Chapter 28

7.8K 575 1
                                    

Pagi ini, duduk termenung di depan laptopku, memikirkan percakapan dengan Mikhail, menelaah perasaanku dan menghubungkannya dengan Natasya. Menurutku, wajar jika Mikhail curiga akan sikap suami Natasya, mengingat "gosip" yang dulu sempat didengar Delia, ada benang merah yang bisa diambil.

Natasya mungkin menghadapi tekanan. Tekanan psikologis mampu membuat seseorang bertindak melenceng dari pola kepribadiannya.

"Sa, ada Bu Lucia nyari kamu tuh!" suara Delia membuyarkan lamunanku.
"Aku infoin biar langsung ke ruangan kamu aja, ya?"
tanya Delia.

"Eh, Iya, biar ke sini aja! Thanks ya," sahutku.
Aku segera beranjak menuju sofa besar dan bersiap menyambut Lucia.
Tak lama kemudian, Lucia datang diantar Delia. Aku menyambutnya dengan uluran tangan standart. Tapi  tanganku ditarik oleh Lucia dan jadilah kami melakukan sapaan dengan cupika-cupiki.

"Aku tinggal ya,Sa!" pamit Delia.
"Thanks ya!" ucapku pada Delia.

"Silahkan duduk, Lucia!" Aku mempersilahkan Lucia.
"Apa kabar? Proyek kliniknya sesuai rencana kan?" tanyaku langsung to the point.
"Iya, running well, kok," jawab Lucia.

Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk, aku menengok ke arah pintu dan mendapati Aldo yang berdiri di sana.
"Loh, kamu ikut juga, Bang?" tanyaku bingung.
Aku menoleh ke Lucia.

"Iya, justru Aldo yang perlu sama kamu, tapi tadi gawainya tertinggal di mobil, jadi dia turun lagi," jelas Lucia.

"Aku boleh masuk, gak?" tanya Aldo.

"Eh, Iya, silahkan masuk dan duduk, Bang!" Aku mempersilahkan.
Aldo berjalan masuk dan duduk di samping Lucia.
Ia membetulkan posisi kacamatanya sebelum mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan posisi bertahan dan menjaga jarak.  Aku takut tiba-tiba dia merasa perlu untuk cupika-cupiki.
Jadi lebih baik aku mencegahnya dari awal.
Untunglah, ia segera melepaskan genggamannya.
Aku meletakkan tanganku di atas pangkuanku. Pikiranku mencoba menebak apa yang mereka butuhkan.
Itulah kenapa keadaan hening dan suasana canggung sempat menemani kami bertiga.

Tapi kemudian aku memecahkannya dengan bertanya sesopan mungkin,"Apa ada yang bisa saya bantu?"

Tatapan kuarahkan pada Lucia terlebih dahulu. Lucia justru melemparkan pandangannya pada Aldo. Aldo pun balas menatapnya. Ada semacam reaksi aneh yang kurasakan. Keadaan ini membuatku kembali merasa terjebak dalam situasi rahasia dan persekongkolan anak-anak SMA. Tentu saja, maksudku hal itu membuatku teringat pada tingkah laku Lucia dulu.

Bagaimana ia dan sekelompok "kacung"-nya berusaha menghina dan menjatuhkan kepercayaan diriku. Bagaimana mereka selalu tertawa terbahak-bahak begitu berhasil menjadikanku bahan tertawaan.

Awal mulanya, aku selalu berlari dan menangis.
Lambat laun, aku merasa lebih kuat dan kebal, sehingga justru aku ikut tertawa dengan sinis dan meninggalkan mereka.

Tentu saja, hal itu membuat mereka semakin naik pitam.
Masih teringat jelas, bagaimana Lucia menjambak rambutku dengan keras dan mencoba menamparku.
Yang tentu saja tamparannya kutangkis dan justru memelintirnya. Beruntung sejak kecil, aku sudah akrab dengan seni bela diri.

Keadaan kemudian berbalik.

Lucia yang kesakitan, memyembunyikan semua prilaku bullying-nya yang menjadi sebab aku bereaksi seperti itu, yang tentu saja diperkuat kesaksian para kacung-nya, berhasil membuatku kena hukuman dari guru BP.

Saat itu aku belajar, bahwa ada sebagian orang yang benar-benar ingin menyakiti kita, walau ia harus mengubur kebenaran dan berteman dengan kebohongan. Membuatnya tampak sebagai korban, walaupun sebenarnya ia adalah pelaku ataupun pemicu ketidakadilan.

Well, that's life, right!

Memori yang buruk itu membuatku sempat terdiam dan melamun.

Suara Aldo kemudian membuatku tersentak.

Rancangan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang