bartender yang bernama Scott itu hanya memandangnya sejenak lalu meneruskan pekerjaannya kembali. Melihat itu emosi Irene tersulut, ia lalu mendekatinya dan mencengkram kerah bartender itu dengan kasar. "Kau tidak dengar huh? Aku bilang aku minta whiskey lagi!"

Jisoo menarik Irene dengan kasar. Ia menoleh ke arah Scott sambil berbisik maaf dengan pelan. Irene menggeliat dalam cengkraman Jisoo, namun tidak sekalipun Jisoo melepasnya. Ia lalu menyeret Irene dan menghempaskannya ke sofa. "Kau diamlah disitu, aku akan mengurus Rosé dulu."

Irene lalu bangkit dan mencoba melawan. "Kau tidak mengerti Soo! Aku hanya ingin whiskeyku!"

"Tidak Rene, kau sudah mabuk! Kita harus pulang sekarang!"

Irene menggeleng pelan. "Tidak Soo, aku hanya ingin whiskeyku! Aku janji padamu hanya satu gelas lagi." Pinta Irene pelan. "Aku butuh pelepasan, Soo. Rasanya sakit sekali. Tolong berikan aku segelas lagi, aku janji hanya segelas lagi. Aku tidak tahan― aku mohon." Ucapnya sambil terisak.

Pandangan Jisoo melunak. Irene yang biasanya cantik kini jauh berbeda. Rambut yang tidak karuan, mata yang bengkak memerah sehabis menangis, make up yang kini berantakan, serta lebam di sudut bibirnya yang sangat terlihat membuatnya terlihat mengenaskan. Jisoo menarik gadis yang menangis tersebut dalam dekapannya. Lama kelamaan tangisnya semakin keras, Irene semakin menenggelamkan dirinya dalam dekapan Jisoo, memeluknya erat. Jisoo hanya terdiam mendengarkan tangisan sepupunya. Sesekali ia mengusap punggungnya pelan, berusaha membuatnya tenang, walau ia tahu itu tidak akan membuatnya tenang. Tidak, ia tidak pernah bisa membuatnya tenang jika Irene seperti ini.

Kang 20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang