"Kadang kita berpikir luka yang membuat kita jadi takut, padahal ketakutanlah yang sebenarnya membuat kita jadi terluka."
-Ara-
***
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa aku tak separah kelihatanya. Awalnya aku diduga menderita post traumatic stress disorder, untung hasilnya tidak sampai separah itu. Aku memang mengalami beberapa gejala dari gangguan psikologi tersebut, tapi tidak separah itu kepanikan yang aku alami. Aku hanya mengalami efek trauma dari masa kecilku, menjadi parah karena penanganannya yang terlambat. Dan itu pun tak lepas dari kecerobohanku sendiri. Aku yang merasa sok kuat menjadikan semua semakin tak terkendali. Memang seharusnya anak-anak sepertiku sejak awal tidak boleh sungkan untuk meminta bantuan. Karena sekecil apa pun gejalanya akan menjadi parah bila tidak mendapat penanganan yang seharusnya.
Dulu aku memang sempat mendapat perawatan, tapi tidak seintensif sekarang. Lagi-lagi karena aku yang menutupi gejala yang aku alami dari siapa pun. Mereka memang menemukan beberapa kecenderungan aneh dalam diriku, tapi aku tak pernah mengatakan dengan jujur seberapa mengganggunya itu. Aku yang saat itu tak ingin merepotkan ibuku terlebih keadaan ibu yang parah membuatku menyimpannya sebisa mungkin. Inilah efek dari rasa sok kuat itu.
Perawatanku tidak semudah yang dikira. Aku masih saja menderita gangguan tidur dengan bermimpi buruk sepanjang malam, aku juga masih mengalami syndrome ekstrim setiap dihadapkan dengan keadaan yang berbau kekerasan. Hal ini membuatku harus lebih lama dirawat. Awalnya aku sedih karena kondisiku yang tak membaik juga, tapi keberadaan ibu disampingku sungguh menguatkanku. Aku jadi merasa kembali ke masa kecil yang bahagia itu bersama ibu. Masa-masa sebelum hal mengerikan itu terjadi.
Siang ini saat ibu sedang dipanggil Dokter Adrian untuk membahas perawatanku, aku jadi sendirian di ruang inapku. Aku mengambil buku yang dibawa Mbak Asih tadi pagi saat menjengukku dan membacanya untuk membunuh waktu. Tiba-tiba pintu terbuka, sesosok laki-laki dengan lebam di wajahnya masuk.
"Siang Aksara...," kata Kak Wira sambil masuk dan membawa sebuket bunga.
"Siang Kak Wira," jawabku gagu.
"Aku tahu harusnya aku nggak di sini, tapi aku berutang penjelasan sama kamu Aksara karena itu aku beraniin diri nengok kamu," sahutnya ragu-ragu.
"Penjelasan tentang apa Kak?" tanyaku setenang mungkin, tapi aku tahu suaraku yang bergetar sudah menjelaskan keadaanku sekarang.
"Tentang perkelahian aku dan Adi, aku punya penjelasan soal itu jadi aku mohon kamu bisa dengerin ya...."
"Maaf Kak Wira, saya pengen ngedengerin penjelasan Kakak bahkan pengen bisa memahami Kakak, tapi..."
"Tapi kenapa?" tanyanya bingung dan mencoba mendekatiku. Entah kenapa badanku refleks menjauhinya dengan melipat kakiku hingga aku bisa memeluk kedua lututku dan ekspresi takutku memintanya tetap di tempatnya. Dia nampak kaget dengan pergerakanku. Sungguh aku tak bisa mengontrol badanku saat ini.
"Tapi saya nggak bisa Kak...." Aku memperlihatkan tanganku yang berkeringat dan bergetar cukup hebat kepadanya. "Saya mengalami ini setiap saya ngelihat Kak Wira. Otak saya juga mengulang sepotong demi sepotong ingatan kekerasan yang pernah saya lihat di hidup saya. Jadi mana mungkin saya bisa mendengar penjelasan Kak Wira."
"Tapi Aksara, aku bener-bener punya penjelasan soal sikapku kemarin."
"Maafkan saya Kak Wira, saya udah nggak bisa."
"Apa maksud kamu, Aksara?"
"Maaf Kak, sepertinya saya harus menyerah soal kita."
"Kamu minta putus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stairways to Happiness
Teen FictionSurat cinta tugas MOS membawa dunia Ara yang tenang menjadi tak beraturan sebab kakak kelas yang namanya baru diketahuinya beberapa jam lalu dengan seenak udel menerima cintanya. Padahal tulisan itu hanya sebuah coretan biasa yang tidak ada maksud a...