Dengan hati berdebar dan juga rasa penat yang belum hilang, aku mengetuk pintu ruangan pak Danu, bosku yang super galak itu."Sasa!" panggil Pak Danu, yang kemudian meletakkan pulpennya di meja. "Masuk, Sa!"
Aku berjalan pelan menuju meja besar pak Danu."Kok berdiri aja, duduk!" perintah pak Danu.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku duduk.
"Ini data dari klien baru kamu, nanti kamu hubungi dan berdiskusi lagi seperti biasanya,"
Pak Danu menjelaskan lagi,"Ingat, Sa!
Klien ini sangat penting karena dia memiliki relasi yang banyak dan restoran yang akan kamu tangani itu akan menjadi restoran kalangan menengah ke atas. Jadi, kalau dia puas, dia pasti akan mempromosikan perusahaan kita dengan cuma-cuma setiap kali koleganya terpesona dengan detail rancangan kamu."Aku hanya bisa mengangguk pasrah, padahal hatiku berteriak ingin mengajukan cuti.
"Duh,Pak...aku nih sudah di tingkat lelah maksimal.
Baru aja selesain proyek klinik perawatan yang memakan waktu dua bulan sendiri. Ini sudah dikasih proyek restoran,"pikiranku melayang."Sasa, kok kamu malah bengong?" tanya pak Danu sambil menatapku tajam.
"Eeh iya, Pak! Saya denger kok!" elakku.
"Gaji kamu akan saya naikkan, kalau kamu berhasil mendapatkan rekomendasi dari dia!" Pak Danu mengiming-imingi.
Enak sih kalau naik gaji, travelling list- ku bisa terpenuhi satu per satu. Eh, tapi itu kalau dikasih cuti ya. Kalau enggak, ya sama aja keleus, Sa! Nasib banget deh!
"Satu lagi, Sa," tambah pak Danu.
"Bu Natasya itu memang terkenal rewel, suka berubah pikiran. Juga klien yang akan kamu tangani bukan hanya bu Natasya, tapi ada satu lagi proyek apartemen dengan deadline yang hampir barengan. That's why i choose you, Sasa." Pak Danu menatapku dari balik kacamatanya dengan tatapan yang mengintimidasi dan tajam seperti silet.Eerr, dan aku membencinya untuk itu.
Mau enggak mau, sisi perfeksionisku itulah yang berhasil dipancing untuk mendominasi pribadiku.Okay, Fine! Challenge accepted.
"Baik, Pak...saya paham!" jawabku mantap.
"Oke, saya sudah selesai bicara, silahkan kamu kembali bekerja!" kata pak Danu dengan nada memerintahnya.
"Baik, Pak... Saya permisi dulu!" pamitku, berdiri dan meninggalkan ruangan pak Danu dengan pikiran penat.
Aku kembali ke ruanganku dan menyalakan laptop.
Tiba-tiba gawaiku berbunyi. Nama Delia tertera disana.
"Halo, Lia"
"Sa, kamu mau nitip kesukaanmu cappucino venti, enggak?" tanya Delia tanpa basa-basi."Aiih, mau banget, Lia! Kamu baik banget ya ternyata!" sahutku dengan suara sok centil.
"Eh, aku mah emang baik, yang jahat itu kamu." jawab Delia sambil terbahak-bahak.
"Asyeem" teriakku yang disambut dengan nada panggilan yang terputus. Delia sengaja langsung mematikan panggilan teleponnya.
Aku kembali menatap layar laptop.
Tersenyum sendiri, karena mengalami suatu kebetulan yang begitu indah. Eh enggak deng, aku bukan orang yang percaya dengan kebetulan. Aku berpikir bahwa setiap kejadian adalah merupakan ketentuan-Nya.Dan ternyata setelah ketentuan-Nya yang menyenangkan soal kopi, sekarang aku menghadapi situasi, dimana dua nama klienku yang ditampilkan di layar laptop membuatku mengernyit.
Untuk nama yang pertama, mungkin hanya sebuah kebetulan.
Toh itu hanya nama belakang saja, Sa.
Belum tentu juga seperti yang aku takutkan. Tapi untuk nama yang kedua, sepertinya hanya sedikit kemungkinannya.Aku menghela napas dan menghembuskannya perlahan.
"Tapi ini kan belum terjadi, Sa! Bisa jadi kamu salah," batinkuJadi, jika biasanya aku tidak pernah mengharapkan kesalahan, maka khusus dua hal ini, aku benar-benar mengharapkan suatu kesalahan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rancangan Rasa
Chick-LitBuat seorang Rasabrina Andrista, kepuasan klien atas hasil kerjanya adalah yang terpenting. Sasa selalu rela jungkir balik koprol agar proyeknya selesai seminggu sebelum deadline, sesuai budget awal dan sesuai ekspektasi klien. Maklum, Sasa punya si...