Obrolan Jam Kosong

22.3K 2.5K 164
                                    

"Persahabatan itu mampu membekukan waktu. Mereka tidak membuat kita merasa menua sebaliknya mereka membuat usia serasa kehilangan peranannya untuk mendewasakan kita."

-Ara-

***

Aku, Arsya, dan Randu seperti biasanya mengobrol sambil menunggu guru yang mengajar pelajaran pertama masuk. Anehnya bel jam kedua sudah hampir berbunyi dan guru itu belum datang juga. Mungkin jam kosong. Hingga seseorang memanggil Arsya keluar kelas. Arsya langsung ngibrit sambil membawa sebuah kertas seperti formulir entah untuk apa.

"Mau kemana Arsya?" tanyaku pada Randu.

"Dia mau daftar cheerleader," jawab Randu sambil beranjak dari tempat duduknya dan duduk di sampingku.

"Bercanda kamu."

"Ih nggak percaya, kemarin dia cerita. Kamu sih sibuk pacaran mulu."

"Seriusan? Arsya mau ikut cheerleader?

"Serah deh kalau kamu nggak percaya."

Aku pun tertawa membayangkan hal itu terjadi. Arsya yang super tomboi itu akan berpakaian feminim dan berteriak ala perempuan. Sungguh susah sekali membayangkannya.

"Ih jahat kamu ngetawain."

"Emang kamu nggak ngerasa aneh, Ndu?"

"Aneh sih makannya kemarin seharian aku ledekin."

"Tuh sama aja kan kamu."

"Iye iye..." Sahut Randu dengan malasnya.

Sesaat kita tersibukkan oleh imajinasi kita saat Arsya benar-benar jadi cheerleader. Tawa pun langsung meledak hampir bersamaan.

"Kamu bakal daftar basket kayak dulu SMP?" tanyaku pada Randu.

"Iya, besok baru pemilihannya. Kalau keterima mungkin aku bakal ikut ekskul basket. Kalau kamu?"

"Aku nggak ikut ekskul kayaknya," jawabku jujur.

"Kenapa?" tanya Randu dengan nada protes. "Nggak ikut teater kamu?"

"Nggak ah males."

"Oh iya aku lupa, dasar anak introvert."

"Bodo," jawabku sambil memukul bahunya dan dia hanya tersenyum, "aku kan udah sibuk les bahasa inggris, ikut komunitas sastra juga. Jadwalku dah padet tahu."

"Iya iya, Ibu pecinta sastra apa lagi ditambah ada jadwal pacarannya juga."

"Ihh apaan sih. Dasar mantan kapten basket yang bawelnya nggak pernah ilang!"

"Karakter nih, susah...," jawabnya sambil nyengir dan aku mendorong wajahnya agar berhenti nyengir.

"Oh ya Ra, kamu beneran nggak apa-apa kan?" Aku cukup kaget dengan pertanyaannya. Kadang aku merasa seperti Randu bisa mengendus hal yang tersimpan dalam diriku.

"Emang ada yang aneh ya sama aku?" sahutku riang untuk menutupi hal yang nggak bisa aku jelaskan dan aku menemukan wajah tak percaya itu.

Sungguh kadang aku merasa tak pernah berhasil menutupi satu hal kecil pun di hadapan Randu. Entahlah mengapa dia begitu perasa tentangku.

"Lupa? Kalau kamu emang aneh dari lahir."

"Iya juga ya, aku lupa." Candaku yang sedikit agak kaku.

"Kamu perlu tahu, Ra. Kalau ada apa-apa jangan dipendem sendiri. Ada aku, Arsya, Aftab, dan Galuh. Cerita sama kita aja, kita akan selalu coba bantu kamu. Dan inget aku selalu ada di pihak kamu, ngerti?" timpalnya yang membuatku cukup terharu. Hampir saja aku keceplosan untuk menceritakan kegalauanku semalam. Tapi aku rasa ini belum saatnya.

Stairways to HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang