Berakhir

1.5K 120 2
                                    

Empat tahun kemudian

Suara riuh mulai bergemuruh. Suara-suara tangis terdengar disana-sini. Lalu lalang orang kesana kemari terus saja tak ada henti. Setya menatap kanan kirinya. Sahabat-sahabatnya telah di sambut kerinduan oleh sanak keluarga. Kini gilirannya yang mencari siapapun yang ia kenal. Air mata haru tak bisa ia pendam. Sejak beberapa waktu yang lalu ia terus menangis. Apalagi ketika namanya di panggil sebagai lulusan terbaik akademi militer. Empat tahun sudah ia telah meninggalkan rumahnya. Meninggalkan keluarganya. Meninggalkan semuanya. Telah satu tahun juga Medi meninggalkannya. Bahkan ia tak tahu bagaimana kabar gadis itu sekarang. Yang ia dengar, Medi tengah bertugas saat ini di perbatasan sana. Yah, gadis itu di percaya sebagai pagar bangsa di perbatasan tanah cendrawasih.

"Setya!"

Setya menatap ke arah seseorang yang memanggilnya. Seorang wanita berdiri disana. Sungguh, ia rindu wanita itu. Sungguh, ia sangat merindukannya. Wajahnya, belaiannya, sentuhannya, semuanya. Matanya semakin berkaca-kaca. Wanita itu semakin mendekat kearahnya.

"Allahu Akbar, bunda!", Teriaknya.

Seketika, bersujudnya ia di kaki sang bunda. Menangis sejadi-jadinya. Adriana tak kalah jua. Ia menangis pula. Betapa rindu dirinya pada anak semata wayangnya. Kini putranya ada di bawah kakinya. Menciumnya dengan penuh rasa hormat. Kakinya terasa begitu basah. Di raihnya lengan Prasetya.

"Sudah, bangun nak. Bunda ingin memeluk kamu sayang"

Laki-laki itu bangkit. Kemudian memeluk tubuh bundanya. Tubuhnya kini begitu tinggi. Begitu gagah dalam balutan seragamnya. Topi pet miliknya juga menutupi sebagian mata. Namun tetap saja, guratan wajahnya begitu jelas. Begitu tegas. Adriana menyentuh kedua pipi putranya. Ya Allah bagaimana mungkin. Putranya yang ada di hadapannya adalah suaminya. Prasetya memang benar-benar mirip dengan ayahnya. Seakan-akan Setya lahir kembali sebagai Prasetya.

"Kamu mirip ayah nak. Sangat"

"Aku juga akan seperti ayah bun. Setya mau melanjutkan jejak ayah, Setya mau membela negara kita seperti ayah"

"Bunda percaya Setya bisa nak. Setya sudah membuktikannya pada bunda. Bunda bangga sekali dengan kamu"

"Eyang? Paman?"

Adriana terdiam. Waktu empat tahun bukan waktu yang sebentar. Banyak kejadian dan tragedi yang menimpa keluarga mereka. Galih telah pindah ke ibu kota untuk mengurus rumah singgahnya. Laki-laki itu benar-benar membuktikan kepada dunia bahwa manusia disabilitas juga bisa hidup normal. Bahkan bisa menjadi orang yang sukses. Sedangkan Yuni, telah berpulang dua tahun lalu akibat sakit. Adriana dan Galih memang sengaja tidak memberitahukan Setya. Mereka sepakat untuk menutupi hal ini sebab, mereka takut Setya akan terus berpikir mengenai kepergian neneknya. Itu sebabnya pula keluarganya tak pernah menjenguknya ketika pesiar seperti keluarga yang lainnya.

"Paman Galih telah pindah ke ibu kota. Rumah singgahnya benar-benar sukses besar. Ada beberapa bisnis yang di buka paman juga"

"Lalu Eyang?"

"Eyang..."

"Dimana?"

Adriana tersenyum getir. Satu-satu dari keluarga mereka memang telah pergi. Allah begitu mencintai mereka semua. Adriana pun tak memungkiri bahwa mereka semua adalah orang-orang baik. Sehingga dengan inginnya Allah menginginkan mereka semua untuk kembali kepada-Nya.

"Mereka telah berkumpul sayang"

"Mereka? Berkumpul? Maksudnya?"

"Eyang uti, eyang Kakung, dan juga ayah. Semuanya telah berkumpul di surga"

"Maksud bunda... Eyang..."

"Eyang telah berpulang"

Deg...
Lemas seketika. Setya jatuh berlutut dihadapan sang bunda. Hari bahagianya berubah pula menjadi hari yang kelam. Dimana ia tahu satu orang yang ia cinta telah tiada lagi. Ia teringat semua kenangan masa lalunya bersama sang nenek. Bagaimana ia habiskan masa kecilnya dengan tiga orang saja.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang