"Sebenarnya apa yang Tuhan berikan kepada kita itu lebih dari cukup, hanya saja standar yang manusia buat menjadikannya tidak pernah cukup."
-Ara-
***
Aku mendapat kejutan yang luar biasa hari ini. Seseorang yang aku pikir tidak akan menjengukku, detik ini telah berdiri di depanku bahkan beberapa menit lalu dia memelukku. Hal yang membuatku percaya semua ini hannyalah ilusi, tapi genggaman tangan ini nyata rasanya. Benarkah semua ini? Benarkan Galuh yang ada di hadapanku sekarang?
Kami terdiam beberapa saat. Dia duduk di kursi yang berada di samping kanan tempat tidurku dan aku menegakkan badan agar bisa melihatnya dengan jelas. Tapi rasa bersalah membuatku memilih menundukkan kepala bahkan menjauhi tatapannya.
"Maaf...," kataku dan Galuh bersamaan. Sontak kami langsung saling pandang.
"Biar aku dulu ya, Ra yang ngomong?" aku menganngguk untuk memberinya izin berbicara lebih dulu karena jujur aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan.
"Aku mau minta maaf, Ra. Aku udah keterlaluan...."
"Nggak, Luh. Aku yang punya salah sama kamu," ucapku sambil menahan air mata yang ingin tumpah.
"Enggak, Ra. Omongan aku beberapa hari lalu itu udah keterlaluan banget. Aku harusnya nggak ngomong kayak gitu," sahutnya penuh sesal dan air mata mengalir perlahan di pipinya. Aku yang awalnya menahan tangis, jadi ikut menangis juga.
"Tapi omonganmu bener, Luh. Aku terlalu nyaman melabeli diriku sebagai korban dan aku jadi percaya bahwa aku adalah orang yang paling menderita di dunia ini. Padahal semua orang punya penderitaannya masing-masing."
"Tapi Ra, nggak seharusnya aku nggunain itu buat nyakitin kamu. Aku kebawa emosi waktu itu dan pengen bikin kamu ngerasain sakit yang aku rasain. Berarti kan aku yang egois dan jahat di sini padahal setelah aku pikir-pikir lagi omonganmu sama Randu itu bener."
"Bener gimana, Luh?"
"Randu bilang ke aku, dia bakal jadi cowok yang jahat banget kalau ngebiarin aku bertahan dengan harapan yang sebenarnya udah enggak ada. Dia bilang juga dia emang udah jahat karena mutusin aku dengan alasan suka sama cewek lain, tapi dia akan lebih nggak tahu diri kalau ngebiarin aku bertahan di tempat yang salah. Lebih baik kalau dia ngelepasin aku dan ngebiarin aku mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya aku bisa miliki. Klise banget sih, tapi setelah dipikir-pikir nggak juga. Dia bener." Galuh menghapus pipinya yang dipenuhi bulir air mata, aku bisa merasakan sakit hati yang coba dia redam sekuat tenaga.
"Terus tentang omongan kamu, Ara. Kamu bener soalnya kalau misalnya Randu nggak jujur dan dia terus mencoba bertahan sama hubungan kami. Iya, aku bakal bahagia tapi Randu nggak bahagia. Rasa terpaksa dia lama-lama kan ketahuan juga dan jadinya kita bersama bukannya saling membahagiakan malah saling membebani dan bisa juga saling menyakiti. Jadi seperti ucapanmu mending berpisah tapi masing-masing bisa bahagia."
"Tapi tetep aja, Luh. Kamu terluka karena itu."
"Aku bohong kalau bilang aku nggak terluka. Sampai detik ini aja aku masih ngerasain sakitnya karena jujur aku masih cinta sama Randu. Tapi buat apa, Ra. Kayak omongan kamu setahun lalu setelah aku, kamu, dan Arsya bergadang nonton drakor secara marathon. Kamu bilang cinta itu tentang siapa memilih siapa dan siapa yang dipilih siapa. Nggak bisa dielak lagi Randu milih kamu, Ra."
"Tapi aku nggak milih dia dan aku masih sedih kalian harus pisah."
"Satu hal yang pasti aku udah nggak ada hak tentang itu. Itu udah jadi urusannya Randu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stairways to Happiness
JugendliteraturSurat cinta tugas MOS membawa dunia Ara yang tenang menjadi tak beraturan sebab kakak kelas yang namanya baru diketahuinya beberapa jam lalu dengan seenak udel menerima cintanya. Padahal tulisan itu hanya sebuah coretan biasa yang tidak ada maksud a...