"Amarah itu api yang membakar semua yang ada di hadapannya. Tak peduli apa dan siapa, semua dihanguskan rata. Hingga kesadaran tiba, hanya sesal yang tersisa."
-Ara-
***
"Maaf Aksara...," kata Kak Wira di siang menuju sore saat dia bertamu ke rumah. Luka, lebam, dan memar di wajah dan tubuhnya, lagi-lagi membuat gejala panik menyerangku. Aku benci pada diriku yang masih saja lemah dan kalah dengan ketakutanku.
"Aku nggak maksud buat berantem, tapi tadi aku diserang dan aku yang harus ngelindungin diri mau nggak mau harus ngelawan...." Perkataan Kak Wira tiba-tiba saja tersamarkan. Aku jadi kehilangan fokus. Namun, kali ini aku tidak akan takhluk. Aku akan melawan. Aku beranikan diri maju dan menyentuh memar di pipi kanan Kak Wira.
"Kamu nggak marah?" tanyanya saat melihat tindakanku.
"Saya marah, Kak. Saya juga kecewa, tapi saya nggak mau berantem sama Kakak."
"Kamu takut kehilangan aku ya?" tanyanya dengan nada bercanda.
"Pertanyaan retoris. Kakak udah tahu jawabannya, tapi tetep aja ngelakuin ini." Aku menumpahkan kekesalanku dengan menekan salah satu lukanya dengan keras. Dia mengaduh dan membuatku sedikit puas.
"Kamu nih iseng, sakit tahu."
"Biar Kakak dapet pelajaran," sahutku sambil tersenyum. "Ya udah yuk, saya obatin lukanya." Aku menariknya masuk ke rumah.
"Bentar, tanganmu basah." Kak Wira mengamati telapak tanganku, "ini keringat dingin, kamu ngalamin syndrome panik kamu lagi?" tanyanya khawatir.
"Ini yang selalu terjadi sama saya, Kak. Setiap saya melihat memar, lebam, dan semua hal yang berhubungan dengan kekerasan."
"Maafin aku ya, aku..."
"Saya cuma mau ngasih tahu, Kak. Bukan ngancem dan nyalahin," ucapku tersenyum.
Kami duduk di teras rumah dan terlihat sekali dia merasa bersalah melihat bulir-bulir keringat dingin yang masih mengguyur wajahku. Namun, rasa bersalahnya teralihkan karena ponselku terus berdering.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya Kak Wira mungkin mulai terganggu dengan suara getaran ponselku.
"Males, Kak. Itu telpon dari Bapak," jawabku parau.
"Bukannya bagus ya? Kan Dokter Adrian nyaranin kamu buat ketemu Bapak biar bisa cepet sembuh?"
"Tapi waktunya nggak tepat."
"Kenapa emang?"
"Karena saya lagi pake dua tangan saya buat ini...," ucapku sambil usil menekan lukanya dengan lebih keras. Itu satu-satunya cara agar pembahasan soal bapak berakhir karena aku masih malas membicarakannya. Terlebih alasannya tiba-tiba kembali, sukses membuatku semakin membenci.
***
Tumben sekali ibu menyuruhku untuk segera pulang hari ini, jadilah rencanaku dan Kak Wira untuk makan bakso di tempat favorit kami jadi terpaksa diundur. Sesampainya di rumah firasatku jadi kurang enak. Terlebih sebuah mobil telah terparkir di sana. Kecurigaanku akhirnya menemukan buktinya ketika sosok itu menampakkan diri. Dia tersenyum kepadaku seakan baru kembali dari petualangannya. Dia mendekatiku tanpa ragu, seharusnya langkahnya tak seenteng itu. Tak adakah sesal di benaknya sedikit pun?
"Untuk apa Anda ke sini?" tanyaku setenang mungkin setelah melepaskan helm yang aku kenakan dan berdiri setegap mungkin untuk menantangnya.
"Anda? Ara, ini Bapak. Bapak ke sini mau ketemu kamu, Bapak kangen sama kamu," ucapnya dengan merentangkan tangan sebagai tanda ingin memelukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stairways to Happiness
Ficção AdolescenteSurat cinta tugas MOS membawa dunia Ara yang tenang menjadi tak beraturan sebab kakak kelas yang namanya baru diketahuinya beberapa jam lalu dengan seenak udel menerima cintanya. Padahal tulisan itu hanya sebuah coretan biasa yang tidak ada maksud a...