Minho itu kalau marah diam, kalau kecewa diam, kalau capek diam, kalau sakit hati diam, kalau cemburu diam, semuanya diam. Jadi kalau Minho diam seperti ini, Jisung bingung dia harus apa, apa dia yang salah ? Atau bagaimana Jisung bingung.
"Cerita dong kak," ulang Jisung, dia sudah mencoba berkali-kali bertanya kepada pemuda yang lebih tua darinya itu.
Minho masih enggan bersuara. Malah semakin menenggelamkan kepalanya di sela-sela kedua tangannya yang terlipat.
"Kak, tolong dong jangan buat aku khawatir," Jisung masih tak menyerah membujuk kakak kelas yang merangkap menjadi kekasihnya ini.
Minho bergeming.
"Sayang," Jisung bersuara sangat lembut kali ini.
Teeeettt
Akhirnya sampai bel sekolah berbunyi menandakan pelajaran hari ini telah berakhir Minho masih diam tak mau berbicara.
Ya sedari tadi Jisung memilih melipir ke kelas Minho ketika kelas mereka berdua jam kosong.
Minho mendongak, tanpa berkata-kata dia memasukkan semua barangnya yang masih ada di atas meja ke dalam tas hitamnya. Kemudian langsung meraih tangan kanan Jisung dengan tangan kirinya.
"Ayo!"
"Kemana ?" Jisung bertanya bingung.
"Pulang."
"Tapi tasku masih di ke-"
Minho tak menunggu Jisung menyelesaikan kalimatnya, dirinya telah menarik pemuda yang lebih muda darinya itu.
"Ini ke kelasmu."
Singkat dan padat.
Mau tak mau Jisung menurut tanpa berkata apa-apa lagi.
Yang menjadi masalah saat ini adalah diamnya Minho sudah lebih dari satu minggu. Itu tandanya pemuda pemilik hati Han Jisung pun telah mengacuhkan Jisung selama itu pula.
Mereka masih berangkat-pulang bersama tapi ya hanya itu intensitas bertemu mereka.
Tak biasanya Minho betah mendiami Jisung selama itu. Biasanya sehari saja tak berbicara dengan Jisung serasa dunianya runtuh alay sih tapi kenyataannya seperti itu.
Jisung sudah tak betah. Ini puncaknya dia didiami Minho. Pulang sekolah Jisung mencegah kekasihnya itu untuk pulang.
"Kak, duduk dulu, Jisung pengen ngomong."
"Mau ngomong apa, Ji? Di sini aja, kakak pengen langsung pergi."
Jisung menggeleng ribut, "Ikut aku."
Lalu tangan Minho sudah ditarik paksa oleh Jisung menuju ruang tamunya.
"Jadi ada apa?"
Yah, keberanian Jisung runtuh ketika ditatap dengan wajah datar dan ditanya dengan nada datar pula oleh Minho.
Pemuda yang tahu objek yang ditatapnya sedang ketakutan pun luluh.
"Kakak tak ingin cerita," jawaban Minho akhirnya. Matanya sudah memandang teduh pemuda di depannya itu. Dan Jisung membalas tatapan kedua mata teduh tapi sarat akan kesedihan.
"Kakak tak percaya sama Jisung?" Jisung memberanikan bertanya. Tangannya terulur mengelus tangan Minho.
Mereka berdua diam membisu.
Masih diam.
Lama diam.
Jisung setia menunggu.
"Beasiswa kakak terancam dicabut."
Jisung menatap lurus Minho. Dia memutuskan untuk mendengar lebih lanjut cerita kekasihnya. Masalah yang baru saja Minho ungkap ini, sebenarnya Jisung sudah tahu.
"Pasti kamu sudah tahu masalah ini."
Jisung mengangguk, "Kak Juyeon ranking satu semester ini."
Minho ganti mengangguk membenarkan.
"Kakak dimarahi ayah. Setiap hari ayah selalu menyinggung soal itu. Lalu berlanjut tentang studi kakak selanjutnya, tentang keinginan beliau punya putra seorang dokter, tentang jika tanpa beasiswa itu ayah tak bisa membiayaiku lagi. Beliau menyakitiku. Bukan melalui fisik tapi mental."
Jisung speechless.
Dia baru tahu hal ini. Ayah Minho yang dia tahu ada ayah yang kalem, berwibawa tapi penyayang. Dia selalu disambut ramah ketika berkunjung ke rumah Minho.
"Ayah orangnya keras. Apa yang dia mau harus terwujud, apapun keadaannya."
Sungguh Jisung rasanya menjadi kekasih yang tak berguna karena tidak mengetahui hal ini. Selama seminggu ini pasti Minho telah berjuang sendirian.
"Kenapa kakak baru cerita?" Lirih Jisung.
"Kakak tak mau buat kamu khawatir. Ini urusan kakak."
Jisung mencoba tersenyum. Tangan kanannya terulur menyentuh pipi Minho lalu mengelusnya.
"Aku pacar kakak kan? Semua masalah coba bagi padaku walaupun tak akan banyak membantu tapi setidaknya kakak ada teman berbagi."
Hiks.
Isakan tangis Minho lolos. Pemuda itu menunduk, menutup seluruh wajahnya menggunakan telapak tangan guna menyembunyikannya dari Jisung.
Melihat itu Jisung berinisiatif merengkuh pemuda yang terlihat rapuh di depannya. Sekuat-kuatnya Minho, ketika down seperti ini dirinya bak anak kecil yang menurut Jisung pantas untuk dilindungi.
"You did well kak, pasti ada jalan. Jisung selalu ada buat kakak."
Bukannya berhenti menangis, isakan Minho malah semakin terdengar keras, tangannya yang tadi menutupi wajahnya kini beralih memeluk Jisung erat, berbagi beban dengan pelukan.
Rasanya dia menyesal harus menyembunyikan masalah ini pada Jisung ketika tahu bahwa setelah bercerita perasaan legalah yang datang.
"Maafin kakak yang tidak cerita."
Jisung maklum. Dia tak menjawab perkataan Minho. Tangannya menepuk-nepuk punggung Minho.
"Jisung kecil-kecil gini hatinya tahan banting loh kak. Jadi jangan segan-segan mencurahkan semua kekesalan dan gundah gulana dalam hati kakak ke aku," jelas Jisung diiringi tawa renyahnya.
Minho tersenyum disela tangisnya. Sungguh beruntung dia memiliki kekasih seperi Jisung.
Mulai saat ini dia akan berusaha mengurangi sifat diamnya ketika suatu hal terjadi.
Toh, ada Jisung yang selalu ada untuknya.
Hei kawan, minsung shipper~ hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Melebur bersama Minsung✓
Fanfiction(💋) Mari kita bahagia bersama Minsung~ (26012019ㅡ26012020)