Manusia Hologram

57.6K 6.6K 470
                                    

Ternyata bangun tak semudah itu apalagi semua bukanlah mimpi, ini nyata dan tak pernah kuharapkan. Terlebih selama acara unjuk gigi semua ekskul, laki-laki ajaib itu duduk di sebelahku. Dia bahkan telah mengakrabkan diri dengan dua sahabatku Randu dan Arsya. Ini benar-benar tak bisa ditangkap logika. Kak Wira masih terlihat seperti hologram yang tak nyata, tapi faktanya sosok cowok tinggi itu benar-benar ada. Bahkan detik ini saat aku berjalan menuju gerbang sekolah, dia masih juga berada di sampingku. Berjalan di sebelahku tanpa merasa canggung.

Kami menjadi pusat perhatian. Aku sangat tidak nyaman, tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara untuk mengusirnya. Aku hanya ingin ditinggalkan sendirian. Aku butuh waktu menguraikan kejadian yang terlalu cepat terjadi ini. Terlalu kilat hingga pikiranku belum mampu mendokumentasikannya secara utuh.

"Kamu kalau pulang naik bus, dijemput atau bareng temen?" Suaranya tiba-tiba menggelitik telingaku.

"Kenapa Kakak tanya begitu?"

"Cuma pengen tahu aja. Ngak boleh?"

"Dijemput ibu." Jawabku singkat berharap dia berhenti mengajakku bicara karena sejujurnya aku malas berlama-lama dengannya.

"Kalau gitu aku temenin ya sampai ibumu datang."

Sial, aku terjebak jawabanku sendiri. Sudah terjebak, kepala justru mengangguk mengiyakan seolah aku nyaman bicara dengannya.

"Ya udah, kita duduk di sini aja yuk."

Aku mengikutinya dengan malas duduk di salah satu bangku dekat gerbang sekolah.

Tatapan anak-anak membuatku salah tingkah. Aku harus mencari peralihan perhatian. Mungkin kalau aku mengabaikannya, dia akan risih dan meninggalkanku sendirian di sini karena kebosanan. Aku pun mengambil buku bacaan yang belum selesai aku baca dan terpaksa aku anggurkan di dalam tas beberapa hari ini akibat tugas MOS yang menumpuk. Mencoba menyibukkan diriku dengan kata demi kata yang ada di buku ini. Namun fokusku terbelah, aku masih saja sesekali mengamatinya. Dia juga melakukan hal yang sama. Beberapa kali mata kita bertemu dan lesung pipi itu menampakkan dirinya.

Meski telah duduk hampir dua jam di sampingnya ternyata lesung itu baru aku sadari saat ini. Cukup menarik. What? Apa yang aku lakukan barusan? Tersenyum pada dia dan berpikir Kak Wira itu menarik? Sepertinya aku mulai jadi tidak waras.

"Maaf, Kak. Boleh saya bertanya?" kataku tiba-tiba entah mendapat keberanian dari mana.

"Tanya aja, aku malah seneng karena kita jadi ngobrol. Aneh tau rasanya diem-dieman gini," jawabnya santai sambil melihat ke arahku lekat dan membuatku sedikit salah tingkah.

"Tadi yang Kakak bilang di podium itu serius?" tanyaku.

"Kalau kita pacaran?" tanyanya balik.

"Iya." Aku mengangguk cepat.

"Menurutmu?"

Aku yakin semua orang normal pun akan berpikir bahwa perkataannya di podium hanyalah cadaan yang keterlaluan. Iyakan?

"Kalau saya tahu jawabannya buat apa saya bertanya," balasku.

"Lucu ya," ucapnya tiba-tiba.

"Lucu kenapa?" Dahiku berkerut.

"Bahasa kamu formal banget." Dia pun meringis dengan riangnya dan aku makin memperlihatkan wajah heran. "Okay, aku jawab. Kalau aku nggak serius, ngapain juga aku duduk di sini sama kamu sekarang."

"Jadi....," ucapku menggantung.

"Iya, kita udah resmi pacaran." Kak Wira menjawab dengan santainya.

Gila nih orang. Untung kakak kelas kalau nggak... nggak tau juga sih. Mana berani aku melakukan kekerasan ke orang lain, tapi ini keterlaluan. Aku nggak bisa diem kalau begini.

"Tapi kan Kakak tidak kenal saya begitu pula saya tidak kenal kakak. Terus bagaimana kita bisa punya hubungan semacam itu?"

"Kamu salah."

"Salah?"

"Iya, aku kenal kamu."

"Kakak kenal saya?"

"Iya bahkan kamu pasti kaget kalau tahu apa aja yang aku tau tentang kamu."

Aku memicingkan mata mencari kebenaran di mata Kak Wira. Jangan-jangan dia adalah stalker dan punya obsesi sama aku. Tapi itu sangat tidak mungkin. Sepertinya aku terlalu banyak menonton drama Korea jadinya halu seperti ini. Ini bukan drama, tapi kehidupan nyata. Pasti dia cuma bohong. Dasar playboy cap tikus got!

"Okay, tapi kan saya tidak kenal Kakak?"

"Makannya sekarang waktunya aku memperkenalkan diri ke kamu. Toh inti dari pacaran untuk mengenal satu sama lain kan? Jadi apa yang salah kalau kita pacaran?"

"Tapi maaf sebelumnya, saya belum ada niatan untuk pacaran. Saya juga bukan tipikal orang yang mau main-main tentang hal semacam itu. Maaf ini agak kasar, kalau misal kakak macarin saya karena alasan taruhan mending sekarang kakak ke temen-temen kakak bilang kalau kita udah bener-bener jadian terus setelah itu anggep aja kita putus. Kakak bisa menang taruhan dan saya juga tidak rugi apa pun," ucapku panjang lebar.

"Jadi kamu mikirnya gitu?"

"Maaf, tapi kelihatannya memang seperti itu."

"Aku emang nggak bisa buktiin sekarang, tapi kamu harus tahu aku nggak pernah main-main soal kamu dan hubungan kita."

Mendengarnya aku merasa mual. Dia gombal atau memang beneran ngajak pacaran sih?

"Aku serius sama kamu dan aku bakal buktiin itu secepatnya."

Dia menoleh hingga wajah kita berhadapan. Matanya menatapku serius membuatku jadi makin bingung. Sebuah klakson mobil membuatku tersadar ke dimensi tubuh purbaku. Iya, itu mobil ibuku.

"Maaf Kak duluan, ibu udah jemput," kataku segera sambil memasukkan kembali buku yang tadinya tanpa sadar aku remas dengan begitu kasarnya untuk melampiaskan kekagetanku yang tak juga usai tentang manusia ajaib ini.

"Ya udah sana. Oh ya bentar, apa warna kesukaanmu?"

"Biru," jawabku cuek lalu lari menuju mobil. Rasanya bahagia bisa lepas dari lelaki bermulut manis itu.

"Sampai ketemu besok," serunya tapi aku sama sekali tak menoleh meski bertanya-tanya dalam hati tentang jawabannya. Dia bilang, "sampai ketemu besok?". Besok kan Minggu, bagaimana ceritanya kami bisa ketemu? Rasa syukurku bertambah berkali-kali lipat karena besok itu Minggu.

"Siapa tadi cowok yang duduk sama kamu, hayo?" Sapaan pertama ibuku saat aku naik ke mobil. Sepertinya hari penuh kejutan ini belum berakhir juga.

"Kakak kelas," jawabku ringan sambil memakai sabuk pengaman.

"Deket ma kamu?"

"Enggak, baru kenal beberapa jam yang lalu kok."

"Yakin?" sahut ibu dengan nada jahil yang aku kenal.

"Apaan sih, Bu?"

"Habis tuh lihat dia ngelambaiin tangan ke kamu."

What? Aku refleks menoleh ke arah manusia hologram itu berada. Manusia yang masih ku anggap tak nyata walau dia tertangkap mata. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku tanpa peduli semua orang kini bergantian melihat ke arahku dan dia. Dasar sableng!

Aku pun mengalihkan pandanganku dan mendapati ibuku tersenyum ganjil sambil menyetir mobil ini. Aku berharap mobil ini berubah jadi buraq yang memiliki kemampuan bergerak setara dengan kecepatan cahaya. Aku ingin sekali cepat dibawa lari dari tempat ini dan kembali ke kamarku yang tenang bersama aroma buku yang kental. Aku hanya ingin membaringkan tubuhku dan membuang semua ingatan tentang hari ini. Mengganti mimpi buruk ini dengan mimpi yang lebih indah, mimpi yang lebih bisa aku terima. Aku pun berharap tak berurusan lagi dengan manusia hologram itu esok dan seterusnya.

***


Stairways to HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang