Perjalanan pulang kami lebih banyak dihiasi oleh keheningan. Sepertinya aku dan Mikhail sama-sama berkutat dengan pikiran kami sendiri.
Dalam hal ini, aku lebih memikirkan apa yang selalu membuatku lari dari Mikhail. Entah apa yang ada di pikiran Mikhail.
"Sorry ya, Sa, kamu harus berada di situasi yang gak nyaman tadi," kata Mikhail memecahkan kesunyian kami.
"It's okay," sahutku singkat."Sulit banget buat Natasya percaya kalau suaminya itu hanya manfaatin dia saja," keluh Mikhail.
"Dia seakan-akan selalu menutup mata dengan kelakuan suaminya yang sudah melewati batas," lanjutnya lagi.
Aku hanya diam mendengarkan, tidak ingin salah memberikan komentar.
"Aku gak pernah suka sama suaminya Natasya, dan memang punya kecurigaan yang besar kalau dia benar-benar hanya menguras harta Natasya," kata Mikhail mulai bernada emosi.
"Tapi, anehnya semakin aku bilang sama Nat, semakin Nat membangun benteng yang tinggi. Aku punya tanggung jawab juga dalam melindungi Nat. Itu satu-satunya amanat om Pras" Mikhail menghela napas.
Ia kembali terdiam. Aku menoleh ke arahnya. Pandangannya lurus ke depan. Dalam keremangan cahaya yang hanya didapat dari lampu jalanan dan sinar lampu kendaraan lain, aku masih bisa menangkap raut sedih di wajah Mikhail.
Ada perasaan sedih yang perlahan menyusup ke dalam hatiku. Tanpa sadar, aku pun menghela napas. Ada juga sebuah rasa aneh yang mendorongku berkeinginan mengambil beban kesedihan Mikhail.
"Aku juga merasa Nat merahasiakan sesuatu, dia belum lama ini bolak-balik ke KL. Katanya sedang program bayi tabung, tapi suaminya tidak ikut mendampingi ke sana. Aku sengaja mengawasi dan mengetahui kalau suaminya di sini, saat Nat ke KL. Tapi begitu aku tanya pada Nat, Nat bilang suaminya ikut bersamanya," lanjut Mikhail dengan pelan.
"Sorry kalau boleh tau, apa yang buat kamu curiga dengan suaminya Natasya?" tanyaku pelan. Akhirnya aku tak tahan untuk berkomentar juga.
Semoga saja aku bisa membantu Mikhail."Instingku, Sa. Dan juga aku pernah memergokinya bermesraan dengan salah satu bawahannya," tutur Mikhail.
"Natasya sudah tau?"
"Sudah, bahkan aku tantang Nat untuk melihat hasil CCTV tapi dia menolak,"
"Dengan alasan?" tanyaku lagi.
"Gak ada, Nat hanya menangis dan membuatku tambah bingung waktu itu!"
Aku menghela napas.
"Mungkin Nat butuh keberanian untuk bisa melihat,"
Mikhail menoleh ke arahku, " Maksud kamu? Butuh waktu berapa lama lagi supaya berani?"
"You know, Mikhail. Terkadang wanita bukan tidak bisa melihat kelakuan brengsek laki-laki yang dicintainya. Ia hanya menutup mata!"
"Supaya?" tanya Mikhail.
"Ilusinya tentang cinta tidak langsung hancur berantakan," sahutku pelan.
"I dont get it, cinta itu kan harus dirasakan, ditunjukan dan dibuktikan, kenapa butuh ilusi tentang cinta? Seharusnya begitu cinta tidak bisa dirasakan, dilihat dan tak ada bukti sama sekali, we have to be brave enough to realize kalau itu bukan cinta!"
"Itu orang yang realistis dan tidak membawa ketakutan dari masa lalu. Tapi ada sebagian wanita yang butuh ilusi cintanya tetap terjaga. Jika ilusi itu hancur, hancur pula keyakinan bahwa dirinya layak dicintai." tuturku pelan.
Mikhail terdiam. Aku menghela napas sebelum kembali melanjutkan," Itu kenapa sebagian wanita memilih untuk tidak mau melihat "red flag" yang ditunjukkan oleh pasangannya."
"Kenapa aku merasa sepertinya kamu sedang membicarakan dirimu sendiri, Sa?" tanya Mikhail.
Aku tersenyum samar walau tahu Mikhail tidak melihat senyumku dalam keterbatasan cahaya di mobil ini.
"You know me well,"'sahutku singkat.
"Berarti yang kamu butuhkan waktu itu hanya keberanian and where did you get that?" tanya Mikhail.
———
Eaaaa darimana yaa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rancangan Rasa
Chick-LitBuat seorang Rasabrina Andrista, kepuasan klien atas hasil kerjanya adalah yang terpenting. Sasa selalu rela jungkir balik koprol agar proyeknya selesai seminggu sebelum deadline, sesuai budget awal dan sesuai ekspektasi klien. Maklum, Sasa punya si...