Chapter 13

10.9K 926 13
                                    

Kemudian "penyakitku" kambuh, tanganku berkeringat setiap kali digenggam.

Ups, i hate that part of me. Jadi, ya aku gak punya pilihan lain selain perlahan menarik jemariku dari genggaman Mikhail.

"Sepertinya aku mau kembali ke kantor," putusku cepat. Aku bergeser maju tapi rupanya itu adalah keputusan yang salah. Karena, justru membuatku semakin berdekatan dengan Mikhail dan tentu saja aku semakin gugup.

Terlanjur dengan posisi tubuh yang berdekatan, dengan terburu-buru aku berusaha meraih mouse laptopku dan seakan-akan mencurahkan konsentrasiku untuk mematikan laptop. Padahal itu kan enggak butuh konsentrasi lebih.

Sumpah, salah tingkah banget rasanya!

Dan saat ini, menunggu laptop shut down secara otomatis terasa sangat lama. Itu jelas membuatku semakin enggak karuan.

Sedangkan Mikhail hanya diam menatapku. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya saja, aku merasa raut wajahku merona seperti terkena alergi udang. Eh salah ya, seperti terpapar sinar matahari terik.

Akhirnya, aku memasukkan kembali laptopku ke dalam tas. Aku memalingkan mukaku menghadap  Mikhail.
Ia masih saja menatapku dengan tatapan seperti dulu.
Tiba-tiba saja aku merasa marah.

"Kamu kenapa sih dari tadi ngeliatin aku terus?! Kayak orang gila, tau!" ucapku sewot.

Mikhail tertawa terbahak-bahak.

Beneran kayaknya dia emang stress deh! Eh, apa aku yang stress ya?

Ketika tawanya reda, ia berkata,"Dan, kamu tetap Sasa yang aku kenal. Selalu marah kalau salah tingkah."

Damn, he knows me so well!

"So, are you married now?" todongnya langsung.

Aku tergagap menjawab,"Enggak, aku belum nikah."

"Punya pacar ?" tanyanya lagi dengan nada mendesak.

Aku menggeleng. Mikhail terdiam dan mengernyit.
Raut mukanya berubah sendu.

"Masih tunangan?" tanyanya pelan.
Aku menghela napas.

"Enggak," jawabku pendek.

Ada perubahan di raut muka Mikhail.

"I'm glad to hear that!" ucap Mikhail. Raut wajahnya dihiasi dengan senyum sumringah.

"So, kamu enggak boleh marah kalau aku bakalan sering natap kamu!" sambungnya lagi, masih dengan senyuman.

"Ngapain juga sih, natap mulu!" protesku.
"Udah, ah! Aku mau balik ke kantor lagi!" tegasku sambil bangkit dan bersiap untuk beranjak pergi.

Mikhail bergerak cepat menarik tanganku.

"Give me your phone number, Sa!" pintanya.

"Buat apa?" bentakku.

Beberapa detik kemudian, aku kembali sadar dengan kebodohanku lagi.

Uhuk, stupid! Ya, buat kerja sama proyek ini lah, Sa! Emangnya Mikhail mau ngajak kamu kencan!

Mikhail hanya terdiam menahan tawa.

"Kalau mau ketawa, ketawa aja! Gak usah ditahan-tahan!" sindirku.
Aku merogoh tasku dan mengeluarkan dompet tempat aku menyimpan kartu namaku.
Aku menyodorkan satu lembar kartu namaku pada Mikhail. Ia menerimanya.

"Jadi hubungan kita hanya sebatas kerjaan aja, nih?" tanya Mikhail dengan setengah meledek.

"Emangnya mau jadi apaan sih?" jawabku.

Seharusnya ini merupakan sebuah jawaban, tapi bahkan aku sendiri tidak mengerti kenapa malah jadi sebuah pertanyaan.

Mikhail kemudian berdiri dan berhadapan denganku. Cukup dekat hingga membuatku kembali merasa gugup.

"Menyelesaikan urusan kita yang dulu belum selesai, Sa," lirih Mikhail dengan tatapan yang menghujam tajam ke hatiku.

Aku refleks menghindari tatapannya dan berbalik kemudian beranjak meninggalkannya terdiam di belakangku.

Aku berjalan terus hingga pintu keluar tanpa menengok ke belakang. Terus berjalan hingga ke parkiran. Berharap bisa segera bernapas dengan normal.

Aku menyalakan mobilku dan duduk termenung di belakang kemudi.
Aku perlu menelepon Naya.

"Naya, Nay...Naya!" kataku panik begitu panggilanku diangkat Naya.

"Yaampuun... kenapa kamu,Sa?" tanya Naya di seberang sana dengan nada khawatir.

"Tahu gak aku ketemu siapa?" Aku malah balik bertanya pada Naya.

"Eh, aku enggak pasang penyadap di kamu, meneketehe kamu ketemu siapa!" sahut Naya asal.

"Mikhail, Naya...aku ketemu Mikhail!" terangku.

"Whaatt!?" jerit Naya. Aku menjauhkan gawaiku dari telingaku. Terdengar tawa Naya diseberang sana.

"Sasa, kok kamu beneran kayak balik ke masa lalu sih!" sambungnya lagi.

Aku belum sempat menjawabnya. Karena, menyadari kaca mobilku diketuk perlahan dari luar.

Mikhail sedang memegang Mouse-ku sambil tersenyum.

Aku membuka kaca mobil.

"Punya kamu ketinggalan," katanya pelan.

Aku menerimanya.

"Makasih, ya!" ucapku.

Tanganku yang satu masih menggenggam gawaiku yang menyalurkan teriakan Naya di seberang sana " Terus, teruuuuss...Mikhail masih ganteng atau tambah ganteng?"

Mikhail tersenyum, entah karena mukaku yang memerah atau mendengar suara Naya yang seperti orang kesetanan itu.

Dengan segera, aku menaikkan kaca mobil dan berharap Mikhail budek.

Aaarrghhh! Malu-maluin!

Rancangan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang