7 Ta'aruf

4.3K 223 6
                                    

####

Rivan telah sampai di rumahnya. Namun, betapa mengejutkannya kala melihat bundanya tengah duduk di atas kursi dengan meja yang dipenuhi dengan baju-baju yang masih terbungkus plastik.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam! Eehh, Nak. Kamu udah pulang. Sini ayo bantuin Bunda pilihin baju yang cocok buat kamu!” Bunda Maryam masih terfokus pada baju-baju di depannya.

“Aduh,Bunda. Ini belum hari raya, kok beli baju banyak gitu?”

“Ini bukan untuk hari raya, kan sebentar malam kita mau ke rumah calon istri kamu, jadi sekarang kamu harus pilih baju baru buat sebentar malam.”

“Oohh apalagi ini, Ya Allah. Aku bahkan belum berkata iya, tapi kenapa Bunda sudah sejauh ini,” pikirnya. Sudah puluhan kali lelaki itu beristighfar dalam hati. Mencoba untuk tetap terlihat tenang.

“Kamu mau berdiri aja di situ atau bantuin Bunda, nih?” Lagi dan lagi lelaki itu kembali menghela napas. Apalah dayanya jika harus menolak permintaan Bundanya.

****

Aisyah bingung mengapa umah dan abahnya terlihat begitu sibuk membereskan rumah, perasaan hari raya masih lama, bulan puasa juga masih lama. Di benak Aisyah mungkin keponakan lucunya Nissa akan akikah. Tapi gadis itu kembali berpikir, Nissa sudah akikah dua tahun lalu.

“Lah terus ini kenapa?” batinnya. Aisyah melihat Bibi Kira yang berjalan keluar dari dapur. Segera gadis itu menghampiri Bibinya.

“Bibi Kira, ini ada acara apa sih? Kok beres-beresin rumah?” tayanya.

“Aduh, sayang. Kan sebentar ada tamu, kamu juga perlu bersihin diri mau, dandan yang cantik-cantik. Oke!” Aisyah terpaksa mengangguk, walau bingung ia tetap menjalani perintah  Bibi Kira, dengan membersihkan dirinya dan berpakaian rapi.

“Assalamualaikum!” ujar seseorang dari balik pintu.

“Waalaikumsalam.” Umah Mira membuka pintu dengan tersenyum bahagia.

“Eehh Maryam, apa kabar?” tanyanya yang langsung memeluk  Maryam
“Alhamdulillah baik, Ra. Wah kamu makin cantik aja!” pujinya.

“Aah kamu bisa aja, ayo-ayo masuk!”

“Kevin! Kawan lamak, kita ketemu lagi!” Edward dan Kevin saling bersalaman. “Iya. Setelah sekian lama, oh iya gimana kabar perusahaan kamu?” tanya Kevin.

“Alhamdulillah, Perusahaan masih terus berjalan lancar, apalagi perusahaan multimedia di L.A. Anakku bisa meng-handle semuanya dengan baik!”

“Aku memang sudah yakin sekali kemampuan kamu, Ed. Bahkan dari SMA, seharusnya waktu itu kamu yang jadi ketua OSIS waktu itu.” Perkataan Abah Kevin membuat Rivan bertanya.

“Emang siapa yang jadi ketua OSIS dulu, Om?”

“Ya Om kevin, lah!” Edward menjawab pertanyaan Rivan.

Jika  kita mengulas masa lalu, sejak SMA Kevin dan Edward adalah pasangan rival sejati. Selain memperebutkan juara umum di sekolah, mereka juga berhasil memimpin siswa dengan menjadi ketua dan wakil OSIS sekolah.

“Aku benar-benar tidak menyangka kalau Buya yang jadi wakil ketua OSIS, itu keren sekali!” puji Rivan. Obrolan ketiganya seperti berlanjut. Sesekali mereka terlihat terkekeh bersama.

“Apakah kalian akan terus berbincang, waktu makam malam sudah tiba,” ucap Umah Mira yang melerai pembicaraan para lelaki itu.
“Kira, sana panggil Aisyah,” bisik Umah Mira pada adiknya.

Kira berjalan menuju kamar keponakannya. Wanita itu langsung mengetuk pintu Aisyah.

“Aisyah!” panggil Kira dari balik pintu, Ia mengetuk berulang kali. Namun, sayang ia sama sekali tak mendapat balasan.

Kira langsung membuka pintu yang tak terkunci itu, lalu melihat Aisyah yang sedang duduk di balkon kamarnya. “Aisyah!”

Aisyah menoleh, gadis itu hanya menatap Kira dengan tatapan kosong. “Bibi, siapa yang ada di bawah?”

“Keluarga lelaki yang ingin melamarmu, Sayang.”

“Apa ini Ya Allah, aku belum siap,” batin Aisyah.

“Nak, Umah nyuruh kamu buat ikut makan di bawah, ayo!” ajak Kira.

”Bibi, Isyah belum siap, Isyah masih sekolah, nggak mungkin Isyah mengurus sekolah dengan urus rumah tangga sekaligus,” jelas Aisyah.

Ucapan polos Aisyah berhasil membuat Bibi Kira sedikit terkekeh.

“Haha ... Ya Allah, Syah. Umah sama Abahmu tak akan sejahat itu padamu, mereka ingin kamu berta’aruf dulu, entah berapa lama. Yang penting kalian sudah mengenal satu sama lain, kamu pikirannya ampe sejauh itu, sih?” Bibi Kira tidak habis pikir dengan pikiran Aisyah, ia hanya bisa tertawa melihat tingkah polos keponakannya itu.

“Yaudah, ayo kita turun ke bawah!” ajakan Kira langsung mendapat anggukan dari Aisyah.

Dengan menggunakan jilbab segi empat yang besar, Aisyah dengan gugup turun ke ruang tamu. Walau terkesan gugup tetapi gadis itu masih mempertahankan senyuman di wajahnya ketika melihat semua pasang mata yang memandanginya.

Namun, seketika senyumannya hilang tatkala pandangannya terkunci pada satu titik. Tak berbeda dari dirinya yang terkejut, Rivan pun demikian. Lelaki itu bahkan melotot melihatnya. Nampak bahwa ia sangat terkejut melihat Aisyah.

“P-Pak Rivan?!” sahut Aisyah dengan terkejut. Telunjuknya terarah pada lelaki berbaju batik itu. Bahkan Rivan tak sekali pun memejamkan matanya.

“Jadi kalian sudah saling kenal, ya?” ujar Abah Kevin dan Edward bersamaan. Mereka juga sama terkejutnya. Aisyah kemudian memalingkan wajahnya.

“I-iya, Abah. Pak Rivan yang udah antar Isyah pulang kemarin,” jawab Aisyah dengan jujur. Mendengar Rivan yang di sebut dengan panggilan “Pak” membuat Bunda Maryam menahan agar tidak tertawa. Rasanya sangat lucu melihat Aisyah yang begitu polos.

****

“Baiklah mungkin langsung pada intinya, kedatangan keluarga kami di sini selain menyambung kembali silaturahim kami juga ingin menyambung ikatan yang lebih mencari Ridho Allah, kami ingin agar anak sulung kami menikah dengan Anak kalian Aisyah, bagaimana, Pak?”  tanya Buya Edward. Seketika suasana kembali menjadi sedikit serius dari biasanya.

Abah Kevin menatap putrinya itu. “Saya tergantung keputusan anak saya Aisyah, bagaimana, Dek?”

Aisyah menatap umah dan abahnya bergantian. Wajah mereka tersimpan sebuah harapan penuh pada dirinya. Tatapannya beralih pada kedua orang tua Rivan. Mereka tersenyum manis ke arahnya seakan mengisyaratkan agar Aisyah memberikan jawaban yang memuaskan.

“Ya Allah, berikan kekuatan bagi Isyah. Semoga ini adalah pilihan yang ternbaik buat Aisyah dan semua orang di sini,” batin Aisyah tak luput beristighfar kepada Allah. Gadis itu menutup matanya, menghela nafas dalam-dalam lalu membuka matanya.

“Bismillah.”

“Isyah terima, Abah.”

“Alhamdulillah” Raut senang terukir pada wajah Umah Mira dan Bunda Maryam begitupun pada semua orang dalam rumah tersebut kecuali Nissa yang terlelap di gendongan Paman Sam.

“Tapi ....”

Semua terdiam melihat Aisyah. “Tapi apa, Dek?”

“Aisyah mau ta’aruf dulu, Abah. Biarkan Aisyah lulus SMA dulu, inshaallah setelah lulus, Isyah akan menikah dengan Pak Rivan.” Aisyah terlihat malu-malu saat mengatakannya.

“Itu keputusan kamu, Dek. Bagaimana, Nak Rivan?”

“Saya terima, Om. Kapan pun Aisyah siap.”

Rivan menatap wajah Aisyah. Gadis itu tersenyum begitu manis. Membuat Rivan kembali mengingat wajah seorang gadis kecil di masa lalunya.

“Senyuman yang sama.”


Bersambung...
Jangan lupa vote dan comen!

Jazakallah!

[Terus jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama]

RSS[1]: Ketika Hati Berucap [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang