57

182 12 3
                                    

"Gue gak butuh bantuan dari orang asing!"

Kia perlahan memundurkan tangannya sambil matanya tidak lepas menatap pergerakan Kai yang kesusahan membalut lukanya. "Kai kamu kesusahan, aku bantu yah?" bujuk Kia masih bersikeukuh ingin memasangkan kasa di tangan Kai. Mendengar nada bujukan Kia membuat Kai menfokuskan pandangannya pada cewek di depannya itu. "Kia, lo sendiri yang minta kan? Kalau lo mau gue sama lo jadi orang asing? Oke. Gue turutin, jadi jangan datang lagi buat bantu gue dengan alasan apapun. Karena gue gak bisa nerima bantuan dari orang asing gitu aja!"

Kia mengap-mengap mendengar tuturan Kai, apa dia tidak salah dengar? Segitu marahnya kah Kai padanya? Cara bicara cowok itu pun sudah menjadi gue-lo lagi, bukan aku-kamu yang khusus buat Kia dan yah ini semua kemauan Kia kan? Ingin mereka menjadi orang asing? Tapi kenapa ia yang paling terluka?

"Ini kan yang lo mau? Gue capek Kia! Gue berusaha ngerti lo! Tapi_" Kai menggeleng dan tersenyum miring, "gue salah, gue pikir lo bakal lunak sendiri. Tapi apa? Lo malah buat gue terpuruk dengan perjuangan gue sendiri! Gue gak bisa benci lo, tapi gue benci diri gue, karena ternyata gue gak akan pernah bisa buat menjadi cowok idaman lo."

"Kai," ucap Kia berusaha menahan Kai yang langsung berlalu dari ruangan UKS, namun cowok itu sudah tidak menghiraukan Kia lagi. Mengutarakan itu semua tidak mudah bagi Kai, karena bukan hanya Kia yang ia lukai, tapi lebih ke dirinya sendiri. Ia memilih melangkah menuju belakang sekolah, biar saja dia disebut cengen jika ada yang melihatnya. Tapi sungguh, ia ingin menangis sekarang. Sedangkan Kia kembali terduduk di ranjang UKS membekap mulutnya yang terisak. Penuturan Kai tadi seolah seperti kaset rusak yang berputar di kepalanya.

***

Kia masuk di rumahnya dengan keadaan yang tidak cukup baik, bi Mine yang sedang melap lantai dikejutkan oleh anak majikannya itu yang pulang dengan keadaan menangis. "Non Kia? Non kenapa?" Tanya bi Mine khawatir. Kia tidak menjawab, ia hanya berlari sesegera mungkin menuju kamarnya dan langsung melempar tubuhnya di kasur empuknya setelah mengunci pintu kamarnya.

"Non! Non Kia baik-baik aja kan?"

Terdengar ketukan pintu disusul nada khawatir bi Mine di luar. "Iya bi, Kia baik-baik aja. Kia mau sendiri," sahut Kia dengan nada bicara yang serak tidak menunjukkan keadaan baik-baik sedikitpun, namun bi Mine tetap menurutinya dengan meninggalkannya sendiri.

Kia meraih telponnya dan menelpon Diya. "Kak, kak Diya," ucapnya serak membuat Diya di seberang khawatir mendengar suara adik sepupunya itu. "Aku_aku sakit kak," adunya.

"Kia, Kia kamu nenangin diri dulu sayang. Aku juga udah mau pulang nih, ntar di rumah baru cerita yah?" Ujar Diya yang hanya dibalas anggukan Kia lalu ia menggeser tombol merahnya. Kemudian kembali menelungkupkan mukanya di antara kedua lututnya.

Selang satu jam Diya sudah berada di dalam kamar Kia mendengar cerita adik sepupunya itu. "Ini semua salah Kia kan kak?" Tanya Kia serak. Diya menggeleng sambil mengusap kepala Kia pelan. "Tidak juga dek, tapi emang seharusnya dulu kamu gak bersikap seperti itu sama Kai," jawab Diya, "tapi udahlah udah lewat juga. Kamu gak usah sedih, kalau emang Kai sayang sama kamu. Dia gak bakal lama-lama acuhin kamu."

"Tapi buktinya dia gak mau terima bantuan aku kak. Dia beneran nurutin kemauan aku buat aku sama dia orang asing lagi."

"Huss udah, gak usah sedih gitu ah. Kamu harus belajar bertanggung jawab dan menerima konsekuensi atas apa yang kamu udah lakuin, toh Kai gak akan seperti itu jika bukan kamu yang minta?"

"Apa Kia harus nyesel kak?" Tanya Kia serak. "Nggak juga." Diya menggeleng lalu menarik sepupunya ke dalam pelukannya. "Ego perempuan memang tinggi dan mungkin saat kamu mengatakan semuanya ke Kai dulu ego kamu menguasai diri kamu. Jadi wajar-wajar aja sih, kamu gak perlu nyesel, oke?"

KAI-KIA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang