Perjalanan pulang dari bandara Soetta lumayan lancar, kurang lebih pukul sebelas kami kembali sampai di kantor.
Aku bergegas masuk ke ruanganku. Mengingat nanti jam dua siang aku harus ke tempat Berliana, maka sekarang aku harus menyiapkan semuanya. Maksudku, agar begitu selesai waktu makan siang nanti, aku bisa langsung menuju ke apartemen Berliana.
Rasanya aku ingin menghindari dan tidak bertemu di apartemennya. Malas sekali rasanya jika harus berduaan dengan Berliana. Terlintas untuk mengajak Delia. Apa aku ajak aja ya? Tapi nanti kalau dia malah jadi kepo gimana? Aku masih tidak ingin membahas apa yang terjadi di masa lalu dengan orang yang tidak tahu menahu. Bagiku, itu bukan cerita yang pantas dibahas lagi. Toh, lima tahun telah berlalu dan aku sudah baik-baik saja sekarang.
Dulu, mungkin aku sempat merasa hancur, tapi kemudian hidup mengajarkanku untuk kembali tegak dan melihat dari sisi yang berbeda. Tuhan sudah menyelamatkanku dari kehancuran yang lebih mengerikan. Jadi, peristiwa itu menjadi sesuatu yang patut disyukuri bukan sesuatu yang patut dikeluhkan.
Aku melamun memikirkan apa yang harus aku lakukan jika aku bertemu dengannya lagi. Ketika aku mendengar suara pintu ruanganku diketuk, aku pun mengalihkan pandanganku ke arah pintu.
Lelaki itu berdiri tegak di sana, raut riang terpancar dari wajahnya.
"Boleh aku masuk?" tanyanya pelan tanpa mengurangi ketegasannya.
"Silahkan," masih dengan perasaan canggung, aku mempersilahkannya masuk.
Ia kemudian duduk di kursi yang terletak di depanku.
"Boleh aku ngajak kamu makan siang bareng?" tanyanya lagi.
"Boleh, tapi tunggu bentar ya. Aku perlu menyelesaikan ini dulu," sahutku sambil melihat kepadanya.
"Sure, take your time!" jawabnya ringan.
Matanya kembali menatapku dengan tatapan yang dulu memang sempat kurindukan.
Tapi ternyata bekerja sambil ditemani Mikhail itu membuatku sulit berkonsentrasi sehingga harus berusaha lebih keras dari biasanya. Hiks.
Padahal hanya tinggal merekap, tapi kok ya terus saja salah input data.
Akhirnya setelah hampir setengah jam berlalu, aku menyelesaikannya.
"Oke, kita mau makan dimana? Eh, tapi aku jam dua harus ke apartemen Taman Anggrek ya," kataku.
Mikhail beranjak berdiri,"Oke, kalau gitu kita makan siang di mal-nya aja ya!" putus Mikhail.
Aku mengangguk dan berjalan keluar dari ruanganku, Mikhail mengikuti dibelakang.
Menelusuri jalanan Jakarta dengan Mikhail di belakang kemudi, membuatku sedikit mengingat masa lalu.
"Kamu gak ada kerjaan ya? Kok ngajakin makan siang mulu?" tanyaku memecahkan kesunyian diantara kami dan juga supaya pikiranku gak ngelantur terlalu jauh.
"Ada kok," sahut Mikhail cepat.
Aku diam menunggunya kembali berbicara.
"Ya, kerjaanku di Jakarta itu ngajakin kamu makan siang. Sekedar memastikan kalau kamu gak akan skip your lunch!" lanjutnya lagi. Mikhail tetap memandang lurus ke depan.
Hanya aku yang menatapnya dengan pandangan kaget. Mikhail ternyata masih ingat kebiasaanku. Aku memang sering kali lupa makan jika sedang fokus bekerja.
"Masih ingat waktu kamu dirawat inap di rumah sakit karena kamu pingsan kecapekan?" tanyanya.
Aku merengut,"Iya, masih ingat! gimana bisa lupa? pas aku sakit, kamu malah cerewet ngomelin aku melulu!"
"Ingat juga betapa paniknya aku karena kamu malah nangis tengah malam gara-gara cowok brengsek itu yang sama sekali gak peduli," sindir Mikhail.
"Iya, aku ingat....udah ah gak usah dibahas!" pintaku.
"Kenapa? Kamu masih gak mau ngakuin kalau dia brengsek?" selidik Mikhail. Kali ini dia menengok kearahku.
"Bukan, tapi karena aku malu dengan kebodohanku!" sahutku ketus.
"Dia memang lelaki brengsek, tapi aku juga perempuan bodoh!" lanjutku lagi. Aku menghela napas.
Mikhail terdiam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rancangan Rasa
Romanzi rosa / ChickLitBuat seorang Rasabrina Andrista, kepuasan klien atas hasil kerjanya adalah yang terpenting. Sasa selalu rela jungkir balik koprol agar proyeknya selesai seminggu sebelum deadline, sesuai budget awal dan sesuai ekspektasi klien. Maklum, Sasa punya si...