9. Los Angeles

5.3K 239 4
                                    

Rivan sekilas melirik wanita yang duduk di sampingnya saat ini dilihatnya raut wajah Aisyah yang begitu ketakutan.

“Kenapa, Syah?” Aisyah hanya menggeleng pelan sambil mengigit bibir bawahnya.

“Kamu takut ketinggian, yaa?” Rivan melihat wajah ketakutan pada Aisyah, Ini mungkin penerbangan pertamanya. Aisyah pun menatap wajah sang suami kemudian mengangguk pelan. Melihat anggukan sang istri, Rivan berinisiatif untuk memberikan sebotol mineral.

“Ini.” Aisyah langsung menerima dan meneguknya beberapa kali.

Setelah Aisyah meminum air tesebut, bukannya ia merasa tenang. Namun, ia kembali merasa takut. Hal tersebut membuat Rivan kebingungan. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak akan munkin membiarkan Aisyah ketakutan seperti ini. Satu pikiran terlintas begitu saja oleh Rivan, Ia pun perlahan mengangkat tangannya. Walaupun ada rasa ragu. Ia harus melakukannya. Rivan memegang tangan Aisyah, dirasakannya jemari Aisyah yang begitu dingin dan bergetar.

Aisyah menatap Rivan kemudian tersenyum. Ia merasa aman di saat jarinya dan jari Rivan saling bertautan seakan ketakutannya perlahan sirna.

“Sudah tidak takutkan?” ucap Rivan pelan disambut dengan senyuman manis sang istri. Sesuatu di dalam dadanya seakan berdesis saat melihat senyuman itu.

Selang beberapa waktu dijalani dalam keheningan, ini membuat mata Aisyah begitu berat untuk terbuka. Rasa kantuk yang menyerangnya tidak bisa ia hindari lagi, berkali kali ia terus menguap, akhirnya ia sampai pada titik. Ia bahkan tidak menyadari bahwa sekarang ia telah menjadikan bahu Rivan sebagai bantal, walaupun tidak seempuk bantal di kamarnya, bahu milik Rivan seakan membuatnya tertidur nyenyak.

“Anak ini!” ucap Rivan pelan, walaupun harus diakui bahwa ia pun tengah di landa kantuk sekarang. Ia melambaikan tangannya di depan wajah Aisyah melihat tidak ada respon oleh sang empu,  ia pun memiringkan kepalanya hingga menyentuh puncak kepala Aisyah dan bersama sama menyelami alam mimpi.

****

Perlahan iris mata Aisyah terbuka, anehnya ia sekarang tertidur dalam keadaan berbaring.  Setelah nyawanya terkumpul sempurna ia baru menyadari bahwa posisinya sekarang berada di dalam kamar. Ruangan yang bernuansa elegan dengan warna dinding karamel dan horden cokelat yang menambah keeleganan ruangan tersebut.

Ia mendudukkan badannya pada kasur kingsize berwarna hitam putih. “Ini di mana?” tanyanya pada diri sendiri.

Suara pintu terbuka membuat Aisyah terkejut dan menatap pintu tersebut. Dari pintu tersebut menampakkan seorang pria dengan celemek yang melekat di pinggangnya.

“Kamu sudah bangun rupanya, ayo sarapan saya buatin nasi goreng pagi ini!” Rivan pun membuka celemeknya yang sedikit ternoda dengan saus kecap.

Aisyah melotot. “Pagi ini? Berapa lama Isyah tertidur, Mas?”

“Kenapa kau begitu khawatir? Kau hanya tertidur selama 11 jam, saya ingin membangunkanmu. Namun, sepertinya kau begitu kelelahan selama perjalanan, cepatlah sebelum nasinya dingin.”

“B-baiklah.” Aisyah hanya pasrah. Bukannya sedih karena apa, tapi ia sedih karena ia sudah melewatkan salat subuh yang berharga. Ia pun berjalan keluar kamar, dilihatnya jendela kaca besar yang menampakkan kota L.A dengan ribuan manusia yang lalu lalang membuat keindahannya semakin bertambah.

“Masyaallah, jadi seperti ini kota L.A, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.” Aisyah membatin.

Ia pun melangkah menuju meja makan untuk mengisi perutnya yang sudah lama bergemuruh minta diisi.

“MasyaAllah ini enak banget, Mas. Aku baru tau kalau Mas itu jago masak!” Aisyah dengan lahap memakan sarapan dari suaminya itu. Beberapa tahun ia tinggal sendiri membuat Rivan mahir dalam urusan dapur.

“Ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan opor ayam buatan istri.” Pipi Aisyah seketika memerah, pujian Rivan memang terdengar sederhana. Namun, mampu membuat Aisyah tersipu malu.

“Ya ampun cantik amat, sih. Kalau lagi blushing!”

“Udah, Mas. Isyah malu tau!” Rivan terkekeh, melihat Aisyah seperti ini sungguh menggemaskan menurutnya. Aisyah pernah membuatkannya opor ayam beberapa hari yang lalu ketika ia masih berada di Indonesia. Dan itu membuat Rivan bahkan menghabiskan 3 piring berturut-turut
Ponsel Rivan tiba-tiba bergetar menandakan sebuah panggilan masuk dari seseorang. Namun, Rivan memilih untuk melanjutkan makannya dan tidak mengangkat panggilan itu.

“Kenapa nggak diangkat, Mas?”

“Paling hanya masalah kantor. Saya sekarang ada di rumah berarti fokus Mas saat ini hanya kamu dan Mas nggak mau merusaknya hanya gara-gara pekerjaan.” Aisyah terharu mendengar perkataan suaminya, tetapi ia tidak boleh bersikap egois. Saat ini keberadaan Rivan sangat dibutuhkan di kantor, dan Aisyah tidak ingin menjadi penghalang antara Rivan dan karirnya.

“Siapa tau itu penting, Mas. Sebaiknya pergi aja ke kantor, ya. Udah berhari-hari Mas nggak ke kantor, ’kan?”

“Tapi, Syah. Kalau seandainya saya ke kantor, terus yang jaga kamu di sini siapa?”

Aisyah lagi-lagi tersenyum. “Nggak papa kok, Mas. Isyah bisa jaga diri.”

“Nggak, Syah. Saya nggak akan ninggalin kamu sendiri di sini. Atau kalau boleh, kamu ikut aja sama saya ke kantor!” Aisyah menghela napas pelan, ia akan membiasakan dirinya menghadapi sikap Rivan yang sangat keras kepala.

“Mas, kalau Isyah ikut dengan Mas ke kantor, entar Isyah jadi ngerepotin. Lagian Isyah malu,” ujar Aisyah pelan. Berusaha memberikan penjelasan.

“Hari ini saya nggak mau urus kantor dulu. Kita baru pulang dari Indonesia. Jadi hari ini saya akan di rumah full sama istri. Nggak ada pembantahan!” Keputusan terakhir. Aisyah tidak bisa apa-apa lagi setelah mendengar suaminya yang berkata demikian.

Gadis itu menghela napas lagi lalu tersenyum. “Kalau sudah seperti itu aku bisa apa?” ujarnya dengan terkekeh.

Bersambung...
Jangan lupa vote dan komentar!
Jazakallah💓🍉

[Terus jadikan Al-Qur'an sebagai bacaAn yang utama]

RSS[1]: Ketika Hati Berucap [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang