Jakarta sedikit bersahabat malam ini. Itu bisa disimpulkan dari tingkat kepadatan lalu lintas yang kami lewati. Ya, setidaknya kepadatannya tidak membuat kendaraan berhenti dan parkir di jalan tol dalam waktu yang lama.
Mikhail mencurahkan perhatiannya pada pandangan di depan. Ia menatap lurus.
"Sekarang sepertinya aku mulai mengerti kenapa dulu aku lari dari kamu," tuturku pelan.
Mikhail tidak bereaksi.
Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya dari samping.
Ia terus melihat ke depan."Kok kamu diam aja?" tanyaku.
"Ya, masa aku harus teriak hore sambil loncat," jawab Mikhail asal dan tanpa beban.
Aku memasang muka cemberut.
Mikhail menoleh ke arahku dan melihat reaksiku.
Ia kemudian tertawa terbahak-bahak."Kamu gemesin kalau cemberut begitu," godanya.
"Kamu nyeremin tahu gak?" kataku pada Mikhail.
"Kok bisa! Aku kan ganteng begini," godanya lagi.
"Kamu nyeremin coz you are just too good to be true," sahutku pelan.
"And that scared the hell out of me!"
"Ya, and you decided to run away, right!" sahut Mikhail saklek.
"I won't describe how my life was such a mess those days. But you have to know, berlari dari rasa takut akan sakit hati, enggak akan pernah menyelamatkan kamu dari sakit hati itu sendiri!" jelas Mikhail.
Aku diam menelaah kata-kata Mikhail.
"Katakanlah kamu lari dari aku karena enggak percaya kalau kamu bisa bahagia sama aku, itu sama aja kamu percaya kalau kamu hanya pantas menderita alias sakit hati. Padahal kamu lari untuk menghindari sakit hati,"
"See....pada akhirnya yang kamu dapati hanya sakit hati," lanjut Mikhail.
"Kok jadinya kamu kayak nyukurin aku sih!" protesku.
"Seriously, you feel it that way?" tanya Mikhail.
"Admit it, Sa!""Kamu enggak akan bisa biarkan aku bahagiain kamu, kalau kamu tidak pernah membiarkan dirimu bahagia,"
"Then i guess the real question is, why do you want to make me happy?" tanyaku.
Mikhail menghela napas.
"Kamu enggak akan bisa merasa bahagia, kalau kamu tidak pernah menganggap kebahagiaan itu ada, Sa!" tutur Mikhail, kali ini dia menoleh dan menatapku.
Aku tersadar, ternyata Mikhail telah menepikan mobilnya di bahu jalan.
Sepertinya percakapan ini akan menjadi serius.
Ah, aku telah salah memilih waktu untuk memulai percakapan dengan topik seberat ini.Mikhail menatapku dalam-dalam.
"The real question is, why dont you believe that you will be able to feel happy? That you deserve to be happy?"
"Kamu harus tanyakan itu sama diri kamu sendiri, Sa," lanjut Mikhail.
"While I'll do my part. Selalu mencintai kamu.
Tapi apakah cintaku sanggup membuat kamu merasa bahagia? Keputusan itu ada di hati kamu dan juga mindset kamu!" kata Mikhail sambil menunjuk ke arah pelipisnya sendiri.Aku termenung. Kaget mendengar kenyataan yang dipaparkan Mikhail.
Jika selama ini aku selalu lari ketakutan akan sakit hati, maka secara tidak sadar aku akan berlari ke arah yang akan membuatku sakit hati.
Karena sebenarnya keyakinan yang ada di alam bawah sadarku adalah aku hanya akan sakit hati.And boom, that's why aku dulu lari menuju laki-laki brengsek itu dan meninggalkan Mikhail yang memiliki cinta untukku.
Sekarang, aku mampu melihat diriku lebih jelas lagi.
Aku harus percaya kalau laki-laki seperti Mikhail itu benar-benar ada. Dan yang lebih penting lagi, aku harus percaya kalau cinta itu nyata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rancangan Rasa
ChickLitBuat seorang Rasabrina Andrista, kepuasan klien atas hasil kerjanya adalah yang terpenting. Sasa selalu rela jungkir balik koprol agar proyeknya selesai seminggu sebelum deadline, sesuai budget awal dan sesuai ekspektasi klien. Maklum, Sasa punya si...