5. Akhir Kisah Cinta Pertama

4.5K 217 3
                                    

Dengan penuh kesabaran Adnan menunggu kedatangan seseorang di pintu gerbang. Kata Nisa kemarin, Aisyah akan datang ke sekolah hari ini. Itu berarti gadis itu sudah sehat sekarang. Ini adalah waktu yang tepat untuknya meminta maaf. Lelaki itu tersenyum tatkala netranya menangkap seorang gadis yang baru saja turun dari mobil. Segera ia melangkah mendekati Aisyah.

“Syah!” panggilnya dengan melambaikan tangan. Namun, lelaki itu bingung, mengapa Aisyah tidak menoleh padanya. Apakah Aisyah tidak mendengarnya?

“Aisyah!!” Adnan terpaksa memegang pundak Aisyah dari belakang sehingga membuat Aisyah harus berbalik.

“Apa yang kau lakukan?!” Aisyah geram, bisa-bisanya Adnan berani menyentuhnya. Ia yakin kakak kelasmya ini pasti tahu batasan antara lelaki dan perempuan yang belum mahrom.

“Maafkan aku, tapi ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan."

Aisyah menghela napas. “Apa yang ingin kau katakan?” jawab Aisyah ketus.

“Aku hanya ingin meminta maaf tentang yang kemarin dan ....”

“Sudahlah aku sudah melupakannya. Maaf, tapi aku punya urusan di kelas.” Aisyah lalu pergi begitu saja tanpa melihat Adnan.

“Syah! Aisyah!” Aisyah tidak menyahutinya. Gadis itu tidak ingin lagi mendapat kecewa karena akan rasa sakit di tubuhnya. Trauma? Tentu. Selama hidup Aisyah tidak pernah mendapat hukuman fisik dari kedua orang tuanya. Tapi efek bully itu masih melekat di tubuh Aisyah. Setiap kali membayangkannya itu membuat Aisyah kembali ketakutan.

“Aku tau, Syah. Kamu masih marah sama aku, maafkan aku.” gumam Adnan.

Menatap seorang wanita di hadapannya yang berjalan kian menjauh. Sedangkan Aisyah pergi membawa air matanya. Ia tak ingin berlama-lama berbicara dengan Adnan, karena ia bisa saja langsung menangis di depan lelaki itu.

Sudah cukup ia menganggu kisah Adnan dan Sarah. Walau ia sadari bahwa ia mulai menyukai lelaki itu. Tapi menjauhinya adalah keputusan yang baik agar tidak ada lagi yang terluka.

****

“Aisyah aku menyukaimu!!” teriak Adnan dari belakang.

Apakah pendengaranku sedang menipuku?

Aisyah diam, ia perlahan berbalik kembali menatap Adnan, berusaha sekuat mungkin menahan tangisnya.

“Aku ... tidak ... menyukai ... Kakak!” ujar Aisyah lirih. Ia pun berlari keluar, air matanya kini muncul setelah sekian lama. Gadis itu juga mencintai Adnan, tapi ia mengingat beberapa hari sebelum kelulusan tentang percakapannya dan Sarah.

Aisyah masih duduk diam di atas kursi panjang di teman sekolah. Tiba-tiba ada seseorang yang langsung ikut duduk di sampingnya dan itu membuat Aisyah terkejut.

“K ... Kak Sarah!” Gadis jilbab itu terkejut ketika melihat kakak kelasnya yang berpakaian biasa. Aisyah baru ingat kalau Sarah memang sudah di keluarkan dari sekolah.

“Sudahlah, duduk saja. Ada yang ingin aku sampaikan padamu.” Sarah masih belum menatap Aisyah, pandangannya hanya lurus ke depan.

“Ada apa, Kak?” Jujur saja Aisyah saat ini begitu takut. Yang membuat jemarinya bergetar dan dingin.

“Jangan memanggilku Kak, panggil aja Sarah. Perbuatanku padamu tidak pantas mendapat hormat, bahkan aku pantas mendapat hukuman. Kurasa aku sudah mendapatkannya.”

Aisyah hanya diam, mulutnya membisu, saat ini ia hanyalah mendengarkan perkataan dari Sarah.

“Maafkan aku, Aisyah. Aku membiarkan amarah yang menguasaiku. Aku benar-benar mencintai Adnan, aku bahkan rela memberikan semua yang kupunya untuknya. Aisyah apakah kamu mencintainya?” Pertanyaan yang begitu membuat hati Aisyah berdetak kencang. Walau Aisyah akui ia memang sudah menaruh hati pada Adnan.

“Sudah aku duga, kau pun juga menyukainya. Aisyah, apakah kau mau menerima permintaanku?” tanya Sarah dengan penuh harap, “kumohon tinggalkan Adnan. Aku tau aku egois, aku bodoh. Tapi aku sangat mencintainya. Tapi jika kau menyukainya kumohon tinggalkan dia.”

“Apa maksudnya ini?” batin Aisyah.

“Apa kau setuju? Kumohon!” Kini Sarah duduk di tanah dengan memegang kaki Aisyah.

”Sarah kumohon jangan seperti ini. Berdirilah!”

“Aku tidak akan berdiri, kecuali kau berkata iya!”

Aisyah menggigit bibir bawahnya. Berusaha meyakinkan hati dan berakhirlah dia dengan sebuah janji yang akan merubah takdirnya.

“Baiklah, baiklah. Aku akan menjauhinya. Sekarang berdirilah.” Aisyah pasrah. Ia hanya tidak ingin mempermalukan Sarah di depan umum.

“Makasih, Syah. Kamu memang adik kelas tersayangku!” Sarah memeluk Aisyah erat. Lalu segera pergi meninggalkannya.

Mengingat saja sudah membuat hati Aisyah sakit. Rasanya ia menyesal sudah mencintai makhluk ciptaan lebih dari pada mencintai Penciptanya.

Adnan terkejut ”Dasar pengecut!”  gumamnya, dengan meratapi kepengecutan dirinya sendiri.
Ucapan Aisyah selalu terngiang-ngiang dalam pikirannya. “Aku tidak menyukai kamu!” Adnan terduduk diatas lantai koridor. Kembali menatap gadis di depannya yang sudah sangat jauh dari jangkauan.

“Aku memang pengecut, Syah. Aku hanya bisa diam saat melihatmu menjauh. Berusaha meraihmu. Namun, tetap tidak bisa,” gumam Adnan pelan.

****

Aisyah menangis. Hatinya kembali teriris saat mengetahui bahwa Adnan juga mencintainya. Siapa yang harus disalahkan di sini? Apakah takdir? Ini semua adalah kesalahannya. Dengan membiarkan hatinya terbuka untuk orang lain, secara tidak langsung ia memberikan kesempatan untuk kecewa datang.

“Hiks ... hiks .... Maafkan aku ya Allah aku lalai terhadap-Mu. Kubiarkan hatiku terbuka untuk Hamba-Mu tanpa memperdulikan si pemilik hati yang sesungguhnya. Maafkan aku,” lirih Aisyah. Ia menangis sejadi-jadinya sehingga membasahi mukenanya, jam masih menunjukkan pukul 03:35 dini hari. Namun, gadis itu sudah bangun ditengah-tengah lelapnya semua makhluk hidup. Ia menyakini satu hal, salat di sepertiga malam akan bisa dikabulkan oleh Allah azza wajallah. Setelah melipat mukenahnya, Aisyah lalu bersiap untuk membersihkan tubuhnya.

****

Adnan masih berada dalam kamarnya, ia merasa lelah atas semua yang sudah menimpanya saat ini. Ditolak dan kemudian sekarang ia harus makan hati saat mendengar bundanya tengah berbicara asik dengan kakaknya yang jauh di sana.

“Apakah ia begitu berharga, sampai-sampai kalian melupakan bahwa kalian memiliki dua anak lelaki?” gumam Adnan kesal.

“Wahhh, Anak Mama kapan balik ke sini?”

“Inshaaallah minggu depan, Bun. Kalau aku nggak punya jadwal penting.”

“Iya, Nak. Asalkan kamu mau pulang. Bunda akan sabar nunggu.”

“Adnan ke mana, Bun?"

“Adnan masih ada di kamarnya, entahlah sejak tadi ia tak keluar-keluar.”

“Aku rasa,  Adnan sepertinya masih membenciku.”

“Ia tak membencimu, ia mungkin masih butuh waktu untuk menyadari kalau sebenarnya kamu itu sayang sama dia.”

“Semoga begitu, Bun. Yaudah Aku matiin dulu ya teleponnya. Soalnya aku aku lagi di kantor nih.”

“Sehat-sehat di sana ya, Assalamualaikum!”

“Iya, waalaikumsalam.” Bunda Maryam lalu mematikan ponselnya. Ia sangat bahagia kala mendengar suara Anak sulungnya, ditambah dengan kepulangannya nanti dari L.A. membuat wanita paruh baya itu tak berhenti untuk terus tersenyum.

”Kenapa, Bun? Kok senyam-senyum gitu. Entar kesambet, loh!”

“Enggak, Nan. Kakakmu akan datang seminggu lagi! Jadi Mama harus nyiapin semuanya untuk menyambut kakakmu!”

“Bagus sekali! Saking bagusnya membuatku semakin frustrasi!”  batin Adnan. Rasanya dunianya akan segera kiamat ketika kakaknya itu datang. Adnan tidak suka itu. Mungkin ia juga harus mempercepat harinya untuk berangkat ke London. Lanjut perguruan tinggi di sana, maka akan membuatnya jauh dari Rivan—kakak yang paling ia benci.

Bersambung

Jangan lupa vote dan coment ya!
J

azakallah 💓🍉

[Terus jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama]

RSS[1]: Ketika Hati Berucap [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang