"Sudahkah memastikan keadaan kalian baik-baik saja? Mulut bisa menipu dengan senyum dan kata-kata, tapi keadaan hati mana mungkin bisa berdusta."
-Ara-
***
Aku memang tidak pernah menyukai sekolah ini bahkan saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini. Tapi hari-hari terakhir ini berbeda, semua terasa lebih sulit. Aku harus melihat wajah murung itu dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kata orang hal yang paling menyedihkan adalah ketika kita jatuh cinta kepada sahabat yang tak bisa mencintai kita. Mungkin kata-kata itu harus dikoreksi mulai sekarang karena dicintai sahabat yang tak bisa kita cintai sama besarnya juga menyedihkannya. Saat kita menyayangi seseorang kita selalu berusaha jadi sosok terbaik untuknya dan akan sangat tragis ketika kita tak mampu menjadi sosok yang diinginkannya.
Terlebih orang itu sebaik Randu. Dia orang yang selalu ada di saat terendahku. Dia selalu menguatkanku, menjagaku bahkan selalu berhasil menerbitkan tawa di saat tersulitku. Tapi kini aku tak bisa melakukan hal yang sama. Perhatianku memang obat untuknya, obat yang membutuhkan dosis yang tepat. Salah dosis hanya akan membuatnya jadi racun yang bukannya menyembuhkannya malah menyakitinya.
Semua ini membuat kita canggung satu sama lain. Aku tak suka diam yang janggal ini, tapi aku juga belum menemukan tempat yang tepat untukku berada di kekacauan ini. Ada dua hati yang harus aku jaga dan karena mereka sama berharganya aku tak bisa sembarangan soal itu. Aku harus berhati-hati, tapi sehati-hati apa. Aku juga kurang tahu.
Dua hari berlalu dengan tenang yang tidak menentramkan. Randu dan aku tidak juga menemukan titik temu. Rasa bersalah membuatku hanya mampu memandangi pungungnya. Dia selalu duduk di depanku, jadilah hanya punggungnya yang bisa tertangkap mata. Punggung tempatku menerka kabar dan keadaannya. Selebihnya hanya doaku diam-diam agar dia tetap bisa bertahan.
Hari ini adalah hari pertama Kak Wira berangkat sekolah lagi. Tapi aku masih enggan bertemu dengannya karena belum juga dia bisa memberikan jawaban atas pertanyaanku. Sepertinya memahami diri sendiri itu tak semudah seperti apa yang dikatakan buku pengembangan diri. Meski banyak cara dan teori tentang itu tetap saja sulit. Itulah yang aku lihat dari Kak Wira. Aku melihat ada keraguan mengenai dirinya. Seakan rasa percaya diri yang selama ini dia perlihatkan sebenarnya tak pernah ada. Dia nampak yakin akan sesuatu, tapi juga ragu di waktu yang sama. Semacam krisis identitas, tapi juga seperti bukan. Keadaan yang membuatku juga bingung harus bagaimana menghadapinya.
Jadilah siang ini aku ingin menghabiskan waktu di perpustakaan sendirian. Tempat tersunyi di sekolah ini walaupun niatku untuk menepi sendiri tergagalkan juga. Tepat di lapangan basket yang letaknya tak jauh dari perpustakaan, terjadi keributan.
"Woi ada yang berantem." Salah seorang murid yang tak aku kenali namanya berbicara pada temannya dengan wajah panik.
"Siapa emang yang berantem?" Sebenarnya aku tidak mau tahu, tapi mereka berjalan tepat di depanku jadi mau tidak mau aku mendengarkan juga obrolan mereka.
"Kak Wira sama Kak Adi bertengkar."
Mendengar nama itu, aku refleks berbelok ke arah keributan. Semua anak berjejalan untuk menyaksikan langsung apa yang terjadi dan aku yang kalah tinggi serta kalah kuat susah sekali menembus kerumunan. Semua anak berbisik-bisik entah membicarakan apa. Suara mereka bersahutan tak teratur. Hingga akhirnya aku melihat dengan kedua mataku sendiri pertengkaran itu. Kak Adi berulang kali mengucapkan kata kasar dan Kak Wira yang telah termakan emosi menyahuti dengan perkataan yang sama kasarnya. Lalu saat kata-kata tak lagi bisa beradu, fisik pun maju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stairways to Happiness
Teen FictionSurat cinta tugas MOS membawa dunia Ara yang tenang menjadi tak beraturan sebab kakak kelas yang namanya baru diketahuinya beberapa jam lalu dengan seenak udel menerima cintanya. Padahal tulisan itu hanya sebuah coretan biasa yang tidak ada maksud a...