2. Lightcase

5.9K 255 3
                                    

Seseorang dengan mengenakan masker dan topi hitam kini berdiri tepat di depan pintu rumah Aisyah. Dengan boks yang berada di tangannya lelaki itu beberapa kali menekan bel rumah. Sudah sekitar 5 menit lelaki tersebut berdiri dengan menekan bel rumah tersebut. Namun, belum ada orang yang berbaik hati untuk membuka pintu tersebut.

Bagaimana mau didengar kalau semua penghuni rumah masih berada di belakang. Kevin yang membaca koran di belakang rumah, Mira yang sedang memasak di dapur, dan Aisyah yang masih bermimpi indah di kamarnya. Mira menghentikan aktivitasnya yang memotong wortel. Wanita paruh baya itu mencoba menajamkan indera pendengarnya. Mendegar suara bel rumah berbunyi membuatnya segera berjalan menuju pintu depan.

“Astaghfirullah. Maaf, Pak. Tadi belnya nggak kedengeran,” ujarnya setelah membuka pintu.

“Iya, nda papa, Bu. Oh iya, ini paket untuk Nyonya Aisyah. Apakah ini alamatnya?” tanya petugas pos tersebut.

Mira mengangguk. “Iya, Pak. Makasih banyak ya!”

“Mohon tanda tangan dulu, Bu.” Mira kembali mengangguk. Ia lalu menerim pulpen dari petugas tersebut lalu segera menandatangani surat yang diberikan.

Setelah menerima boks dari Pak Pos tadi, Mira lalu menaruhnya di atas meja depan televisi kemudian melanjutkan aktivitasnya. Mungkin nanti saat Aisyah bangun baru ia memberikan boks tersebut.

“Syah! Bangun, Nak! Udah asar nih! Ayo salat dulu!” kata Mira dengan menaikkan nadanya.

Sebenarnya Aisyah juga sudah terbangun saat mendengar azan asar tadi. Hanya saya saat ini ia baru selesai mandi. Ia pernah mendengar sebuah kajian, bahwa ketika kita hendak melaksanakan salat, maka kita harus dalam keadaam bersih. Begitu pun Aisyah yang akan membersihkan dirinya sebelum menghadap Rabbnya. Setelah menunaikan salat, gadis itu segera melipat mukena dan sajadahnya. Memakai jilbab instan lalu segera berjalan menuju umahnya.

“Eh udah salat asar?” tanya Umah Mira saat melihat anak bungsunya yang menuruni tangga.

Aisyah mengangguk. “Udah, Umah.”

“Nah tuh. Paket dari Abang udah sampai. Sana buka dulu.” Mendengar perkataan umahnya membuat Aisyah melotot. Lantas gadis itu menatap boks di atas meja depan televisi.

“Wah! Alhamdulillah udah sampe yang Isyah tunggu-tunggu!” ujarnya dengan begitu girang.

Paket ini adalah pemberian Yusuf. Setelah kemarin menyambung videocall bersama Aisyah. Yusuf mengatakan bahwa ada hadiah yang akan ia berikan kepada Aisyah. Katanya ia sudah mengirimnya jauh hari sebelum mengatakannya di telpon kemarin. Tanpa menunggu lama Aisyah lalu membukanya.

“Ada apa, nih? Kok mukanya pada cerah-cerah semua?” tanya Abah yang baru saja muncul di ruang tamu.

Aisyah tersenyum. “Nih, Bah. Paket dari Bang Yusuf udah sampe, lho!”

“Wah, Abah mau lihat juga, dong!” Abah Kevin lalu berjalan mendekati putrinya. Membantu Aisyah untuk membuka boks yang di penuhi isolasi berwarna cokelat. Menghabiskan waktu beberapa menit akhirnya Aisyah dan abahnya berhasil menyingkirkan isolasi.

“Coba Abah buka,” pinta Aisyah.
Abah Kevin mengangguk. Ia mengambil sebuah kotak kecil panjang di sana. Bingung dengan isinya akhirnya ia memutuskan untuk membuka kotak kecil itu. “Pulpen, lho, Dek.”

Aisyah mengerutkan alisnya. “Pulpen? Buat apa Bang Yusuf ngirim pulpen dari Khairo ke sini?”
“Pasti ini buat Abah. Wah, pulpennya keren, Dek” ujar Abah Kevin dengan tersenyum bangga. Ia bahkan sampai mencoba puplen barunya itu di telapak tangannya. Aisyah menggeleng bingung. Memang motif pulpen tersebut terbilang begitu unik. Ditambah  dengan warna emas di bagian penutupnya. Dan jangan lupa dengan ukiran kaligrafi kecil berwana emas juga yang menambah kesan indah pada alat tulis itu. Yang membuat Aisyah bingung. Mengapa Abangnya yang amat cerdas itu hanya membeli satu?!

“Bang Yusuf cuma beli satu aja? Lagian Abah ngapain sih mesan pulpen ama Bang Yusuf tempo hari?” tanya Aisyah dengan wajahnya yang sedikit ditekuk.

“Aduh, Dek. Beli pulpen di toko itu beda dengan beli pulpen di Khairo tau nggak. Lagian Abah yakin Abang beli pulpen cuma satu aja soalnya harganya mahal.” Abah Kevin terkekeh.

“Serah Abah, dah. Kita lihat lagi pesanan Umah, yuk, Bah!”

Aisyah lalu mengambil barang kedua yang ada dalam boks cokelat tersebut. Semacam kain yang dibungkus oleh kantung. Aisyah dengan telaten membuka kantung hitam itu.

“Wah ini gamis, Bah!” katanya dengan menatap gamis di genggamannya dengan mata berbinar.

“Kayaknya cocok tuh kalau Umah yang pake.” Aisyah mengangguk. Gadis itu lalu memanggil umahnya agar bergabung bersama mereka.
“Umah sini dulu!”

“Bentar, Dek!” jawabnya datang dari arah dapur, “ada apa hmm?” tanya Umah Mira.

“Umah coba pake, dong. Pasti cantik banget” Aisyah menyodorkan baju gamis berwarna cokelat itu. Gamis yang begitu indah dengan bunga-bunga berwana senada di bagian bawahnya. Juga lengkap dengan jilbab panjang yang berwarna sama dengan gamis tersebut.

Umah Mira tersenyum lalu segera membawa baju pemberian dari anaknya itu di kamar untuk memakainya. Terlepas dari abah dan umahnya yang sama-sama sibuk dengan pesanannya masing-masing membuat Aisyah memilih untuk melihat pesanannya.

Suara dering ponsel terdengar dari saku baju Abah Kevin. Lelaki paruh baya yang masih sibuk dengan pulpen barunya itu lalu segera mengangkat teleponnya.

“Assalamualaikum, Bang!” sapa kevin yang sedang melakukan panggilan video oleh anak lelakinya.

“Waalaikumsalam. Abah, gimana pulpennya bagus nggak?”

“Bagus, Bang. Lain kali beliin Abah satu lusinnya, ya”

“Ashiaaapp..., ooh iya, Umah gimana, Suka ama gamisnya?”

“Abah jangan liat kek gitu, dong, Umah malu” Umah Mira menutup wajahnya dengan telapak tangan. Seketika membuat Abah Kevin menjadi salah tingkah. Lagian ia tidak perlu merasa tidak enak.

“Abah ... ABAH!”

“Eeh i ... Iya kenapa, Bang?”

“Abah gimana, sih. Yusuf nanya, Umah suka nggak ama gamisnya?”

“Tuh, lihat sendiri bidadari cantik Abah.” Kevin membalikkan layar ponselnya menghadap Mira

“MasyaAllah, Umahku cantik banget! Pantas Abah ampe terhipnotis.”

“Ehehe..Aaamiiin. Makasih ya, Sayang. Kamu udah belikan Umah gamis cantik ini”

“Iya, Mah. Yusuf mau bicara sama Isyah, Mah.”

Aisyah masih saja mengamati benda kecil di genggamannya saat ini. Gadis itu masih meneliti dengan kedua alisnya yang berkerut. “Ini apa?” gumamnya saat melihat benda kecil berbentuk bintang putih itu.

“Dek, gimana hadiah Abang?”

“Ini apa, Bang? Kok bentuknya kayak bintang?”

“Oowh itu namamya lightcase, Syah. Pasangkan di sudut handphone kamu. Kayak Abang juga, loh, cuman abang bentuknya sabit kalau kamu bintang.”

“Lah, gunanya apa, Bang?”

“Kan kemarin kamu minta sesuatu yang bisa mengingat Abang. Nah, Abang kasih itu ke kamu. Kalau lightcase kamu menyala, berarti abang ada di dekat kamu, begitu juga dengan lightcase Abang. Jangan di buang ya, mahal tau abang belinya”

“Ooh jadi gitu, toh. Iya-iya bawel, Isyah nggak akan buang, kok.”

“Alhamdulillah. Oke kalau gitu abang matiin dulu ya teleponnya, soalnya abang lagi sibuk, nih.”

“Oke, Bang. Sesibuk apapun ingat makan ya, Bang. Juga jangan lupa salat. Oke, Assalamualaikum!”

“Iya-iya. Yaudah salam buat Abah ama Umah ya, Waalaikumussalam.” Aisyah mematikan panggilannya. Gadis itu tersenyum hahagia melihat benda kecil pemberian abangnya.

“Wahh, lightcase Aisyah keren, Bah!” Aisyah memamerkan benda berharganya kepada abahnya.

“Hmm, masih bagusan pulpen Khairo Abah.”

“Cantikkan gamis Umah!” Mira berpose layaknya model dan berjalan lenggak lengok, maju mundur di ruang tamu membuat Aisyah menganga dengan mulut terbuka.

“Bajunya nggak cantik, yang cantik orangnya kok.” Mendapat pujian dari sang suami membuat Mira kembali tersenyum malu. Namanya perempuan, mau udah tua atau muda jika digombal dengan orang yang di cintai tentu langsung terbawa suasana.

“Iissh Abah apaan sih, udah tua juga masih aja ngegombal!”

****

Walau langit kian menggelap, mengikis cahaya mentari hingga lenyap di telan malam, gadis berkerudung itu tak bergeming, pandangannya selalu terpusat pada benda kecil berbentuk bintang yang bertengger pada sudut ponselnya. Pikirannya melayang memikirkan bagaimana jika detik ini juga bintang kecil ini akan menyala, maka itu tandanya abangnya kini berada di dekatnya. Namun, sepertinya itu mustahil karena Yusuf akan menetap di Khairo untuk beberapa tahun lagi. Mungkin akan butuh kesabaran extra. Pikirnya.

Lamunanya kini terbuyar tatkala mendengar surauan panggilan Rabbnya, agar bersimpun dan menghadap-Nya. Memikirkan tentang abangnya, membuat pikiran melenceng dan malah memikirkan lelaki bernama Adnan itu.

“Cowo aneh!” gumamnya. Seketika gadis itu tersadar kemudian menggeleng dengan kuat. Ia tidak mungkin sedang memikirkan lawan jenisnya. Itu bisa membuatnya terjebak dalam zina pikiran. Aisyah jadi memikirkan satu surah dalam Al-Quran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سسَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ 17: Ayat 32)

Sudah jelas tertulis dalam ayat tersebut agar kita tidak terjerumus dengan perbuatan seperti zina. Jangankan melakukan, mendekatinya saja sudah di larang dengan keras. Aisyah menghela nafas. Dari pada memikirkan sesuatu yang tidak penting. Akan lebih baik ia segera tidur. Menjernihkan pikiran dari apa yang tidak perli dipikirkan dengan memejamkan mata dan menuju alam mimpi yang indah.

****

Seperti biasa. Aisyah akan memulai paginya dengan senyuman. Selain mendapat pahala, gadis itu juga sangat suka membagi kebahagiaan pada orang lain. Seperti pagi ini, Sabtu pagi ini ia sudah lengkap dengan pakaian pramukanya. Setelah menghabiskan 1 gelas susu cokelat hangat, Aisyah lalu menyalimi tangan abah dan umahnya.

“Isyah berangkat, Abah, Umah. Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, Dek.”

Aisyah terbiasa dengan berjalan kaki menuju sekolah. Salah satu hal yang menurut Aisyah itu menyenangkan. Karena selain bisa berolahraga pagi, gadis itu pun bisa menyapa para tetangganya, sesekali memberikan senyuman pada orang-orang yang lewat di pinggir jalan.

“Pagi, Pak!” Aisyah menyapa tetangganya dengan tersenyum. Tengganya itupun ikut tersenyum dengan mengangguk. Walau berjalan kaki sendiri itu tidak membuat Aisyah merasa kesepian. Ia memang selalu berjalan sendirian menuju sekolah. Jika beruntung ia akan ditemani oleh Nisa. Namun, sepertinya pagi ini Nisa sudah berangkat lebih dulu.

Suara klakson mobil terdengar dengan keras. Membuat Aisyah seketika terlonjak kaget.

“Astaghfirullah!” Aisyah menoleh ke samping di mana mobil itu berada.

“Pagi!” sapa seseorang yang berada di dalam mobil.

Aisyah menghela napas. Beristighfar dalam hati lalu tersenyum. “Pagi juga!” Setelah mengatakan itu, Aisyah kembali melanjutkan langkahnya. Bel masuk sebentar lagi akan berbunyi, dan Aisyah tidak ingin terlambat.

“Butuh tumpangan?” Adnan melajukan mobilnya dengan pelan. Seakan mengimbangi langkah Aisyah.

“Enggak perlu, Kak. Terima kasih,” tolak Aisyah dengan halus.

“Yah, padahal aku udah mau mengembalikan buku ini, lho.” kata Adnan dengan memamerkan buku novel milik Aisyah. Terkejut novelnya ada pada Adnan, lantas gadis itu menghentikan langkahnya. “K ... Kakak dapat dari mana novel aku?!”

“Ada, deh. Nggak perlu tau. Mau naik apa enggak?” tawar Adnan sekali lagi.

Aisyah terdiam gadis itu nampak harus berpikir dengan keras mengenai tawaran ini. Di satu sisi ia tidak ingin terlambat, tetapi egonya mengatakan jangan, sebab ia baru pertama kali diantar ke sekolah bareng lelaki selain abangnya.

“Udah hampir terlambat, nih. Emang kamu mau dihukum lari keliling lapangan sepak bola?” Adnan keluar dari mobilnya. Memberikan senyuman pada Aisyah lalu membukakannya pintu di sebelahnya. Aisyah menghela napas sekali lagi. Dengan batin yang terus merapalkan istigfar berulang-ulang. Gadis itu lalu berjalan memasuki mobil Adnan untuk pertama kalinya.

“M ... Makasih, Kak!”

“Jangan sungkan. Aku emang niat mau antar kamu ke sekolah hari ini.”


Bersambung

Jangan lupa vote part ini. Komentar juga kalau boleh XIX

Jazakallah!🍉💓

[TERUS JADIKAN AL-QUR'AN SEBAGAI BACAAN YANG UTAMA]

RSS[1]: Ketika Hati Berucap [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang