1. Penguntit?

9.1K 328 10
                                    


####


Tas berwarna cokelat bertengger indah di punggung gadis berseragam putih abu-abu. Ia kini berjalan menyusuri koridor sekolah. Dengan jilbab putihnya yang menjuntai hingga ke pinggang gadis itu senantiasa tersenyum setiap melewati siswa-siswa lain. Senyum adalah ibadah, itu yang membuat gadis bernama Aisyah Humaira Azzahra itu selalu tersenyum ketika melihat orang lain.

Gadis berusia 17 tahun yang kini menduduki bangku kelas 11. Tinggal beberapa bulan lagi maka ia akan menuju kelas 12. Ia memiliki satu abah yang tampan dan satu umah yang cantik. Serta ia juga memiliki satu abang yang menyebalkan. Namun tetap ia sayang. Sayangnya, kini sang abang masih menyelesaikan study-nya di Khairo, Mesir. Hal tersebut membuat mereka jarang bertemu.

Aisyah hampir saja masuk ke kelasnya. Namun, langkahnya terhenti ketika suara cempreng yang terdengar dari belakangnya perlahan mendekat. Aisyah menoleh ke belakang.

“Aisyah!” panggil Nisa, sahabat dekat Aisyah. Ini salah satu kebiasaan Aisyah ketika tiba di sekolah. Pasti ia akan mendengar betapa merdunya suara teriakan dari Nisa yang memanggil namanya.

“Astsghfirullah, Nis. Malu atuh sama kelas lain kalau kamu teriak-teriak kayak tadi, ih!” tegur Aisyah dengan menggeleng sembari memeijit pelipisnya. Yang ditegur pun hanya memberikan cengiran.

“Kelepakan, hehe .... Eh btw, tas baru nih ciee!” Nisa tersenyum jahil melihat tas baru yang Aisyah pakai.
“Oh ini dari Abang Yusuf.” Seketika wajah Nisa menjadi terkejut. “B-bang Yusuf?”

Aisyah mengangguk. “Emang kenapa, Nis? Kok muka kamu kaget gitu?”
Nisa menggeleng kuat. “Enggak papa. Kita masuk yuk!” Gadis itu berjalan mendahului Aisyah. Sedangkan Aisyah hanya bisa terkekeh melihat tingkah Nisa yang begitu lucu jika nama abangnya disebutkan. Sahabatnya yang satu itu memang sangat mengagumi sosok Yusuf sejak lama. Bahkan mungkin sampai saat ini. Sedangkan Aisyah? Gadis itu bahkan tidak memiliki niat untuk menyukai lawan jenis saat ini. Yang ia fokuskan semata-mata ingin lulus sekolah dengan baik, kuliah, lalu kerja dan membanggakan orang tua.

Aisyah merasa menyukai seseorang di masa sekarang masih terlalu terburu-buru, urusan hati ia serahkan sepenuhnya pada Sang Khaliq. Jodoh ‘kan di tangan Allah. Mungkin suatu hari nanti di mana Allah akan mempertemukan mereka dengan rencana yang tak terduga.

****

Jam menunjukkan pukul 3 menjelang sore. Namun, Aisyah masih terlihat berkutat dengan novel di genggamannya. Setelah menjalankan salat asar, gadis itu langsung menyerbu novel yang ia pinjam dari Nisa. Salah satu kesukaan Aisyah, yaitu membaca buku-buku novel dengan genre romantis atau yang religi. Bukan berarti dirinya hanya menyukai soal percintaan saja, tetapi terkadang dalam novel-novel religi terdapat banyak pelajaran dan amanah yang saat kita ambil sebagai motivasi hidup dan itu yang dicari oleh Aisyah.

Ketukan pintu membuyarkan fokus gadis itu. “Buka aja. Nggak dikunci, kok.” sahutnya dengan mata yang masih fokus pada lembar buku.

“Syah!” Seorang pria paruh baya muncul di balik pintu kamar Aisyah.
“Iya. Ada apa, Abah?” jawab Aisyah seraya menutup buku bacaannya.

“Kamu udah salat asar?”

“Sudah, barusan. Emang kenapa sih, Bah?”

Abah Aisyah langsung memperlihatkan layar ponselnya yang menampakkan seorang lelaki tampan di dalamnya. Seketika mata Aisyah membesar.  “Abang!” Tanpa meminta izin  dari sang abah, mengambil benda pipih dari tangan Abahnya.

“Dek, gimana kabarnya di sana?”

“Alhamdulillah, Bang. Aisyah baik-baik aja, kok. Abang gimana?” Aisyah terus tersenyum menatap layar ponsel yang menampilkan seorang lelaki ia rindukan. Sudah 2 tahun di sana dan Yusuf belum memberikan kabar kepulangannya. Yang membuat Aisyah sering memanggilnya “Bang Toyib”

“Baik, kok. Alhamdulillah. Gimana sekolahnya?”

“Lancar, Bang. Bang, Nisa suka, lho, ama tas yang Abang kirimin buat Isyah.”

“Beneran? Berarti selera Abang emang bagus, dong. Buktinya Nisa aja ampe suka.”

Aisyah mencibir, Abangnya satu ini masih narsis kayak dulu. Mentang-mentang ganteng. “Dih pede banget! Kata siapa Nisa suka ama Abang?”

“Lah, Abang maksud itu, Nisa suka ama tasnya. Bukan suka ama Abang! Inshaallah kalau Nisa suka entar Abang beliin satu lagi buat dia.”

Aisyah tersenyum girang. “Abang baik banget  ama Nisa. Jangan-jangan ... ehem!”

“Nah tuh! Mulai lagi, deh. Udah, ah. Abang tuh masih fokus kuliah dulu sekarang. Biar bisa jadi dokter andal! Fahimtum?”

Aisyah tersenyum jahil, lalu melakukan hormat di hadapan ponsel Abahnya. “Siap paham, Bang Toyib!” Terlihat Yusuf yang tertawa di layar ponsel.

“Umah mana?”

“Kayaknya ada di bawah, deh. Bentar Isyah cari dulu.”

Saat Aisyah ingin bergegas mencari umahnya, ia terkejut saat melihat abahnya yang sudah terlelap di atas sofa samping ranjang Aisyah. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya abahnya kecapaian lagi. Ia mengarahkan layar ponsel ke arah abahnya yang terlelap. “Lihat Abah, tuh, Bang. Tidurnya nyenyak banget ampe ngorok, hehe.”

“Abang jadi rindu ama kalian semua.”

“Hmm .... Abang fokus aja dulu ama kuliahnya. Kalau ada kesempatan Isyah percaya Abang akan pulang.”

“Iya, Dek. Eh Umah mana sih?”

Aisyah melihat Umahnya yang tengah menonton televisi. “Umah, nih Abang Yusuf mau bicara.” Aisyah menyodorkan ponsel kepada Mira, Umahnya.

”Abang? Wah sini-sini ayo. Umah udah rindu ama Abang!”

Setelah memberikan ponsel abahnya kepada umah, Aisyah berniat untuk membersihkan rumahnya, seperti menyapu, mencuci piring, dan sebagainya. Bukan karena apa. Namun, beginilah jadinya jika ia sedang bosan. Dengan membersihkan rumahnya. Ini membuat Aisyah bisa melupakan sejenak harapannya. Terkadang ia berharap semoga ia bisa kuliah di luar negeri juga seperti Abang Yusuf. Tapi ia juga tidak ingin meninggalkan umah dan abahnya. Maybe someday.

****

“Isyah, ini gimana nyelesaiinnya?” Nisa tampaknya frustrasi melihat tugas kimia yang sedang ia kerjakan. Sudah dari tadi gadis itu merobek-robek kertas cakarannya. Rasanya berpidato dalam bahasa Inggris selama berjam-jam masih mending dari pada berurusan dengan rumus-rumus dan nama-nama senyawa ini.

“Apa pun yang kita perbuat itu hendaklah diawali bismillah lalu tersenyum, jangan cemberut kalau ngerjain tugas,” kata Aisyah dengan begitu bijak.

“Oke, bismillah! Tapi aku bingung. Bantuin, dong. Lihat kawannya kesusahan kok kamu bahagia banget, sih!” Nisa kembali memasang wajah cemberutnya.

“Ehehehehe .... Iya, deh. Aku bantu, tapi ada syaratnya!”

“Tenang aja, pasti aku traktirin bakso lagi, deh”

“Dan?” pancing Aisyah dengan menaikkan salah satu alisnya.
Nisa menghela napas kasar. Sangat sulit untuk melakukan negosiasi dengan sahabatnya ini. “Iya deh dengan susu kotak coklat! Puas!”

“Yeahh, deal!” sorah Aisyah dengan riang.

Aisyah pun menarik buku dan pulpen milik Nisa, dan langsung mengerjakan tugas kimia, dengan senyuman penuh kemenangan.

****

Bel istirahat telah berbunyi dengan syahdunya, para siswa telah berbondong-bondong menuju kantin untuk mengisi kembali tenaga yang habis terkuras oleh otak. Termasuk Aisyah dan Nisa yang sekarang tengah berjalan menuju kantin
“Bakso ayam koming!” teriak Aisyah. Ia tidak bisa menutupi fakta bahwa makanan gratis itu lebih nikmat dari pada makanan yang dibeli sendiri.
“Ya elah, Syah. Yang bener, tuh I’m coming!” Kalau soal bahasa Inggris, Nisa lah jagonya. Nisa bahkan pernah membanggakan nama sekolahnya pada bulan lalu, ia mengikuti kontes debat bahasa Inggris dan meraih peringkat pertama sekabupaten. Bangga? Aisyah tentu bangga. Sebab ia bisa menyelesaikan tugas bahasa Inggris dengan mudah dengan bantuan Nisa. Itu yang harus ia syukuri.

“Ehehe sorry kelepasan seneng.”

Setelah menikmati bakso hasil traktiran Nisa, Aisyah langsung bergegas kala mendapat perintah dari gurunya agar ia membawa tas gurunya ke kelas 12 IPA 2. Masih dalam perjalanan, ia terus menenteng tas gurunya di tangan kanan, dan sekotak susu cokelat di tangan kirinya.

Aisyah langsung menghentikan langkahnya di ambang pintu kelas 12 IPA 2. “Apa yang ada di depanku ini, Ya Allah.” Gadis itu membatin. Dilihatnya dua orang yang sedang berpelukan mesra di dalam kelas, entah apa yang akan dilakukan Aisyah. Mereka berdua langsung menatap gadis berkerudung panjang itu.

“M ... maaf aku ganggu, a ... aku hanya ....”

“Dasar pnguntit, lo mata-matain gue!!” Suara buriton membuat bulu kuduk Aisyah berdiri, gadis itu hanya dapat menunduk tanpa mengetahui siapa yang berbicara itu. Gadis itu mengeratkan genggamannya pada tas yang ia bawa dengan bibir yang terus merapalkan istighfar berulang-ulang.

Aisyah menggeleng cepat. “Aku nggak mata-matain kalian. M ... maaf aku hanya ....”

“Udahlah, cewe kayak lo itu nggak pantes dipercaya, dasar penguntit! Lo punya malu nggak, sih? Muncul di situasi kayak gini!” Kata-kata yang keluar dari mulut Adnan seketika membuat pertahanan Aisyah hancur, gadis berkerudung itu menangis, ia masih tertunduk. Namun. badannya bergetar. Air matanya terus menetes membasahi pipi putihnya.

“Adnan berhenti, udahlah jangan hiraukan penguntit itu. Usir aja, ngapain dia di sini!” Sarah langsung memegang tangan Aisyah dan membawanya keluar.

“Maaf, ya, penguntit. Kamu nggak dibutuhkan di sini!” Walau nada suara Sarah begitu lembut dengan penekanan di setiap katanya.. Bisa-bisanya mereka menyebut Aisyah sebagai penguntit.

Aisyah kembali menangis, sepanjang hidupnya, ia tak pernah mendapat bentakan bahkan dari keluarganya. Untuk pertama kalinya lelaki yang tidak ia kenal langsung membentaknya tanpa mendengar alasan Aisyah. Yang membuat kebencian untuk pertama kalinya hinggap pada diri Aisyah untuk lelaki bernama Adnan itu.

****

“Assalamualaikum, anak-anak!” sapa seorang guru yang memasuki kelas 12 IPA 2. Serentak dijawab oleh para siswa dalam kelas tersebut.
“Anak-anak, tas Ibu ke mana?” Terkejut saat melihat hanya meja kosong yang berada di hadapannya, sang guru menanyakan keberadaan tasnya kepada murid-murid. Perasaan ia sudah menyuruh salah satu muridnya dari kelas 11 untuk membawakannya.

“Enggak tau, Bu. Ibu lupa kali di kantor.” ujar ketua kelas.

“Enggak, Ibu udah titipin ke anak murid Ibu buat bawa ke sini, tapi kok dia nggak bawain ya?”

Adnan terkejut. “Jangan-jangan si penguntit itu yang bawain tas Bu Guru!” Pikirnya.

“Assalamualaikum!” Seseorang berkerudung panjang langsung memasuki kelas 12 IPA 2 dengan tergesa-gesa menenteng sebuah tas.

“Waalaikumsalam, kamu dari mana?”

“Maaf, Bu. Isyah terlambat bawain, soalnya Isyah tadi ... Isyah tadi di panggil Pak Kepsek,” jelas Aisyah terbata, baru kali ini ia mulai berbohong pada gurunya. Gara-gara perbuatan lelaki itu Aisyah menjadi pembohong seperti ini.

“Ooh gitu, lain kali jangan diulangin lagi, oke!” Bu guru lalu menerima tasnya kembali.

“I ... Iya, Bu”

****

Sepucuk rasa bersalah hinggap di hati Adnan. Kalau saja ia bisa mendengarkan penjelasan dari gadis itu, pasti ia tidak akan memberikan hinaan seperti tadi. Tapi meminta maaf pun membuat lelaki itu menjadi gengsi dan malu. Mamanya tidak pernah mengajarinya berkata kasar pada wanita. Namun, ia sepertinya telah melanggar janjinya pada mamanya sendiri.

Adnan mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Mungkin sebaiknya gue harus minta maaf.”

Demi membersihkan pikirannya, lelaki itu berjalan sendiri menuju kantin. Ia tidak ingin menemui siapa pun saat ini bahkan kekasihnya sekalipun. Hidupnya yang awalnya tenang kini berubah gara-gara gadis “si Penguntit”. Ia bertekad untuk meminta maaf hari ini juga. Dalam perjalanan, Adnan hanya memikirkan bentakannya kepada Gadis itu.

“Udahlah, cewe kayak lo itu nggak pantes di percayain. Lo punya malu nggak, sih?!”

Kilasan memorinya mengingatkannya akan setiap kata-kata kasar yang ia tumpahkan pada gadis berkerudung itu. Kini matanya menangkap sosok aisyah yang sedang membaereskan makanannya di seberang meja yang ia duduki.

“Pokoknya gue harus minta maaf ama dia!”

Saat Adnan hendak meninggalkan kantin, dilihatnya buku novel yang tergeletak di atas meja yang tadi menjadi tempat Aisyah makan, ia segera mengambilnya. Buku tersebut sepertinya milih Aisyah dan tertinggal.

“Love in Silent?” gumamnya saat membaca judul novel tersebut.




To be continue!
Jngan lupa bintangi part ini ya💓🍉

Jazakallah!


RSS[1]: Ketika Hati Berucap [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang