6. Awal Dari Akhir

4.4K 210 5
                                    


####

Seorang lelaki berjas hitam lengkap dengan kaca mata hitamnya kini sedang duduk di bangku pesawat kelas utama untuk pulang menuju negara kelahirannya. Ia masih terdiam, menatap langit luas di balik jendela pesawat. Lelaki itu kini memikirkan satu hal. Apakah adiknya akan senang saat melihat kedatangannya?

Semoga saja.

Menghabiskan waktu berjam-jam akhirnya pesawat yang ditumpanginya telah mendarat dengan berhasil di bandara. Ia menuruni anak tangga, sembari menghirup udara segar.

"Assalamualaikum," gumamnya saat menginjakkan kakinya di tanah Indonesia.

Dari bandara, supir Buya Edward telah menunggunya dari area parkiran.

"Tuan Rivan!" Mang Sapri lalu memeluk lelaki pemilik nama Rivan itu.

"Eh Mang Sapri, makin ganteng aja," candanya.

"Ahh Tuan bisa aja. Dulu Mang Sapri lihat Tuan masih merengek-merengek nah sekarang ternyata udah besar, ganteng, jadi CEO lagi."

Rivan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. "Ehehehe.. Iya, Mang. Ooh iya, dari tadi ya Mang Sapri nunggu Saya?" tanyanya.

"Enggak, Tuan. Mang Sapri juga baru sampe," balas Mang Sapri dengan logat Jawanya yang khas.

"Yaudah atuh, Mang. Kita berangkat, yuk. Udah rindu ama keluarga!"

"Siap, Tuan!"

Selama perjalanan, Rivan hanya memerhatikan sudut demi sudut Kota Jakarta, yang begitu ia rindu. Sudah lima tahun ia meninggalkan tempat kelahirannya ini. Namun, ternyata kota ini masih sama. Tidak ada yang berbeda. Pikirnya.

Selama beberapa jam di pesawat ditambah perjalanan di dalam mobil membuat Rivan merasa sangat kehausan. Beruntung sekali tak jauh di depan sana ada minimarket untuknya melepas dahaga. "Mang berhenti di sini, ya. Saya mau beli minuman dulu."

"Ooh. Baik, Tuan. Mang Sapri aja yang beliin Tuan minuman, ya."

Rivan menggeleng dengan tersenyum. "Tidak apa-apa, Mang. Saya bisa beli sendiri." Setelah mengatakan itu Rivan membuka jas hitamnya yang menyisakan kemeja berwarna merah maroon dengan dasi hitam yang menutupi badan atletisnya. Tidak berniat apa-apa, lelaki itu hanya tidak ingin terlihat begitu formal. Selangkah ia memasuki minimarket tersebut ia langsung merasakan hawa AC yang menyebar di seluruh ruangan.

Lelaki tinggi itu berjalan tepat di area rak minuman dingin. Ia mengedarkan pandangannya mencari minuman yang cocok untuk mrnghilangkan rasa harusnya. Sampai seseorang datang tiba-tiba dan langsung menabrak punggung Rivan. Rivan terkejut dan langsung berbalik. Melihat gadis berjilbab yang hampir terjatuh ke belakang membuat tangan Rivan refleks menahan tangan gadis itu agar tidak terjatuh.

Gadis itu terperanjak. Segera ia melepaskan genggaman tangannya.


"Lancang sekali kamu menyentuh tangan saya!" bentaknya. Mendengar bentakan itu membuat Rivan yang seharusnya tidak mempermasalahkannya langsung ikut merasa kesal. "Kamu itu tidak tau terima kasih sekali! Untung saya tangkap kalau tidak, kamu akan jatuh di lantai!"

"Hah, berterima kasih? Lebih baik saya terjatuh dari pada harus ditolong sama kamu! Kamu sendiri taukan lelaki dan wanita yang bukan mahrom itu tidak boleh bersentuhan!" Kini gadis itu emosi, bisa-bisanya pria asing ini menyentuhnya.

"Oke. Fine, sama-sama!"

Rivan pun berlalu meninggalkan gadis itu. "Tidak tau terima kasih. Dasar Perempuan aneh!"

****

Suasana rumah Aisyah kini begitu ramai. Kedatangan bibinya yang merupakan adik dari umahnya namanya Kira. Dan suaminya bernama Sam jangan lupakan buah hati mereka si kecil Nissa. Bukan Nisa sahabatnya Aisyah.

Aisyah kini bermain bersama Nissa di kamarnya. Sedangkan di rumah tamu, Umah Mira, Abah Kevin, Bibi Kira dan juga Paman Sam sepertinya sedang mendiskusikan hal yang penting.

"Jadi begini. Tadi siang aku udah bicara ama teman aku. Katanya anaknya udah balik dari L.A tadi siang. Itu berarti ...."

"Jadi maksudnya, wasiat itu akan berlaku, Kak?" sambung Kira.


Abah Kevin menghela napas. "Sepertinya begitu, tapi apakah Aisyah akan setuju?"

"Kita harus bicarakan ini pada Aisyah, Bah," ujar Umah Mira dengan memegang pundak suaminya.

Semuanya pun mengangguk setuju.


"Aisyah! Sini dulu, Dek!" panggil Mira.

"Iya, Umah. Nissa, ayo ikut Kakak!" Dengan menggendong Nissa, Aisyah lalu berjalan keluar dari kamarnya. Dan pergi ke ruang tamu.

Aisyah duduk di atas sofa berdampingan dengan umahnya.

RSS[1]: Ketika Hati Berucap [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang