Chapter 34

6.8K 503 4
                                        

"Sa, aku enggak tahu apa yang membuat kamu membangun tembok begitu tinggi dari kebahagiaan," kata Mikhail pelan.

"Kalau aku boleh menilai dan berpendapat, itu semua dimulai dari sebelum kamu memilih laki-laki brengsek yang bahkan sampai sekarangpun aku gak tahu namanya! But, i prefer to call him a jerk!
The poin is, tembok itu sudah ada sampai akhirnya kamu memilih dia," lanjut Mikhail.

"Kamu pede banget sih, kalau dari dulu aku udah suka sama kamu!" sahutku malu.

Mikhail tertawa," Aku enggak bilang kalau kamu suka sama aku dari dulu loh! But, i am glad you finally said it!"

Iya juga ya, kenapa malah aku yang keceplosan! Stupid Sasa, kamu kalau salah tingkah mendadak jadi bodoh luar biasa. Hiks.
Dan melakukan kebiasaan bodohku lagi, memukul lengan Mikhail.
Tentu saja hal itu membuat tawa Mikhail kembali pecah.

"Lama-lama aku makin suka kalau kamu salah tingkah, walau sepertinya lenganku  bakalan sering dipijat supaya gak memar!"  lanjut Mikhail.

Aku tersenyum masam.

"Kamu tahu, Sa! Saat aku lihat kamu pertama kali di kantorku, saat itu juga aku tahu kalau aku sudah menemukan wanita yang aku cari selama ini!"

"Makin pinter aja ngegombal kamu!" sahutku ketus.

"kamu juga makin lucu aja kalau salah tingkah gitu," jawab Mikhail sambil tertawa.

Kayaknya dia malam ini bahagia banget bisa ngetawain aku terus. Oke, Sa! Stop salah tingkahnya!

"Kamu tahu kok aku jujur atau ngegombal, tanya aja sama hati kamu, Sa," lanjut Mikhail pelan.

"Kamu kok senang banget sih malam ini, dari tadi ketawa terus!" protesku sambil berusaha menyudahi percakapan yang bikin aku serba salah ini.
Tapi tampaknya Mikhail belum menyerah. Ia kembali membahas.

"Kamu pikir kamu aja yang punya perasaan takut, Sa?" tanya Mikhail serius.

Aku diam dan memilih tidak menjawab.

"Hampir semua orang punya ketakutan yang disimpannya sendirian. Tapi bukan berarti ketakutan itu kemudian menguasai kita," lanjut Mikhail.

"Kita hanya punya satu cara untuk mengatasi ketakutan itu. Hadapi, bukannya lari, Sa. Pelan-pelan tembok yang kamu bangun itu juga akan runtuh. Will you try to face your own fear, Sa?"

Aku diam.

Mikhail hanya menatapku dan kemudian mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan.
Aku menghela napas.

"I'll try," sahutku singkat dan kemudian kembali terdiam, merenung.

Wow, ternyata kita bisa dikelabui oleh diri kita sendiri. Aku baru menyadarinya saat ini.
Jika ketakutan selalu ada di hatiku, maka aku tidak akan bisa melihat kenyataan. "Kenyataan" yang kulihat hanyalah bentuk ilusi dari rasa takut itu.
Aku yang selama ini tidak percaya kalau Mikhail akan membuatku bahagia, makanya aku tidak mau memberikannya kesempatan dan justru lari.

Jadi, setiap orang  harus menyakini terlebih dahulu bahwa air yang diteguknya akan mampu menghilangkan rasa dahaganya, karena jika ia tidak yakin, maka air segalon pun tak akan mampu menghilangkan rasa hausnya  apalagi membuatnya merasa puas.

Aku larut dalam pikiranku sendiri, hingga aku mendengar Mikhail berkata,"I think we already agree on this ya, Sa!"

Aku mengangguk dan menyahut pelan,"Iya."

"Oke," sahut Mikhail yang kemudian kembali mengendarai mobil.

Aku menatap ke depan walau pikiranku berjalan mundur ke waktu itu.
Tentang kebodohanku kembali lagi dengan Edzard dan lari dari Mikhail.

Rancangan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang