Chapter 14

10.7K 802 2
                                    

Boleh mampir ke kantor kamu?
-Mikhail-

Sebuah pesan WA diterima.

Aku mengetik balasan.

Boleh, mampir aja!

Centang biru, Mikhail mengetik.

Ok

Aku tersenyum lebar. Kemudian, kembali fokus mengerjakan apa yang sedang kukerjakan.
Menatap jalanan Jakarta.
Sebuah bangunan ruko yang kutuju sudah berada di depanku.
Aku memakirkan mobil dan membawa perlengkapanku dan masuk ke dalam bangunan tersebut.

Lucia menyambutku dengan senyum.

"Finally, kamu datang," sambutnya sambil mengulurkan tangannya dan menarikku serta menempelkan pipinya ke pipiku guna melakukan ritual cupika-cupiki macam teman lama yang super akrab.

"Kita janjian jam 11.30 kan? Dan sekarang baru jam 11.15!" ucapku.

"Iya," jawabnya singkat.
"Ayo, duduk dulu!" ajak Lucia.  Aku mengikuti langkahnya menuju sepasang kursi kayu berwarna putih.

"Oke, kita langsung aja, ya? Untuk konsep desainnya kamu mau seperti apa?" tanyaku.

"Aku mau konsep  modern style dengan dominasi warna kesukaanku," terang Lucia.

"Oke...which is?" tanyaku tak sabar.

"Ah, masa kamu lupa warna kesukaanku sih?" kata Lucia.
"Iya, soalnya dulu kan gak pernah keluar di ulangan!" jawabku asal.

Masa, aku harus ingat warna kesukaannya dia sih!

"Ya ampun, iyaa aku lupaaa, kamu kan kuper!" sindir Lucia.

"Ya...ya...ya...Whatever!" kataku.

Oke, jadi kamu maunya pake warna apa?" desakku tak sabar.

"Coba kamu ingat-ingat dulu! Satu sekolah tahu warna kesukaanku!" perintah Lucia.

"Ya, enggak semuanya berarti! Kan, aku gak  tahu!" bantahku.

"Kamu tuh dulu kan sering aku bully, harusnya kamu tahu banyak tentang aku!" paksanya lagi

Oke, logika yang aneh. Ngapain aku harus cari tahu tentang orang yang suka mem-bully-ku. Yang ada, aku berusaha mengganggapnya tidak ada. Dan itu yang selalu aku coba lakukan. Mungkin itu yang membuat Lucia tidak puas.
Harusnya dia sadar, kalau dulu saja, dia tidak pernah berhasil mengintimidasiku, lantas sekarang kenapa dia berpikir bisa mengintimidasiku?

"Well, aku enggak punya waktu buat cari tau!" jawabku ringan.

"Masa kamu enggak inget sih kalau aku kemana-mana selalu pakai bandana pink!" gerutu Lucia.

"Aha! Oke, noted! Jadi warna kesukaannya pink!" sorakku dalam hati.

Aku tersenyum samar dengan kelakuan Lucia.

Terkadang, jika kita ingin membuktikan kelemahan seseorang, justru kita akan mengungkap kelemahan kita sendiri.

"Jadi untuk tema rancangannya sendiri kamu mau bergaya Modern Style dengan warna pink sebagai warna dominannya ya?" tanyaku memastikan.

"Iya!" jawab Lucia ketus. Sepertinya dia kesal sendiri kenapa bisa keceplosan.

"Aku lihat ke dalam ya?" pintaku langsung.
"Silahkan!" jawab Lucia singkat.

Aku bangkit dan beranjak ke dalam. Lucia tetap diam di kursi.

Sepertinya dia masih kesal. Bukan dia saja yang kesal. Aku juga kesal. Kesal kenapa aku harus bertemu dengannya lagi. Kenapa dia harus memaksa meminta aku yang menangani proyeknya?
Karena, sepertinya dia belum berubah.

Ah, aku perlu mengalihkan fokusku untuk memperhatikan dan menggambar denah ruangan beserta ukurannya.

Gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk.

Kamu dimana? Kok kata orang kantor, kamu lagi diluar?

Aku mengetik jawaban.

Wait, oke!

Mikhail membalas.

Ok!

Aku bergegas menuju Lucia.

"Sepertinya aku harus segera balik ke kantor lagi! Nanti begitu desainnya sudah jadi, aku langsung kabari kamu lagi, ya!" jelasku.

Lucia berdiri.

"Kapan jadinya? Berapa hari yang kamu butuhkan buat desain ini semua?" tanya Lucia dengan nada sedikit menantang.

Heran, nih orang emang doyannya ngajak perang kayaknya.

"Lusa aku kirim ke kamu!" jawabku pasti.

"No, jangan via email. Aku mau lihat dan koreksi langsung. Di sini  di jam yang sama!" perintahnya.

"Oke!" jawabku singkat.

"Sampai ketemu lusa kalau gitu, ya! " pamitku dan
mencoba tetap ramah.

Rancangan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang