8. SAH

4.6K 212 4
                                    


####


Hari ini, hari di mana Adnan akan berangkat ke London. Rivan beserta keluarga telah berada dalam mobil untuk mengantar keberangkatan Adnan. Setelah sampai di bandara, Bunda Maryam mencium pipi anaknya.

“Hati-hati Adnan, dengar kata Uncle-mu. Rajinlah belajar di sana. Bunda harap kamu bisa menggapai mimpi di sana, Nak. Kuliah yang baik-baik, ya. Jangan sembarang bergaul di sana. Ingat salat! Jaga kesehatan, dan jaga pergaulan.” Bunda Maryam masih memeluk lama anaknya, tanpa ia sadari Adnan menangis di pelukannya.

”Iya, Bunda. Bunda harus telepon Adnan terus, ya, jangan pernah kasih nonaktif ponselnya, Adnan akan selalu merindukan Bunda.”

Bunda Maryam melerai pelukannya. Adnan berbalik menatap buyanya. Segera ia memeluk Buya Edward dengan erat.

“Pesan Buya udah diwakili sama bunda kamu. Satu yang Buya inginkan. Tetaplah menjadi diri sendiri dan utamakan iman setiap di hadapkan dengan sebuah pilihan.”

Dalam dekapan Adnan mengangguk. “Iya, Buya.”

“Hati-hati di sana. Ingat pergaulan negara orang berbeda dengan pergaulan di sini. Kamu harus pandai-pandailah memilih teman!” tegas Rivan. Adnan melepaskan dekapannya pada Buya Edward.

Ia menatap Rivan. “Aku pasti akan lebih sukses dari Kakak!”

Rivan terkekeh. “Saya bantu aminkan.”

“Yaudah. Adnan pamit. Bunda, Buya, Kak, Adnan duluan, ya. Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam!” jawab ketiganya serentak. Sebelum berjalan lebih jauh, Adnan berbalik menatap Rivan dengan tersenyum jahil.

“Salam buat calon kakak ipar!”

“Pergilah!” Rivan tersenyum.

Adnan yang sekarang sudah menjadi pemuda tangguh. Walau mereka tidak tumbuh bersama, tapi Adnan tetaplah adiknya. Sekalipun Ada tidak menyukainya. Namun, Rivan akan tetap sayang padanya. Adnan semakin menjauh, hingga Rivan tak mampu melihat punggungnya lagi.

****

Satu tahun kemudian ....

“Saya terima nikah dan kawinnya, Aisyah Humaira Azzahra binti H. Muhammad Kevin Azura dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Dalam satu tarikan napas, Rivan berhasil menyelesaikan kalimatnya dengan lantang dan tegas di harapan penghulu dan para saksi.

“Bagaimana para saksi, sah?”

“Sah!”

“Alhamdulillah, Ya Allah!” gumam Aisyah dan Nisa. Mereka berdua kini berada di dalam kamar Aisyah. Walau ia tidak dapat melihat bagaimana Rivan mengucapkan ijab kabul, tetapi suara lantang milik lelaki itu mampu membuat Aisyah takjub. Gadis berpakaian serba putih dengan bermotif bunga mawar putih itu menitikkan tetes-tetes bening dari pelupuk matanya. Ia menangis, kala mendengar kata sakral yang diucapkan Rivan yang menggema di seluruh ruangan.

“Selamat, Syah. Kamu resmi jadi seorang istri sekarang!” Nisa memeluk sahabatnya erat. Ia ikut senang melihat sahabatnya kini telah membuka lembaran baru dalam hidupnya. Aisyah tersenyum dengan air matanya lalu mengeratkan pelukannya pada Nisa.

“Dek?”

“Bunda. Nih, Aisyah udah siap,” ujar Nisa.

Jangan Heran, Nisa memang memanggil Umah Mira dengan sebutan Bunda.

Umah Mira menatap lekat putri cantiknya.  “MasyaAllah! Anak Umah cantik banget!” Aisyah lalu memeluk erat Umahnya. Pelukan kasih sayang yang ia tunjukkan seakan memberikan isyarat
‘Tenang saja, Isyah akan selalu menjadi putri kecil Umah dan Abah.” Umah Mira tersenyum pelan, ia segera melerai pelukannya.

“Ayo, kita turun ke bawah. Nisa, antar Aisyah ke bawah, ya.” Nisa lalu mengangguk.

“Ucap bismillah dulu, Dek.” titah Mira lembut, lalu diangguki oleh Aisyah.

Nisa lalu membawa Aisyah turun menuju lantai bawah. Di mana para tamu, penghulu, bahkan Rivan telah menunggu kehadiran Aisyah.

Wanita dengan gaun kebaya putih itu duduk bersanding di samping Rivan, Rivan kemudian memasangkan cincin emas putih di jari manis Aisyah lalu menarik pelan kepala Aisyah mendekati wajahnya, diciumnya kening gadis yang telah menjadi istrinya searang. Air mata Aisyah kembali turun tanpa diperintah, ia mendengar setiap lantunan doa yang dipanjatkan oleh Rivan.

“Ya Allah, inilah jodohku. Inilah takdirku, dan inilah masa depanku. Bersama lelaki yang telah membukakan aku tempat di hidupnya. Ya Allah, jika hati ini masih milik orang lain, tapi kupercaya cinta datang karena terbiasa, maka kuharap aku bisa mencintai suamiku karena-Mu Ya Allah. Karena suami ada syurga untuk istrinya.”

Aisyah lalu kembali memasangkan cincin yang sama di jari manis Rivan. “Terima kasih, Pelengkap imanku.” Terdengar suara Rivan yang begitu pelan.

Aisyah tersenyum malu. Rasanya begitu lucu mendengar Rivan mengatakan itu.

“Uwu! Sini biar Nisa fotoin, semoga sakina, mawadah, warohmah, yaa!” ucap nisa, “MasyaAllah, aku iri deh ama kalian,” lanjutnya dengan lirih.

“Makanya, Nis. Sana cari calim dulu. Mumpung masih ada penghulu, nih,” kekeh Abah Kevin membuat semua orang di sana menjadi tertawa.

“Yah, Abah. Gitu banget ama anak angkat!” jawab Nisa dengan wajah cemberut.

****

Semua hiasan-hiasan rumah telah dibuka, banyak orang di rumah Aisyah yang tengah membersihkan rumah, mengangkat kursi, menyapu lantai yang dihadiri oleh tamu-tamu, dan ada juga sebagian yang masih mencuci piring di dapur.

“Umah, Aisyah mau bantu juga,” ujar Aisyah saat melihat umahnya yang sedang membersihkan ruang tamu.

”Udah. Nggak usah, Nak. Mending Isyah suruh Nak Rivan istirahat di kamar. Ia pasti kelelahan karena sejak tadi dia selalu sambut tamu.”

Walau masih terlihat ragu dan malu Aisyah perlahan mengangguk. “Oke, Umah.”

Gadis itu melihat lelaki yang kini menjadi suaminya itu tengah duduk di teras rumah dengan berbincang bersama Abah Kevin dan Buya Edward. Rasanya Aisyah masih malu untuk berbicara dengan Rivan. Ia merasa butuh waktu untuk menyesuaikan diri.

Tak lama kemudian azan magrib berkumandang. Mendengar itu membuat Aisyah bersyukur, ia tidak perlu mengganggu pembicaraan ketiga lelaki di teras rumahnya. Ia masih berdiri di sana entah apa yang gadis itu pikirkan. Namun, melihat Rivan yang kini berjalan masuk kembali membuat jantungnya berdetak dengan kencang.

“P-pak Rivan mau salat di masjid?” tanyanya masih menunduk dengan memainkan ujung jilbabnya.

“Iya. Mungkin entar isya baru salat di rumah.” Aisyah mengangguk paham.

“Y-yaudah kalau gitu Pak Rivan mandi aja dulu. Biar Isyah yang siapin baju ama sajadahnya,” sahutnya yang masih belum berani menatap suaminya.

Aisyah lalu menunggu Rivan berjalan lebih dulu, dan dirinya akan mengikut dari belakang. Bahkan gadis itu tidak melihat wajah Rivan yang mati-matian menahan tawanya. Aisyah mengantar Rivan ke dalam kamar. Setelah menyiapkan air hangat untuk suaminya, Aisyah lalu menyiapkan handuk dan pakaian untuk Rivan.

Untuk sementara waktu, Aisyah begitu bahagia dengan kehidupan barunya. Namun, kini bayangan Adnan kembali menghantui pikirannya.

“Ya Allah, aku memikirkan lelaki lain.  Astaghfirullah, ingat Aisyah kini kau telah menjadi seorang istri!”

Setelah Rivan keluar dari dalam kamar, Aisyah lalu bergantian memasuki kamar mandi, ia juga perlu membersihkan badannya. Rivan tersenyum saat melihat bajunya telah disiapkan oleh Aisyah.

“Semoga ini awal dari perjalan hidup kita, Aisyah.”

****

Setelah menunaikan salat tahajud bersama, Aisyah lalu mencium punggung tangan milik Rivan. Salah satu impian kecilnya sejak dulu, Aisyah selalu melihat umah yang mencium punggung tangan abah ketika selesai menunaikan salat. Ia ingin seperti kedua orang tuanya. Betapa baiknya Allah akhirnya membuat impiannya itu terwujud. Salat tahajud berdua di sepertiga malam, tanpa siapa pun yang menganggu. Hanya ada Rivan, Aisyah, dan juga Allah.

“Maafkan, saya ya, Syah.”

Aisyah menatap bingung ke arah Rivan. “Maaf kenapa, Pak?”

“Mungkin panggilan Mas lebih baik dari pada Pak,” koreksinya.

Membuat Aisyah terkekeh. “Yaudah Mas Rivan. Kenapa minta maaf?”

Rivan tersenyum tipis. “Maafkan saya, karena perjodohan, kamu nggak bisa menikah dengan lelaki pilihan kamu sendiri, tetapi malah menikah dengan pilihan orang tua.” Lelaki itu kemudian menunduk.

“Mas, coba tatap Isyah!” perintah aisyah dengan halus, “dengar. Mas, Isyah pilih menerima perjodohan ini karena Isyah percaya bahwa Allah sudah mengatur semua ini. Isyah percaya bahwa inilah takdir yang Allah pilih untuk Isyah, dan Mas adalah orang yang telah Allah pilih untuk menjaga dan tetap mendampingi  Isyah kelak.” Aisyah tersenyum manis.

Rivan kini merasa bodoh. Bagaimana mungkin gadis yang umurnya 6 tahun lebih muda darinya ini bisa menjadi lebih dewasa darinya.

“Boleh saya minta peluk?” pintanya. Yang mana langsung membuat pipi gadis itu memerah. Gadis itu perlahan menunduk, tak lama lalu ia segera mengangguk dengan pelan.

Rivan langsung menarik lengan Aisyah dan langsung mendekapnya.

“Mungkin cinta belum hadir di antara kita, tapi saat ini kau adalah istri saya. Sebagai suami saya akan tetap melindungi kamu, dan berusaha selalu membuatmu bisa bahagia.”

“Aku menyukaimu, Aisyah!” perkataan Adnan kembali terngiang di benak Aisyah. Seketika itu pula Aisyah membalas pelukan suaminya.

“Maaf, Adnan. Tetapi inilah cinta terakhirku.”


Bersambung...
Jangn lupa vote dan comen ya!
Jazakallah💓🍉

[Terus jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama]

RSS[1]: Ketika Hati Berucap [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang