Chapter 8

12.2K 974 3
                                    

Semburat senja menghiasi langit Jakarta menjadi pemandangan yang indah dan terpampang dari jendela ruang  kerjaku. Memandangnya mampu menghadirkan rasa damai.

Yang tidak indah adalah penampakan meja kerjaku yang berantakan dengan print-out  desain restoran Natasya.

Ya, Natasya berhasil membuatku jungkir balik dalam menyelesaikan desain yang dia mau, agar sesuai dengan tenggat waktu yang ia berikan.
Aku sedang berusaha mengerahkan seluruh konsentrasiku, ketika Delia masuk ke ruanganku, " Sa, makan dulu,gih! Ada nasi padang Sederhana, kesukaan kamu,"

Aku mendongak melihat ke arah Delia. Terharu.

"Kamu yang beliin?" tanyaku langsung.
"Gak, tadi Pak Danu yang nyuruh beliin buat yang masih pada lembur," jawab Delia.

"Oh kirain, baru aja aku mau menangis terharu," ledekku.

Delia tergelak dan menyeru,"Sasa stresss!"

Aku terbahak dan melemparinya dengan bola dari kertas desain yang kuremas.

"Udah ah stressnya! Makan dulu, gih," titah Delia.
"Laper juga, nih," lanjutnya lagi.

Aku menyimpan data kemudian beringsut bangkit dan menuju ke arah Delia.

Kami berdua berjalan menuju ruangan rapat yang seringkali disulap menjadi ruang makan, pada saat-saat lembur seperti ini.
Beberapa bungkus nasi padang diletakkan di meja.
Aku dan Delia mengambil bagian kami masing-masing.

"Sa, kamu sampai jam berapa lemburnya?" tanya Delia.

"Yaa, sampai selesainya. Besok sudah ditunggu sama Natasya," sahutku seakan dengan nada sesantai mungkin. Padahal sih karena kehabisan tenaga fisik dan semakin bertambahnya penat yang kurasakan.

"Kayaknya aku cuman sampai jam tujuh aja, Sa. Lakiku udah otw mau jemput," terang Delia.

"Ga pa pa ya?" tanyanya pelan.
"It's okay, Lia," sahutku mantap.

Aku ingin segera menghabiskan makananku ini. Karena terus terang, pikiranku masih berada pada proyek Natasya.

Gawaiku bergetar. Ada pesan masuk.

Mbak, besok kita gak jadi ketemu ya!
Ditunda sampai saya pulang dari KL, ya!
Mungkin minggu depan.  Nanti saya kabari lagi. Thanks.

Sebelum aku mengeluarkan emosiku, Segera kubalas pesan tersebut dengan sebuah kalimat singkat.

Oke, Mbak.

"Aarrghh...Damn you!" aku mengumpat kasar.

Delia terhenyak.

"Kenapa, Sa?" tanyanya.

"Sumpah ya, seenaknya banget!" omelku sambil mengambil air mineralku dan kemudian menegaknya. Mencoba menenangkan diri, aku menghela napas dalam-dalam. Kalau sudah begini, aku malas ngomong. Terlalu banyak yang dirasakan, ya capek fisik dan emosi juga. Aku lebih baik diam dan menghabiskan makananku.

Delia menunggu sambil memperhatikanku.

"Aku juga bentar lagi pulang kok, Li! Gak jadi lembur!" putusku.

Well, at least ada hikmahnya. Aku tidak merasa dikejar-kejar. Mungkin bahkan aku bisa janjian dengan Berliana.

Aah, come on, Sasa! Relax! Jangan nambah beban lagi. Baru saja beban proyek Natasya terasa diringankan, sekarang kamu malah menekan dirimu sendiri.

Relax, Sa!

Aku menghela napas dan kemudian berdiri.

"Yuk, aku mau balik ke ruangan buat rapiin berkas dan pulang!" ajakku pada Delia.
Delia mengikutiku. Delia sudah cukup memahamiku.

Tingkat kepenatanku semakin menjadi-jadi. Aku butuh liburan. Tapi,  disatu sisi kupikir rencana liburan sepertinya harus ditenggelamkan. Saat ini mustahil  rasanya kalau mau ambil cuti. But, i need to have some fun.

Aku teringat sesuatu dan segera membuka WhatsApp grup geng ancurku dan mengetik pesan.

Besok acaranya jam berapa?

April mengetik.

Jam delapan pagi. Kamu ikutan, Sa?

Aku mengetik balasan.

Yoi, i'm in. Ketemu di sana ya jam delapan!

Lana mengetik.

Asyiiik...see you, Sasa😘😘😘

Sepertinya ini ide bagus. Weekend ini aku  memutuskan untuk ikutan reuni sekolah dengan geng ancurku itu. Lumayan kalau bisa ngakak bareng sampai sakit perut dan meredakan stres.

Rancangan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang