Hari-Hari Bersamanya

10.5K 1.1K 149
                                    

Kita tidak akan pernah jadi sosok sempurna untuk satu orang pun dalam hidup kita. Tapi jangan takut karena Tuhan telah menitipkan cinta yang utuh untuk kita di hati orang-orang yang telah dipilih-Nya. Sehingga kita tak akan pernah fakir rasa dan miskin cinta. Kita akan selalu dicukupkan-Nya.

-Ara-

***

Now playing: Michael Bolton-Fathers and Daughters

***

Harusnya aku tidak terkejut dengan keberadaan orang itu di depan gerbang sekolah karena ibu sudah memberitahuku sebelumnya bahwa dia yang akan menjemputku. Tapi baru melihat wajahnya saja, aku sudah mati langkah. Ketakutan dan kemarahan berhasil mengerem langkahku bahkan sudah berulang kali mereka mengajakku berbalik masuk ke sekolah lagi. Mereka mendoktrinku untuk melarikan diri. Namun, entah mengapa aku tak menurutinya dan malah terdiam tanpa sebuah keputusan untuk maju atau mundur.

Jujur aku kurang paham dengan diriku sendiri, kemarin saat aku bertemu orang itu aku tak mengalami gejala-gejala panikku. Hanya murka yang tertinggal saat itu. Tapi kini semua kambuh lagi. Keringat dingin itu membasahi tubuhku dan bayangan ingatan lalu berhasil menyulut marahku. Hingga keduanya berkombinasi mengkakukannku dalam diam yang kosong. Diam yang membuatku bingung.

Hingga suara-suara sekumpulan anak berhasil mengalihkan kebimbanganku. Mereka adalah anak-anak yang beberapa hari lalu menghina Kak Wira. Seketika ucapan Randu terulang di otakku.

"Apa bedanya kamu sama mereka?"

"Kamu juga nggak mau denger dan nggak mau tahu kan penjelasan Bapak? Kamu nuntut perubahan, tapi kamu aja nggak mau berubah. Ya mana mungkin dunia ini jadi berubah."

Aku pandangi wajah-wajah yang sempat ingin aku labrak itu. Ku amati mereka dan hatiku besi keras tak mau disamakan dengan mereka. Tapi perkataan itu tak cukup kuat hingga hanya membuat kepalaku jadi sedikit berisik, sedangkan tubuhku masih mematung di tempat yang sama. Sontak pembicaraan Randu teringat lagi olehku.

"Iya, belajar dari apa yang terjadi ama Kak Wira. Gimana kalau itu juga kejadian ama Bapak? Apa kamu siap nanggung penyesalan akibat nggak sempet ngelakuin hal yang seharusnya kamu lakuin?"

Dari semua dialog Randu kenapa itu yang terputar lagi seakan bagian diriku meminta dengan halus untuk segera bertindak dan mengakhiri permainan peta umpet ini. Namun lagi-lagi jiwa keras kepalaku menahanku tetap di titik yang sama. Terjadilah debat panjang di dalam pikiranku antara si tukang melarikan diri dan si ingin menghadapi takdir. Sayang keduanya sama kuat jadilah aku masih tak bergerak. Sampai akhirnya potongan kenangan itu mengantarkan bayangan Kak Wira dalam benakku. Ucapan Kak Wira di hari terakhir aku menemuinya tiba-tiba menampakkan jasadnya dan aku tergugu dilumuri rindu mendengarkan dengan seksama.

"Jadi please yakinin aku dengan ngasih kesempatan kedua ke Bapak biar aku percaya kalau dunia tempat aku hidup ini nggak seburuk seperti yang aku bayangin."

Wajah memohon itu kini memenuhi ruang pikiranku dan berhasil menindas si tukang melarikan diri. Jadilah kakiku bergerak lincah menuju gerbang sekolah. Ku lihat lebih dalam wajah yang mulai menua itu. Guratan dalam kulit itu seakan memberitahuku bahwa ada kisah tersembunyi yang harus aku tahu. Dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengetahuinya.

Orang itu nampak sumringah melihatku berjalan mendekatinya. Dia terlihat canggung untuk memulai obrolan. Begitu pula aku yang merasa bibirku membeku dan suara hanya tersisa di kepalaku.

Stairways to HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang