Lebih Dekat

2.3K 163 2
                                    

Stephen bersandar pada dinding berwarna hijau pupus. Matanya terpejam. Sesekali ia menghela napas. Setya masih disana bersamanya. Menemani sahabatnya itu. Berita tentang Medi yang pingsan membuat Stephen begitu panik. Sesegera mungkin ia meminta Setya untuk menemaninya ke pos kesehatan. Masih banyak kawan-kawan Medi didalam sana jadi sungkan rasanya untuk mereka berdua masuk kedalam. Meskipun dalam hati, Stephen begitu tidak sabar untuk melihat kondisi Medi secara langsung.

Beberapa saat kemudian, beberapa orang keluar dari ruangan itu. Hanya menyisakan Medi yang tengah terbaring di ranjang tidur. Segera mungkin Stephen masuk kesana. Di ikuti Setya dibelakangnya.

"Kakak! Kakak seng apa?"

"Seng ada yang perlu se khawatirkan. be su baik", kata gadis itu lemah.

"Kenapa kakak bisa seperti ini ko?"

Medi tersenyum. Kemudian menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin mengatakan apa yang terjadi. Bahkan ingin melupakan apa yang terjadi.

"Seng ada adik. Be cuma kecapean sa"

"Cepat pulih kakak. Istirahat cukup"

"Iya adik"

Stephen mengusap lembut bahu Medi. Gadis itu tampak begitu nyaman. Wajahnya pucat namun cukup teduh. Entah mengapa membuat laki-laki yang sejak tadi berdiri disana terus menatapnya. Wajahnya begitu menyenangkan. Tak sadar ada sesungging senyum pada wajah laki-laki itu. Medi begitu indah dalam matanya. Sangat menyejukkan.

"Setya!", Ujar Stephen tiba-tiba.

"Y.. Ya!", Katanya tergugup.

"Tolong se bantu be. Tolong jaga kakak Medi sebentar. Be mau keluar ambilkan air"

Setya mengangguk. Sedikit kikuk. Sangat canggung rasanya. Stephen mulai keluar dari pos kesehatan. Meninggalkan Setya yang masih berdiri mematung disana. Medi menatap Setya begitu saja. Membuat laki-laki itu semakin salah tingkah.

"Se tingkat satu ko?", Tanya gadis itu.

Setya mengangguk. Terlihat sekali bahwa laki-laki itu begitu canggung. Membuat gadis itu terkekeh. Setya makin salah tingkah di buatnya. Medi menghela napas panjang. Berusaha menghentikan tawanya. Kemudian menatap kembali Setya.

"Kemari"

Laki-laki itu menurut saja. Ia berdiri disamping ranjang Medi. Ia masih sangat kaku. Canggung dengan suasana yang ada. Setya memang tak pernah berdua dengan perempuan manapun kecuali ibu, nenek dan Isabella.

"Se terlihat kaku sekali", celetuk Medi.

"Ijin! Sa-"

"Sssttt.."

Medi meletakan jari telunjuknya tepat dibibir laki-laki itu. Entah mengapa waktu di sekeliling Setya terasa berhenti. Ia menatap lurus kearah manik mata Medi. Indah sekali. Matanya berkeling. Tampak bercahaya seperti berlian. Ia begitu takjub pada Tuhan yang telah menciptakan mata seindah itu.

"Sekarang kita berdua. Saat kita berdua hanya ada saya dan kamu bukan senior dan junior. Paham?"

Setya mengangguk. Meskipun ia masih terpaku menatap Mediterania. Namanya begitu cocok dengan gadis itu. Pasalnya keduanya begitu indah. Dada setya berdetak begitu cepat. Seirama dengan desiran darah yang membabi buta. Ia tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Entahlah apa ini. Tapi rasanya sangat menggelitik. Medi mengulurkan kembali tangannya. Setya menatapnya begitu saja. Namun segera ia jabat tangan itu.

"Mediterania"

"Saya sudah tahu nama kamu"

"Tapi beta ingin mengulanginya. Salahkah?"

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang