Keras Kepala

4.3K 263 4
                                    

Pagi begitu cerah. Mentari sudah tersenyum sedari tadi. Begitu hangat cahayanya. Terang benderang. Aryandra Prasetya, terduduk tepat pada bangku yang menghadap jendela. Ia bisa merasakan cahaya matahari yang menerpa langsung tubuhnya yang bertelanjang dada. Sesekali ia usap matanya. Lesu sekali baru saja ia terbangun dari tidurnya. Ia tatap jam dindingnya. Pukul enam pagi tepat. Ia segera bangkit dari duduknya. Melenggang turun kebawah. Mungkin ibu dan neneknya sudah menunggu dibawah.

"Pagi set", kata Yuni ketika Setya telah turun dari tangga. Yah, sebutannya adalah Setya. Mereka lebih suka memanggilnya Setya.

"Pagi eyang"

Prasetya duduk dimeja makan. Nenek dan ibunya tengah sigap menyiapkan makan pagi. Matanya menerawang mencari seseorang yang biasanya akan duduk dihadapannya.

"Eyang, bunda. Paman mana?", Tanyanya.

Keduanya saling menatap. Kemudian menatap kearah Prasetya bersamaan. Yuni tersenyum menatap Adriana kemudian tersenyum menatap cucunya itu. Betapa sungguh Prasetya sangat dekat dengan Galih. Bahkan bocah itu benar-benar mengagumi Galih.

"Paman sudah berangkat ke rumah singgahnya", kata wanita itu tersenyum.

Banyak yang berubah dari seorang Galih. Laki-laki itu mampu membuktikan bahwa dia bukanlah orang yang tidak mampu. Ia mulai sekolah, bahkan sampai perguruan tinggi, mendalami ilmu yang ia suka, kemudian membangun sebuah rumah yang dikhususkan untuk mengajari mereka yang berkebutuhan khusus, mereka menyebutnya rumah singgah. Pria itu benar-benar berhasil. Ia bahkan sering di undang kebanyak acara-acara seminar untuk mengisi acara. Keyakinan yang selalu Adriana tanamkan sejak ia remaja selalu ia pegang teguh sampai hari ini. Tak jarang motivasi-motivasi itu ia berikan kepada keponakannya, Prasetya.

"Paman janji mau ajak saya kesana, tapi malah selalu ditinggal", ceracaunya.

"Sudah tidak masalah. Kapan-kapan kita berkunjung kesana yah? Sekarang kamu makan", ujar Adriana.

Mereka mulai duduk bertiga. Makan dengan tenang dimeja makan yang luas. Semua tersedia disana. Nasi, hingga lauk pauk yang melimpah ruah. Suasana memang sepi ketika sedang makan. Tak ada pembicaraan. Rumah sebesar itu hanya ditinggali empat orang saja. Pasalnya Setya dan Dwitomo telah meninggalkan mereka semua selamanya. Setya gugur dalam Medan tugasnya. Tiga tahun setelah kepergian Setya, Dwitomo purna dari tugas, tak lama setelah itu ia sakit-sakitan hingga akhirnya ia juga harus ikut pergi.

"Kamu mau kuliah dimana set?", Tanya Yuni pada cucunya.

"Saya mau masuk angkatan eyang"

Yuni mulai tersedak. Membuat Adriana sedikit panik. Namun bisa ia redakan sendiri dengan meraih air minum disampingnya. Sungguh, lukanya kehilangan dua orang yang paling ia cinta belum sembuh benar. Ia tak ingin ditinggalkan lagi. Ia tak rela jika kini, cucu semata wayangnya harus ikut jejak ayah dan kakeknya.

"Eyang tidak setuju apabila Setya ikut kedalam angkatan"

"Kenapa eyang? Saya ingin menjadi seorang prajurit seperti ayah dan kakek"

"Justru itu Setya! Eyang tidak ingin kamu seperti mereka. Kamu boleh masuk di universitas manapun masuk jurusan apapun yang kamu suka, tapi eyang mohon jangan masuk angkatan"

"Saya hanya ingin menjadi seperti ayah eyang, saya selalu membaca buku-buku ayah. Semua tulisan ayah membuat saya takjub. Saya ingin menjadi prajurit eyang"

"Setya! Eyang bilang tidak ya tidak!"

"Eyang selalu seperti itu"

Setya mulai beranjak dari tempat duduknya. Ia melenggang keluar dari rumah. Panggilan dari Yuni dan Adriana seakan tidak didengarnya. Ia memang memiliki sifat yang keras kepala. Sekali ia menginginkan sesuatu, sampai mati akan ia wujudkan bagaimanapun caranya.

"Persis seperti Setya. Adriana, tolong kamu beri penjelasan pada Prasetya"

"Iya ma"
____________________________________

Prasetya terduduk di taman belakang rumah. Menatap kolam disana. Itu tempat kesukaannya sejak kecil. Ia suka merenungkan apapun yang terjadi. Termasuk pembicaraan di meja makan tadi. Buatnya, itu semua tidak adil. Sedari kecil ia selalu mengagumkan sosok ayahnya. Ia ingin menjadi tentara seperti mendiang ayahnya. Menjaga ibu Pertiwinya. Cerita-cerita yang ayahnya tulis dalam bukunya selalu menjadi semangat bagi seorang Setya. Ia kagum dengan tugas ayahnya. Ia ingin merasakan tugas negara, ia ingin menginjakan kaki di Lebanon. Semuanya. Ia ingin menjadi seorang tentara, pagar bangsa.

Sudah beberapa bulan dari kelulusan SMA nya. Namun belum juga Setya mendaftarkan dirinya ke universitas. Yang ia nantikan ketika ia didaftarkan kedalam Akademi militer atau apapun yang berbau militer. Ia meraih sebuah brosur dari saku celananya. Brosur yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Brosur mengenai pendidikan militer yang paling di dambakannya. Tinggal satu gelombang lagi. Gelombang terakhir untuk mendaftar. Bagaimanapun caranya ia harus pergi. Dengan atau tanpa restu nenek dan ibunya. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahunya. Ia menatap siapa yang tiba-tiba duduk disampingnya.

"Paman!", Ujarnya.

Galih masih terdiam disampingnya. Laki-laki itu tidak lagi kesulitan untuk mendengar. Ia bisa mendengarkan orang-orang bicara meskipun tidak terlalu jelas.

"Paman! Paman bantu Setya. Paman bilang kan, mimpi harus selalu kita raih bagaimanapun caranya. Iya kan Paman?"

Galih mengangguk. Ia memang merasa selalu mengatakan hal itu pada keponakannya. Setya mendekatinya. Menggelayut pada lengan Galih. Kebiasaannya jika memohon apapun pada sang paman.

"Paman, Setya ingin masuk akademi militer paman. Setya ingin menjadi tentara seperti ayah"

Tangan Galih membuka, yang artinya adalah lakukanlah. Sebuah simbol hijau bagi Setya. Ia mulai meringis begitu senang. Tapi belum selesai sampai itu. Setya tahu, orang yang bisa meyakinkan ibu dan neneknya adalah pamannya. Jadi ia harus amat sangat meyakinkan hati Galih terlebih dahulu.

"Tapi paman, bunda dan eyang sepertinya tidak suka saya masuk kedalam angkatan paman"

'kamu yakin tidak?', ungkapnya dengan gerakan tangan.

"Iya saya yakin paman. Sangat yakin. Yakin sekali"

'kalau begitu, jangan pikirkan orang lain fokus pada dirimu. Biar paman yang urus semuanya. Kapan pendaftarannya?'

"Minggu depan paman. Minggu depan gelombang pendaftaran terakhirnya"

'Minggu depan kita daftar bersama-sama'

"Sungguh paman?"

Galih mengacak rambut Setya. Betapa senangnya laki-laki itu. Ia peluk Galih erat-erat. Hingga keduanya terjungkal bersama. Setya tertawa begitu girang. Galih mengacak rambutnya lagi. Sesungging senyum tercetak diwajah Galih.

'cukur rambutmu seperti ayahmu yah. Jangan lupa'

"Iya paman, kita cukur sekarang boleh paman?"

Galih terkekeh. Kemudian mengangguk. Setya segera beranjak dari duduknya. Ia meraih tangan Galih. Pamannya selalu nomor satu menurutnya. Galih yang selalu mendukung apapun yang Setya suka meskipun dunia menolaknya begitu keras. Keduanya mulai melangkah meninggalkan halaman belakang rumah menuju tukang cukur yang berada tak jauh dari rumah mereka.

Potongan cepak 002 menjadi pilihan untuk Setya. Pasalnya potongan itulah yang sama dengan mendiang sang ayah. Setalah semuanya selesai, barulah keduanya kembali kerumah. Betapa terkejutnya Yuni dengan apa yang ia lihat. Ia tak suka model rambut seperti itu. Pasalnya itu semua mengingatkannya pada prajurit. Mengingatnya pada Medan tugas dan kematian Setya.

"Galih ini apa-apaan? Kenapa Setya dipotong seperti ini?"

'setya masuk kamar', ungkap Galih yang segera diindahkan oleh Setya.

Galih mulai berbicara. Menggerakkan tangannya sebagai media berbicara. Setya mendengarnya, melihatnya. Pasalnya bocah itu tidak langsung masuk kedalam kamar. Namun menetap, bersembunyi ditangga. Ia ingin mendengar semuanya. Pembelaan pamannya tentang dirinya.

Masa depannya ada pada hari ini. Ia pandang foto ayahnya yang ada di dinding sana. Begitu gagah. Ia benar-benar takjub. Tekadnya telah besar. Tak bisa diruntuhkan oleh siapapun.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang