Gawaiku bergetar.
Natasya memanggil.
Duh, ada apa lagi! Kepalaku sudah cukup pusing dengan tingkah laku Mikhail sepanjang perjalanan pulang ini.
Jadi semenjak kejadian dengan Aldo, Mikhail menjadi sangat posesif. Ia bukan hanya makan siang saja denganku. Sekarang bahkan ia memutuskan untuk mengantar dan menjemputku setiap berangkat dan pulang kantor.
Sudah seminggu berjalan seperti ini. Mobilku ditinggal di kantor jika sewaktu- waktu aku perlu keluar kantor untuk menemui klien.
Yaa tentu saja, selain Lucia dan Natasya.
Karena untuk dua orang itu, Mikhail bilang Mikhail yang akan mengantarku. Berarti otomatis hanya Berliana yang akan kutemui sendirian. Tapi jika harus bertemu dengan Berliana sendirian, aku yang malas. Jadi sepertinya aku pun akan memintanya untuk menemaniku.Sudah dua kali kutanya, apa dia gak repot mengantar-jemputku seperti ini. Dia bilang sama sekali gak repot, lebih repot kalau dia sampai kehilangan aku lagi. Katanya dia tidak akan sanggup lagi.
"Kok gak diangkat teleponnya?" selidik Mikhail dari belakang kemudi.
"Iya, ini mau diangkat!" sahutku ketus.
"Iya, Halo, Mbak!" sapaku.
"Halo, Mbak. Saya sekarang lagi di restoran. Mbak bisa ya ke sini sebentar? Ada yang mau saya tanyakan langsung masalah pemilihan warna furniture. Saya mau nanya ke Mikhail tapi ponselnya mati, gak aktif," terang Natasya di ujung sana.
"Oh, Mbak lagi di restoran sekarang?" Aku sengaja mengulang penyataan tersebut. Maksudku biar Mikhail mendengarnya.
Tapi Mikhail hanya menatap lurus ke depan tanpa mengubah ekspresi.
"Oke, Mbak. Kami kesana sekarang," sahutku polos.
Natasya terdiam.
"Kami?" ulang Natasya.
Aku terbata.
"Oh iya, maksudnya saya segera kesana, Mbak!" ralatku."Oke, saya tunggu!" sahut Natasya yang kemudian memutuskan panggilan.
"Natasya udah nunggu di restoran sekarang, kamu bisa ya tolong anter aku ke sana?" pintaku setengah memohon.
Mikhail menoleh ke arahku,"Udah malem ini!Lagian kita udah otw ke apartemenmu,"Aku kaget dan mulai panik.
"Terus gimana? Aku bilang apa sama Natasya?"
"Terserah, kamu mau bilang yang sebenarnya, atau kamu mau bohong dan memperkeruh suasana!" ujar Mikhail tegas.
Aku terdiam sebentar.
Oke, kalau begitu. Challenge accepted, Mikhail!
Aku menelpon balik Natasya. Aku menghela napas dalam-dalam seperti orang kehabisan oksigen aja.
"Halo, Mbak," sahutku begitu mendengar sapaan Natasya.
"Maaf, Mbak. Saya gak bisa ke sana, karena saya sedang diantar pulang oleh Mikhail dan Mikhail menolak untuk mengantar saya ke restoran Mbak," kataku berusaha sesantai mungkin.
"Apa?Loh jadi Mikhail lagi sama Mbak Sasa? Coba sini saya mau bicara!" pinta Natasya.
"Bentar ya, Mbak," sahutku.
Aku kemudian mengarahkan gawaiku ke daun telinga Mikhail, karena mengingat keadaannya yang sedang mengendarai mobil.
Mikhail berkata," Gue lagi nyetir, dan berubah pikiran. Kami otw ke sana, oke!"Aku hanya terdiam dan menarik kembali gawaiku.
Natasya sudah memutuskan panggilan.Aku enggak puas dan bertanya pada Mikhail," Kok berubah pikiran?"
Mikhail menoleh dan tersenyum.
"Karena kamu sudah mau menerima kenyataan kedekatan kita!" sahutnya mantap."Kedekatan kayak apa yang kamu maksud!" elakku.
Mikhail menghela napas.
"Rasabrina, aku tuh serius sama kamu, dari dulu saat pertama kali aku ketemu dan kenal sama kamu sampai sekarang!" kata Mikhail getir.
"Kenapa kamu sulit ngasih aku kesempatan untuk membuktikan ucapanku sih, Sa?" tanyanya lagi.
"We will make it through, Sa! I believe in us, kenapa kamu enggak?" desaknya lagi.
Aku menunduk, menyerah. Mungkin memang sudah saatnya aku menghadapi ketakutanku bersama-sama dengan Mikhail. Setidaknya aku memberikan kesempatan pada diriku sendiri untuk menghadapinya. Dan tidak lagi berlari.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rancangan Rasa
Chick-LitBuat seorang Rasabrina Andrista, kepuasan klien atas hasil kerjanya adalah yang terpenting. Sasa selalu rela jungkir balik koprol agar proyeknya selesai seminggu sebelum deadline, sesuai budget awal dan sesuai ekspektasi klien. Maklum, Sasa punya si...