"Kadang jarak dibutuhkan agar kegelisahan menemukan jawaban lewat rasa kehilangan."
-Ara-
***
Sabtu sore ini aku sendirian di rumah. Karena di rumah Mbak Asih nanti malam ada acara, Mbak Asih jadi harus pulang lebih awal dari biasanya. Sedangkan ibu belum pulang juga dari memberikan kuliah pengganti akibat beberapa hari lalu sibuk menemaniku di rumah sakit. Aku memilih duduk di ruang tengah dan menyibukkan diri menyalin buku catatan Arsya yang masih menumpuk juga sambil ditemani suara televisi yang hanya berperan untuk membunuh sepi. Walaupun tanganku sibuk menulis, pikiranku masih saja berkutat pada hal yang sama. Hatiku juga masih porak-poranda. Benarkah kata Arsya bahwa hubunganku dan Kak Wira masih punya kesempatan? Terlebih apa yang aku lihat siang tadi di sekolah. Senyum Kak Wira ke Kak Lona benar-benar membuat kemungkinan yang Arsya katakan seakan tak ada.
Tiba-tiba saja telingaku terusik oleh bunyi yang aku kenal. Tidak mungkin, aku pasti sedang berhalusinasi. Namun, suara itu makin mendekat, makin memperjelas keberadaannya. Angki? Itu suara Angki. Tidak, pasti hanya orang lewat yang menggunakan motor merek yang sama dengan Angki. Tapi kenapa motor itu terdengar berhenti di depan rumah? Aku yang kelewat penasaran tanpa pikir panjang langsung berdiri dan berlari menuju teras.
Harusnya tadi aku mengintip saja dari jendela kamar tamu, kenapa juga langsung keluar begini? Sudah terlajur, aku telah ketangkap basah kedua mata itu. Kalau aku berbalik pasti canggung sekali. Kenapa aku sangat teledor? Bisa saja dia datang kemari bukan dengan maksud seperti yang aku inginkan. Lalu aku harus bagaimana? Andai aku bisa menghentikan waktu dan.... Sebelum pikiranku menyelesaikan ucapannya, pengendara motor itu memarkir begitu saja motornya kemudian melepas helm yang dia kenakan. Dia bergegas turun dan berjalan cepat kearahku.
Ada rasa bahagia yang timbul di hatiku saat mendapati ketergesaannya. Terlebih senyum itu, aku tak pernah bisa lari dari pesonanya. Langkahnya yang sebenarnya cepat terlihat perlahan di mataku. Bahkan pergerakan angin yang membelai rambutnya mampu tertangkap sempurna oleh pandanganku. Dia kini berdiri tepat di hadapanku, melihat kedua mataku penuh. Kami pun saling menatap seakan berbicara dengan bahasa tanpa suara.
"Kita udahin aja yuk main petak umpetnya karena kita sama-sama pengen ditemuin. Tapi kalau nggak ada yang nyari, ya ujungnya kita malah asyik sembunyi sendiri-sendiri dan aku nggak mau itu terjadi." Dia terlihat salah tingkah untuk melanjutkan perkataannya, "aku minta maaf ya, aku...."
"Saya udah maafin, Kak. Walaupun saya masih belum bisa membenarkan apa yang Kak Wira lakukan," sahutku saat melihatnya bingung untuk membahasakan pemikirannya.
"Iya aku paham kok karena itu sebagai tanda permintaan maaf, kamu ikut aku pergi ya habis ini?"
"Kemana, Kak?" tanyaku untuk memastikan.
"Rahasia," jawabnya mencurigakan.
"Mau nyulik saya nih ceritanya?"
"Bukan nyulik, tapi mau ngasih kejutan." Dasar dia tetap Kak Wira yang tidak mudah ditebak isi pikirannya.
"Masalahnya Ibu belum pulang dan rumah kosong," timpalku jujur.
"Kalau gitu biar aku yang minta izin ke Ibu, kamu siap-siap aja."
"Yakin bakal dapet izin dari Ibu?"
"Iyalah kan aku calon mantu...," Ucapnya sambil meringis kepadaku dan refleks aku langsung mencubit lengannya untuk menghentikan omongannya yang sudah melantur jauh. Dasar Kak Wira, sablengnya belum sembuh juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stairways to Happiness
Ficção AdolescenteSurat cinta tugas MOS membawa dunia Ara yang tenang menjadi tak beraturan sebab kakak kelas yang namanya baru diketahuinya beberapa jam lalu dengan seenak udel menerima cintanya. Padahal tulisan itu hanya sebuah coretan biasa yang tidak ada maksud a...