Chapter 19

8.9K 716 2
                                    

Berliana menggeleng lemah.

Aku membelalakkan mataku, kaget,"What! Kamu bahkan belum dinikahinya?"

Lelaki itu mendekatiku lagi. Refleks, aku bergerak mundur siap memasang kuda-kuda.

"I said stay away from me!" ujarku sambil menatap tajam matanya. Matanya justru bergerak liar menatapku.

Dasar lelaki brengsek! Umpatku dalam hati.

Tiba-tiba pak Jery keluar dari arah kamar tidur dan sedikit keheranan melihat kami bertiga.

Aku kemudian beranjak menghampiri ke arahnya," Udah selesai, Pak?" tanyaku.

"Belum, Mbak. Barusan Mbak Delia nelepon saya, katanya Mbak ditunggu Pak Danu di kantor," tutur pak jery.

"Loh, kenapa gak nelepon saya langsung ya, pak?" aku segera mengeluarkan gawaiku dari dalam tas. Jangan-jangan aku yang gak sadar dengan panggilan masuk. Lagian gawaiku masih dalam mode diam.

Benar saja, ada tiga panggilan tak terjawab dari Delia dan dua panggilan dari Mutia.

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera menelepon balik Delia.

Butuh beberapa kali nada dering, baru Delia mengangkat panggilanku.

"Halo Sa, Pak Danu mau ketemu kamu nih!" ujar Delia di ujung sana.

"Oke, aku balik sekarang," sahutku cepat.

Panggilan dimatikan. Aku pamit ke pak Jery dan melihat ke arah Berliana," Aku balik ke kantor dulu, Nanti pak Jery yang akan menyelesaikannya," pamitku dengan nada dingin.

Aku ingin segera angkat kaki dari apartemen ini. Di lorong menuju lift, sadar kalau lelaki itu membuntutiku. Ia berjalan pelan dibelakangku. Tentu saja, otomatis aku mengerahkan semua konsentrasiku bersiap siaga. Awas saja jika dia sampai berani menyentuhku, aku akan menghajarnya habis-habisan.

Tempat di muka pintu lift, ia berkata,"Kamu akan menyesal, Sasa,"

Aku berbalik menatapnya dengan tatapan dingin, walaupun mulutku hanya diam dan berusaha menahan amarah yang hampir meledak ini. Beruntung pintu lift terbuka, aku segera masuk dan meninggalkannya yang masih menatapku tajam seakan berniat mengintimidasiku.

Dasar lelaki gila! Makiku dalam hati. Beraninya dia mengatakan itu kepadaku.

Rasanya emosiku benar-benar akan meledak. Aku berjalan menuju Mikhail yang sedang duduk.

Masih mencoba menenangkan diri, aku berusaha bernapas dalam-dalam.

Mikhail mendongakkan kepalanya dan melihatku. Raut mukanya berubah khawatir.

"Sasa, kamu kenapa?" tanyanya sambil bangkit berdiri di hadapanku.

"Aku mau kembali ke kantor sekarang, bisa tolong anterin aku?" pintaku dengan nada geram.

"Oke, ayo..." ajak Mikhail sambil menggenggam tanganku.

Aku membiarkannya dan kami berjalan dalam kebisuan.

Saat kami tiba di parkiran, gawaiku berbunyi.

"Sa, kata pak Danu besok saja, sekarang beliau harus pulang. Ada urusan mendadak katanya," cerocos Delia di seberang sana.

"Oke, thanks ya! " sahutku singkat dan menutup panggilan.

Aku lempar gawaiku ke dalam tas, dan begitu duduk di jok mobil. Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tangan dan tangisanku pecah karena begitu marahnya.

Mikhail terdengar menyalakan mobil, dan diam seribu bahasa.

Hanya sesegukanku yang terdengar. Mungkin sekitar lima menit, aku menumpahkan emosiku.

Terkadang, kita berpikir kita sudah memaafkan, tapi ketika situasi yang sama terulang kembali, dan kita belum menanganinya secara berbeda. Mungkin itu artinya masih ada yang harus kita selesaikan dengan diri kita sendiri.

Perlahan aku merasakan tangan Mikhail mengusap rambutku secara lembut.

"Mau cerita?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Oke, sekarang kita ke kantor kamu, ya?" tanyanya lagi. Mikhail berbalik ke arah jok belakang.

Masih dengan muka yang tertunduk, aku menjawab,"Bentar dulu ya, aku mau nenangin diri, malu ke kantor dengan muka kayak gini."

"Oke," sahut Mikhail sambil menyodorkan sekotak tisu.

Rancangan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang