62

228 9 0
                                    

Malam kian larut dan Kia belum juga bisa menerima seseorang menemuinya kecuali Diya dan Dio, juga dokter yang hendak memeriksanya.

Dio berusaha meyakinkan Kia bahwa orang-orang yang tadi menemuinya itu keluarganya dan dua orang di antaranya orang tua Kia. Meski awalnya Kia tidak percaya dan sulit menerimanya karena merasa asing kepada mereka, tidak seperti saat bersama Dio dan Diya, meski ia melupakan segalanya tapi bersama Dio dan Diya ia merasa tidak asing, namun berkat Dio dan Diya yang terus memberikan wejangan dan meyakinkannya bahwa rasa asing yang dirasakan Kia saat berada di antara mereka tadi hanya faktor lupa ingatannya dan akhirnya Kia mengangguk menyetujui untuk bertemu dengan mereka.

"Saya mami nak, dan ini papi," ucap Arin dengan mata nanar. "Mami? Papi?" Ulang Kia juga dengan mata nanar, Arin mengangguk lalu menghambur memeluk anaknya. Tio pun turut memeluk Kia yang langsung membalas pelukan mereka. "Maaf aku tidak mengenali kalian," kata Kia.

"Tidak sayang, kamu tidak perlu minta maaf," timpal Arin cepat dan melepas pelukan mereka. "Kia." Mike yang sedari tadi terdiam ikut mendekat. "Saya tante kamu, ibunya Diya dan Dio, dan ini om kamu ayahnya Dio dan Diya." Mike menepuk lengan suaminya. "Maaf, Kia tidak bisa mengenal kalian," kata Kia lagi. "Nggak papa," sahut Mike dengan senyumannya.

Ajeng dan Eward yang sedari tadi berdiam diri ikut memperkenalkan diri. "Kalau tante, sahabat mami kamu. Ini anak tante, dulu kalian temenan," ujar Ajeng tersenyum. Kia menatap Eward dengan pandangan minta maaf karena tidak mengenalinya, yang ditatap seperti itu hanya bisa menggeleng mengisyaratkan tidak apa-apa dengan setumpuk luka melihat Kia seperti sekarang, meski memang ia belum benar-benar mencintai Kia, tapi ia telah menyayangi gadis itu bersamaan dengan kesadarannya bahwa ia harus mencegah cintanya tumbuh kepada gadis yang telah mencintai orang lain.

***

Mila, Farhan, Bian, Shinta serta sebagian teman-temannya baru sempat kembali menjenguknya semenjak mereka datang saat hari di mana Kia kecelakaan dan divonis koma, karena kesibukan mereka mengurus kuliahnya. Bian sendiri baru tadi malam ia sampai dari Manila.

"Kamu kok natap kami gitu sih, Kia?" Tanya Bian heran saat sedari mereka masuk ruangan, tatapan Kia datar kepada mereka. "Oke gue paham, lo emang lupa sama kita. Tapi tenang aja, kita ini bukan orang-orang jahat kok. Kita ini teman kelas lo, lo jangan khawatir yah?" Sambung Farhan.

"Iya Ki, aku ini sahabat kamu, teman sebangku kamu," ucap Mila mendekat. "Dan aku pacar teman kamu, Farhan, tapi kita deket kok Ki," sambung Shinta.

Kia berusaha mencerna kalimat orang-orang yang mengelilinginya, ia berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran negatifnya dan menerbitkan senyumannya. "Maaf yah, aku gak bisa mengenali kalian," ucapnya penuh sesal. "Gak papa Kia, kita semua paham kok dan yang penting kan kita gak lupa sama kamu," timpal Bian.

***

Pagi harinya Kia dibolehkan pulang oleh pihak rumah sakit dengan pesan dokter agar Arin dan Tio segera mencarikan psikiater terbaik atau ahli saraf di luar negeri untuk anaknya itu, agar penyembuhannya juga tidak terhambat.

"Saya tidak ada kenalan seorang ahli psikiater ataupun ahli saraf," ucap Tio mengusap wajahnya gusar saat mereka sampai di rumahnya dan berkumpul di ruang tengah, sementara Kia sudah dibawa oleh Diya ke kamarnya untuk beristirahat. "Aku punya teman seorang ahli saraf, di Mesir," sahut Mike yang duduk di seberangnya.

"Kamu bisa menghubunginya Mike?" Tanya Tio. "Nanti, saya akan menghubunginya mas," jawab Mike.

***

Dio merasa bahagia melihat Kia yang sudah bisa tersenyum, meski ingatannya belum kembali. Ia membawa sepupunya itu keluar di taman belakang rumahnya. "Kak Dio, aku dulunya pendiam atau cerewet?" Tanya Kia saat Dio memberhentikan kursi rodanya di samping kursi taman. Dio tampak berpikir lalu duduk di kursi itu. "Hmm tengah-tengahlah, tapi kamu manja sama kakak," jawab Dio membuat Kia terkekeh.

KAI-KIA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang