Kenangan

1.8K 122 0
                                    

Isabella duduk di bangku belajarnya. Jam di mejanya telah menunjuk pukul 9 malam. Ia membenahi buku-buku yang baru saja digunakannya untuk belajar. Kemudian menatap ponsel di samping tangan kirinya. Sudah beberapa bulan terakhir ini tidak ada satu pun notif pesan masuk dari nomor Setya sejak laki-laki itu berangkat ke Magelang. Ia tahu sedang apa laki-laki itu disana, tapi rasanya harinya begitu kosong. Bagaikan kertas tanpa pena. Semuanya tampak polos tak berisi, tak ada coretan atau titikan tinta.

Biasanya Setya yang akan menemaninya di rumah sampai larut. Terkadang, sampai ia tertidur. Setya yang akan memindahkan tubuhnya ke ranjang. Menunggunya hingga sang papa pulang. Hatinya begitu sepi. Ada kekosongan di dalam sana. Ada pula ketakutan yang luar biasa. Ia takut Setya akan berubah padanya. Ia takut Setya mencintai orang lain. Isabella tak pernah membiarkan ada seorang gadis yang berani mendekati Setya, itu sebabnya Setya tidak pernah dekat dengan gadis manapun kecuali dirinya. Egois memang, tapi itulah satu-satunya cara agar Setya terus bersamanya.

"Kakak lagi apa yah", gumamnya.

Ia mulai menggeser posisi duduknya. Tepat menghadap pada potret sang bunda di dinding kamar. Terlihat begitu cantik. Elena memang cantik, maka dari itu kecantikannya menurun pada Isabella sekarang.

"Mama, Isbel rindu kakak. Kira-kira kakak lagi apa yah? Apa mama tahu kakak rindu Isbel atau tidak? Rasanya kosong tanpa dia ma. Ada yang kurang, iya ma Isbel cinta sama kak Setya. Apa salah mencintai sepupu sendiri? Bukankah cinta hadir dengan sendirinya, diam-diam tanpa kita minta"

Gadis itu menghela napas sejenak. Kemudian beranjak menuju balkon kamarnya. Angin mulai menerpa. Sangat dingin menusuk tulang. Memorinya mulai terngiang. Ia suka berdiri disana bersama Setya, menatap langit. Terkadang jika beruntung, mereka akan menghitung bintang dilangit. Menyenangkan sekali. Ia rindu semuanya. Kenangan yang di ukir bersama-sama. Biasanya, ia akan berdiri disana, menatap Setya yang datang kerumahnya melewati gerbang. Ia akan segera turun dan membukakan pintunya. Isabella tak pernah membiarkan orang lain yang membukakan pintu untuk Setya. Begitu pula masalah hati.

"Sayang..."

Suara itu mulai mengagetkannya. Isabella menatap si pemilik suara. Seorang pria tinggi telah berdiri di ambang pintunya. Wajahnya masih terlihat tampan. Meskipun batang usianya telah tinggi. Terlihat betul dari uban yang menghiasi rambutnya.

"Papa kapan pulang?"

"Tadi papa pulang, kamu tidak dengar suara mobil papa?"

"Nggak pa, maaf"

"Iya tidak masalah"

Dokter Evan mulai berjalan mendekati putrinya. Ia letakan jas putihnya di kursi belajar Isabella. Ia berdiri di balkon kamar putrinya. Menghela napas. Kemudian menatap langit.

"Mama juga suka langit malam", katanya.

"Papa pernah mengajak mama melihat langit malam?"

"Iya. Satu kali, ketika papa melamar mama kamu"

"Mama beruntung ya pa"

"Bukan mama sayang. Tapi papa yang beruntung mendapatkan mama. Kamu tahu? Mendapatkan hati mama luar biasa sulitnya"

"Tapi papa hebat, bisa mendapatkan hati mama yang sulit papa dapat"

Dokter Evan tersenyum. Di sentuhnya tangan Isabella. Begitu kecil dalam genggamannya. Isabella mulai merapat. Menyandarkan kepalanya pada lengan dokter Evan. Segera ia rengkuh tubuh Isabella. Ia peluk begitu erat. Hanya Isabella yang ia punya sekarang.

"Papa bahagia memiliki Isbel. Mama pun demikian, sekarang mama sedang melihat kita berdua di surga"

"Iya pa. Isbel percaya itu"

"Kalau papa boleh tau, kenapa akhir-akhir ini Isbel kurang bersemangat? Kurang ceria. Walaupun papa sibuk, papa selalu pantau Isbel. Papa sayang sekali dengan Isbel, kenapa sayang? Bicara pada papa. Apa karna papa yang terlalu sibuk? Kalau Isbel mau, kita bisa pergi berdua, papa akan tinggalkan pekerjaan papa demi Isbel"

"Nggak pa. Bukan karna papa kok. Lagian papa udah kasih Isbel semua yang Isbel mau. Semuanya udah cukup buat Isbel"

"Maafkan papa yang tidak pernah ada waktu buat Isbel ya"

"Papa kan kerja buat Isbel. Isbel bisa maklum kok pa. Isbel bukan anak kecil lagi. Jadi papa nggak usah khawatir"

Dokter Evan tersenyum. Ia baru menyadari putrinya telah beranjak dewasa. Begitu cepat. Terkadang sesak rasanya jika mengingat selama Isabella tumbuh dewasa, hanya sebentar saja ia menemani putrinya. Ia kecup puncak kepala Isabella beberapa kali.

"Pa"

"Iya sayang"

"Dimana papa bertemu mama?"

"Lebanon"

"Kak Setya juga sering bicara tentang itu pa. Benar disana ada tentara?"

"Ya sayang"

"Kenapa papa kesana walaupun papa bukan tentara?"

"Papa seorang dokter sayang, papa menjadi relawan saat itu dan bertemu mama disana. Kenapa? Isbel mau kesana?"

"Iya, tapi Isbel mau kesana menjadi relawan. Seperti bibi juga kan pa?"

"Iya"

"Pa, kalau papa merasa ada sesuatu yang kosong dalam hidup papa karna seseorang apakah itu cinta?"

"Apakah kamu terngiang kenangan orang itu?"

"Selalu"

"Memikirkan orang itu?"

"Siang malam"

"Kamu jauh dengannya?"

"Ya"

"Kamu sayang pada orang itu sampai kamu rindu akan hadirnya"

"Apa sayang pada seseorang itu salah pa?"

"Tidak. Siapa yang ada di pikiran kamu saat ini? Prasetya"

Isabella terdiam. Pipinya mulai bersemu merah. Ia mulai malu-malu. Dokter Evan tersenyum. Anak gadisnya memang benar-benar telah tumbuh dewasa. Ia tidak melarang Isabella untuk jatuh cinta pada siapapun asalkan baik orangnya. Ia mengenal Prasetya. Bahkan baginya, Prasetya seperti putra kandungnya sendiri. Dulu ia dan Elena yang membantu Adriana untuk menjaga Prasetya. Bahkan anak itu memanggilnya dengan sebutan yang sama dengan apa yang Isabella sebut, papa.

"Iya?", Tegasnya sekali lagi.

"Iya pa. Apa salah?"

"Tidak sayang. Kakak adalah pria yang baik. Tapi ingat dia adalah saudaramu"

"Iya pa"

Kenangannya mulai terngiang. Saat-saat paling indah bersama Prasetya. Entahlah rasanya untuk laki-laki itu salah atau tidak. Bukankah Tuhan menciptakan cinta untuk semua umat-Nya. Lalu, kenapa mencinta satu dari sekian banyak umat-Nya adalah kesalahan. Sekali lagi nama Prasetya mulai ada dalam pikirannya. Ia benar-benar rindu. Ingin bertemu. Tapi sayang, sepertinya jarak tak menginginkan hal itu.

"Sudah malam, tidur sayang"

"Iya pa"

Dokter Evan merangkul kedua bahu putrinya. Kemudian mencium puncak kepala Isabella. Sungguh, putrinya kini telah beranjak dewasa. Dia adalah satu-satunya kenangan terindah dari Elena. Ia melihat Elena dalam diri putrinya itu. Isabella, nama yang indah yang Elena titipkan untuk putri mereka. Namun tetap baginya nama Elena adalah nama terindah yang ia sisipkan pada tengah nama Isabella.

"Kamu sudah besar. Papa tidak akan melarang apapun yang kamu. Kejar apapun yang kamu ingin. Papa selalu ada disisimu mendampingi dan mendukung kamu"

"Terima kasih pa"

Dokter Evan tersenyum. Kemudian berlalu meninggalkan kamar putrinya. Isabella masih berdiri di beranda kamarnya. Menatap kota yang mulai tertidur. Namun ia belum bisa tertidur. Sungguh ia rindu. Menginginkan titik temu pada kakaknya tercinta.

Prasetya...

Nama itu masih terngiang. Kenangannya memang begitu dalam. Bagaimana caranya menepis rindu? Pikirnya. Ia tahu satu-satunya jalan adalah bertemu.

"Kakak...", Gumam gadis itu seorang diri.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang