20. Berkunjung ke Kantor Suami

4.2K 173 6
                                    


####

Udara dingin yang begitu memeluk setiap insan, membuat retina seorang wanita perlahan terbuka, ia mengumpulkan nyawanya sejenak lalu mengamati keadaan sekitar. Senyum di bibirnya terukir saat mendapati seorang lelaki yang tengah memeluknya, ia dapat merasakan kehangatan di dalam dekapan sang suami.

Good morning my beautyfull wife!”  Dengan suara serak layaknya orang yang baru bangun, Rivan tersenyum manis pada Aisyah.

Good morning to.” Pipi Aisyah kembali merona, kala mengingat malam yang telah menjadi saksi akan rasa cinta Rivan dan Aisyah .

“Mas, aku mau bangun,” pinta Aisyah.

“Kenapa? Mau Mas yang gendong?” Pipi Aisyah kembali memerah, dengan cepat ia mencubit lengan suaminya itu.

“Ihh apaan sih, Mas. Aku mau ke kamar mandi dulu!”

“Yaudah, pake ini!” Aisyah lalu mengambil selimut yang diberikan suaminya, dengan terbungkus selimut, ia lalu berjalan menuju kamar mandi.

“Aaww!!” Aisyah merasakan sakit di bagian bawahnya.

“Kenapa?!”

Aisyah menggeleng kuat, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Dari pada menunggu lama, Rivan memilih mandi di kamar mandi ruang tengah.

****

“Assalamualaikum warohmatullah.” Rivan dan Aisyah mengakhiri salat tahajudnya. Aisyah menyalimi tangan kanan Rivan.

“Maaf.” Rivan menundukkan kepalanya.

”Kenapa Mas minta maaf?” Aisyah mengernyitkan alisnya.

“Karena semalam ....”

Aisyah tersenyum. “Udahlah, Mas. Itu udah hak, Mas. Nggak usah minta maaf. Alhamdulillah Isyah terima dengan ikhlas kok.”

“Tapi tetap saja, saya merasa masih bersalah.” Aisyah menggeleng pelan.
“Udah, Mas. Nggak perlu di bahas oke. Kan kita niatnya karena Allah, jadi nggak perlu merasa bersalah.” Rivan menatap wajah istrinya, tidak terlihat raut penyesalan di sana.

Senyum di wajah lelaki itu merekah. Aisyah ikut tersenyum. Kini ia membuka mukenanya di depan Rivan. Ia tidak akan malu lagi memperlihatkan rambutnya.

“Rambut kamu masih basah. Tuh lihat mukenanya jadi ikutan basah,” kata Rivan.

Setelah melipat sajadahnya. Aisyah mengambil handuk putih dan berjalan mendekati Rivan. Lelaki itu nampak duduk di pinggir kasur dengan menekan layar ponselnya.

“Entar baru Isyah jemur. Rambut Mas Rivan juga masih basah. Sini biar Isyah keringin pakai handuk.” Gadis itu naik di atas kasur di belakang Rivan. Lalu segera menggosok-gosok kepala suaminya yang basah.

“Jadi inget Omah. Dulu Omah selalu ngeringin rambut saya saat selesai mandi,” kata Rivan.

“Omah itu neneknya Mas?” Rivan mengangguk.

“Omah yang udah rawat saya dari kecil hingga saya selesai menempuh pendidikan sekolah menengah atas.” Aisyah mengernyit.

“Bukannya Mas itu tinggal ama Bunda, ya?” Pertanyaan Aisyah seketika membuat Rivan kembali mrngingat masa lalunya.

“Enggak, Syah. Mas tinggal dengan Omah dan almarhum Opah di desa kecil. Itu karena tuntutan adik Mas sendiri.”

Rasa penasaran Aisyah semakin menjadi-jadi. Ia memang belum tahu banyak tentang kehidupan yang sudah Rivan jalani. Namun, Aisyah yakin, dengan kesuksesannya saat ini, suaminya itu pasti banyak melalui pahitnya kehidupan.

“Lah, kok gitu? Adik Mas kok jahat!” Mendengar istrinya yang kesal begitu membuat Rivan terkekeh. Rasanya lucu jika ia mengingat apa yang telah ia alami di masa kecilnya. Hanya karena adiknya yang tidak menerima keberadaannya membuat dirinya harus diasingkan di desa terpencil bersama omah dan opahnya.

“Bukannya jahat. Tapi dulu adik saya emang benci dengan saya. Jadilah saya dibawa ke desa, tinggal di sana, besar di sana, dan memulai tekad di sana.” Aisyah menghentikan aktivitasnya.

Gadis itu menatap takjub lelaki di depannya. Mengubah cobaan menjadi motivasi untuk melangkan yang kemudian mencapai titik kesuksesan.

“Isyah nggak nyangka bakal menikah dengan lelaki hebat.”

Rivan menoleh. Langsung ia mengecup singkat kening Aisyah. “Mas juga nggak nyangka bisa menikah dengan gadis yang hebat dan cantik ini.”

Aisyah terkekeh. Gadis itu kini yakin dengan pilihannya. Cinta terakhir yang ia idamkan telah menunjuk orang yang tepat, orang itu adalah Rivan, suaminya.

****

Setelah menjalankan salat asar, kini Aisyah hendak mencuci piring bekas makannya. Dering ponselnya bergetar dari saku roknya. Sebuah panggilan masuk dari sang suami.

“Assalamualaikum, Mas?”

“Waalaikumsalam. Kamu udah pulang kuliah belum?”

“Udah kok, Mas. Dari tadi, Mas udah makan siang belum?”

“Eeh, belum sih. Tadi saya bisa beli nanti. Tunggu saya pulang, ya.”

“Meeting-nya gimana? Lancar?”

“Alhamdulillah. Sekarang saya lagi ngurus berkas yang menumpuk. Yaudah saya matiin teleponnya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Panggilan terputus. Aisyah nampak tengah berpikir keras.

“Nih pasti mas Rivan nggak bakal makan siang. Atau aku bawain makanan aja ya?”  batin Aisyah. Rasanya gadis itu nampak begitu ragu untuk mengantarkan bekal suaminya di kantor. Tapi ini sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang istri.

“Oke aku harus bisa!” 

Setelah menyiapkan kotak bekal untuk suaminya itu, kini Aisyah sudah berada di taksi yang sebelumnya telah ia pesan.

Where are you going, Ma'am?” tanya si supir taksi.

Refa'il corps please.” Aisyah melirik arlojinya, sepertinya ia masih punya waktu untuk mengantarkan bekal di kantor suaminya. Ia khawatir Rivan akan sangat sibuk di sana dan tidak punya waktu untuk makan siang.

Melewati dua puluh menit perjalanan akhirnya Aisyah bisa melihat dengan jelas perusahaan yang begitu besar.

This is the Refa'il Corps?!” tanya Aisyah pada supir taksi. Ia khawatir bila Pak Supir itu membawanya di perusahaan yang salah.

Yes, Ma'am. This is the Refa'il Corps. The only company led by a muslim in Los Angeles.” Aisyah nampak begitu terkejut mendengarnya. Kata “The only” sungguh begitu mengagumkan. Sepertinya ia sudah meremehkan kemampuan suaminya sendiri.

Okay, thank you, Mister!”

Setelah membayar, Aisyah segera turun dari taksi. Ia melihat beberapa karyawan wanita yang pakaian begitu elegan dan berwibawa. Lain halnya dengan pakaiannya saat ini. Gamis mocca dengan jilbab hitam panjang menutupi dadanya, ditambah kotak bekal yang berada di genggamannya yang berwarna senada dengan bajunya. Tampak begitu sederhana.
Rasanya Aisyah ingin kembali ke rumahnya. Namun, ia kembali memikirkan suaminya. Dengan mengucap basdalah, akhirnya gadis itu melangkah memasuki pintu kaca perusahaan yang begitu besar nan tinggi.

Satu langkah ia memasuki kantor tersebut deretan tatapan aneh tertuju pada dirinya. Gadis itu tersenyum manis lalu segera mendekati sang resepsionis.

Eh, excuse me. I'm looking for Mr. Rivan. Is he there?” tanya Aisyah dengan sopan.

Mr. Rivan? Who are you? So want to meet Mr. Boss?” Mendengar kalimat itu membuat Aisyah menelan salivahnya. Sepertinya wanita cantik di hadapanya ini sedang datang bulan. Itulah mengapa ia menjadi mudah emosi.

Uh, I just wanted to privide lunch for him. If I may know, where is he?”  tanya Aisyah kembali. Masih memberikan senyuman manis.

Sorry, Mr. Rivan doesn't accept unauthorized people here. We're telling you to get out!” ujar Resepsionis itu dengan menujuk ke arah pintu. Kini Aisyah sudah menjadi pusat perhatian karyawan lain yang berada di lobby kantor.

Aisyah menggeleng. “Not like that, I just want to deliver this lunch to him. I beg you, I want to meet my husband.” Ucapan Aisyah seketika mrmbuat suasana lobby yang awalnya serius dan tegang menjadi pecah akan gelak tawa.

Hah! Husband?! Hahaha ... Sorry, but Mr. Rivan is not married. So please get out now!” Mendengar bentakan itu langsung membuat Aisyah menggeleng dengan cepat. Tidak peduli dengan cemoohan yang ia dengar, ia memiliki niat baik untuk memberikan makan siang pada suaminya.

Resepsionis itu lalu keluar dari tempatnya lalu mendorong Aisyah. “You get out!”

Sorry but I just want to meet my husband.” Aisyah memeluk kotak bekalnya dengan erat. Rasanya ingin sekali Aisyah menangis sekarang. Mendengar penolakan dari Aisyah, membuat Resepsionis tersebut melotot dan hendak memukul Aisyah.

Hey, what are you doing? Want to slap the honored guest Mr. Rivan?! You want to be fired huh!” bentak Joshua yang langsung menahan lengan reseprionis tersebut.

What? The honored guest?! She claims to be Mr. Boss's wife! Of course that's imposible, how embarassing! There's no way that Mr. Boss would want to marry this crazy woman!” ucap resepsionis tersebut dengan sarkas.

Aisyah mengerti, mungkin wanita pemarah itu selain sedang dalam masa datang bulan, ia pasti juga membenci gadis berhijab sepertinya.

God damn it! She is Aisyah, the legal wife of Mr. Rivan Refa'il. Okay, let me personally escort her to meet Mr. Boss. And I hope you won't regret it later!” Segera Joshua membawa Aisyah bersamanya. Meninggalkan Lobby yang kini sedang di rundung rasa khawatir akan di pecat.

Kini Joshua dan Aisyah sudah berada dalam lift menuju lantai atas khusus ruangan direktur utama. Joshua melirik Aisyah.

“Maaf atas ketidaknyamanan yang kamu dapat di lobby. Mereka memang tidak ada yang mengetahui bahwa Bos sudah menikah.”

Aisyah mengangguk pelan. “Aku ngerti, kok. Hanya saja aku khawatir kalau Mas Rivan tau, dia pasti akan memecat Mbak Resepsionis tadi.” Joshua mengangguk paham.

“Sayangnya Rivan bukanlah tipe bos seperti itu.”

Aisyah mendongak menatap Joshua. “Benarkah?! Berarti mereka nggak bakalan dipecat?”

Joshua menghela napas kasar. “Rivan tidak akan membuang-buang waktu untuk memecat satu karyawan. Kau harus tau, di ruang lobby terdapat banyak cctv, dan salah satunya tersambung langsung ke ruangan Rivan. Kemungkinan besar ia sudah mengetahui semuanya, dan satu lagi kemungkinannya.”

“Apa?”

“Ia akan memecat seluruh karyawan yang sudah menertawakanmu tadi.” Aisyah melotot. Tidak mungkin Rivan akan melakukan itu.

Pintu lift terbuka. Aisyah hendak melangkah keluar, tetapi pemandangan yang ia lihat langsung membuat bulu kuduknya menegang seketika. Tepat di depannya, Rivan berdiri dengan tegak seakan menunggu kedatangan sang istri. Aisyah bahkan merasa sulit menelan salivahnya saat ia melihat ekspresi kemarahan di wajah Rivan.

“Saya ada urusan di bawah. Aisyah ikuti saya!” kata Rivan langsung.
Joshua menggeleng pelan. “Inilah yang gue khawatirkan!”  batinnya.
Pintu lift kembali tertutup. Aisyah menatap Rivan dengan khawatir. “Mas, aku ....”

“Diam, Aisyah. Saya tidak suka istri saya diperlakukan kasar seperti tadi! Mereka pantas mendapat balasannya!” Seketika Aisyah terdiam. Begitupun Joshua yang sejak tadi menjadi bisu seketika.

Pintu lift akhirnya terbuka. Rivan menggenggam tangan Aisyah, lalu keluar dari lift. Seluruh karyawan menjadi terdiam seketika. Tidak terkecuali resepsionis yang kini hampir memangis.

Why don't you all laugh?”  Rivan mengedarkan pandangannya.

Five minute ago I witnessed something that I thought was so unethical! You people laugh at my wife?! How dare you! She is my wife and you guys dare to embarrass her!”

“We're sorry, Mr. We didn't know before that that woman was the master's wife. So we guess she is ....”

Crazy woman?! I know that you all dont know about my medding announcement, but you all know that she is a muslim. So you dont have to embarassing her!” Rivan mengangkat sebelah alisnya. Tatapannya tertuju pada seorang karyawan yang angkat bicara tadi. Wanita tersebut kembali menunduk.

She si may wife, by humiliating her, you are indirectly embarrassing me! And for the receptionist from now on I don't want to see youe face in my office anymore! Understand?!” Mendengar perintah dari atasannya secara langsung seketika membuat resepsionis tersebut mengangguk dengan cepat. Kata-kata itu sudah cukup mengartikan bahwa ia telah dipecat dari perusahaan.

And for all of you who laugh at my wife. I consider you lucky that you weren’t fired. However, I will wait for your apologies to my wife!” Aisyah menghela napas lega. Ia mengeratkan genggamannya pada Rivan. Rasanya kini ia benar-benar lega.

Mrs. Aisyah, we are really sorry for our mistake. Before we all didn’t know that you are Mr. Boss’s wife. Therefore, if you will forgive our mistakes,” ujar salah satu karyawan. Aisyah langsung mengangguk dengan tersenyum.

It's okay. Nice to meet you all.” Aisyah kembali tersenyum. Ia menoleh ke arah suaminya. Wajah Rivan masih sama saja, begitu datar. Ini membuat Aisyah bingung, saat di rumah Rivan lebih sering tersenyum. Namun, saat di kantor ia seketika berubah menjadi begitu dingin layaknya kulkas baru.

Continue your work!” Rivan kembali menarik lengan Aisyah menuju lift. Meninggalkan Joshua dan karyawan yang sedang diberi pencerahan.

“Mas Rivan kok jadi nyeremin, sih,” tukas Aisyah saat pintu lift telah tertutup.

“Sikap saya memang seperti itu saat di kantor. Harus profesional. Jadi kamu bawain Mas makan siang?”

Aisyah memukul jidatnya, ia baru ingat bahwa ia datang untuk membawakan Rivan makan siang. “Ah iya! Isyah lupa. Hehe ini dia, inshaallah enak!”

Rivan tersenyum. “Apapun itu, asalkan kamu yang buat pasti enak,” sahut Rivan jujur.

Pintu lift kini terbuka. Sebelah tangan Rivan memeluk pinggang Aisyah, seakan ingin mengatakan bahwa Aisyah adalah miliknya satu-satunya. Bahkan beberapa pegawai dan staf yang mereka lewati langsung menatap mereka dengan keheranan.

“Maaf ya, Mas. Isyah jadi ngerepotin. Pasti mas lagi ngurus berkas, tapi Isyah datang malah nyusahin,” kata Aisyah. Mereka saat ini sudah berada di dalam ruangan kerja Rivan.

“Kok ngomong gitu? Tidak merepotkan saya sama sekali, justru saya bahagia banget kamu datang di sini. Buat saya jadi tambah semangat.” Segera Rivan mengambil alih kotak bekal yang sejak tadi di genggaman Aisyah. Tidak bisa ia pungkiri, saat ini ia memang begitu lapar.

“Jadi makan siang hari ini apa?” Lelaki itu membuka penutup kotak berisi makanan itu. Ia menaikkan kedua alisnya. “Opor ayam? Enak nggak nih?” candanya.

Aisyah mengangkat bahunya. Membiarkan Rivan untuk mencoba makanan buatannya.

“Masyaallah! Jadi pengen pulang ke rumah.” Rivan benar-benar merasa takjun dengan Aisyah. Selain ia terkejut melihat kedatangan Aisyah, kini ia dikejutkan kembali oleh opor ayam buatan istrinya itu. Aisyah memang seperti itu, gadis yang dipenuhi dengam kejutan.

“Kerja aja dulu, Mas. Atau Isyah pulang sekarang aja? Biar nggak ngerepotin lagi.”

Mendengar itu membuat Rivan yang awalnya masih menikmati makan siangnya, kini langsung memeluk pinggang Aisyah. “Jangan pulang. Kamu nunggu saya di sini. Okay!”

“Apa Isyah nggak ganggu?” Masih dalam posisi yang sama, Rivan lalu menggeleng kuat.

Aisyah menghela napas pelan. “Yaudahlah. Isyah tunggu Mas aja.”

Kalau sudah begini, tentu Aisyah tidak akan bisa menolak keinginan suaminya. Entah mengapa Rivan saat ini menjadi begitu manja. Tidak seperti biasanya.

****

Dua jam gadis itu duduk di depan layar lebtop, akhirnya tugas proposalnya selesai juga. Aisyah menutup labtopnya lalu berdiri.

“Ya Allah, Mas Rivan pasti kecapean banget.” gumam Aisyah. Wanita itu pun mencoba untuk membangunkan sang suami.

“ Mas ....”  Rivan tak berkutip, ia masih tertidur.

Aisyah tersenyum, lalu berbaring di samping suaminya. Waktu yang paling ia suka, saat Rivan tertidur pulas, dengan begitu Aisyah bisa puas menatap wajah indah milik suaminya.

“Nggak nyangka suami Isyah bakal setampan ini,” gumamnya.

“Makasih.” Aisyah melotot.

“Mas sadar?!”

“Sejak kapan saya pingsan?” Aisyah kembali terdiam. Ia kini merasa malu.

“Cieee pipinya merah!” goda Rivan. Yang langsung membuat Aisyah kesal.

“Apaan, sih, Mas. Aisyah ngambek, nih!”

Entah sejak kapan Aisyah bisa menjadi sangat emosional seperti ini.

“Ngambek aja!”

“Oke, bye. Isyah mau bobo, Isyah nggak peduli!” Aisyah lalu berbalik badan membelakangi Rivan  dan kemudian membungkus dirinya dengan selimut.

“Syah, jangan ngambek, dong! Mas cuman bercanda doang, Sayang!”



Bersambung ....
Jangan lupa vote dan komentar ya
Jazakallah!💓🍉

RSS[1]: Ketika Hati Berucap [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang