Rama

1.9K 139 6
                                    

Bus-bus berjalan begitu beraturan pada tanah gersang disana. Matahari cukup terik tapi tetap saja dinginnya masih terasa dalam kulit. Medi masih terpejam. Namun ia tidak terlelap. Lelah raganya menjelajah jauh hingga ujung samudera. Sesekali celah penglihatannya mengintip. Seperti inikah tanah yang papa nya pijak. Tanah yang memiliki sejuta cerita. Tanah yang ingin papa nya ceritakan padanya. Dimana kala itu, lelaki itu menjaga kedamaian di tanah ini, hingga rana tugas mengharuskannya gugur.

"Papa...", Gumamnya dalam hati.

Tak sabar rasanya ia menghirup aroma udara Lebanon. Udara lembab yang ia tahu pasti ia harus berhati-hati disana sebab, tanah yang sedang berkonflik rawan sekali untuk penyebaran biang penyakit. Bahkan bundanya Setya juga berpesan padanya untuk berhati-hati ditanah itu. Sebab, banyak sekali hal yang harus di waspadai. Penyakit, ranjau, atau gerakan-gerakan seperti spionase dan terorisme. Bunda Adriana, yah nama itu terngiang. Medi teringat wanita itu. Betapa lembutnya, perhatiannya, semuanya. Seperti rangkaian film yang di putar ulang dalam pikirannya. Hingga tiba yang sama pikirannya juga melayang kepada anak laki-laki bunda yang paling dia cinta, Prasetya. Sedang apa laki-laki itu? Apa yang tengah ia lakukan? Apakah tujuannya telah sampai? Semuanya mengalir begitu saja.

Sesegera mungkin ia hancurkan lamunannya. Ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia begitu mencintai Prasetya. Ingin rasanya matanya terus menatap wajah Prasetya. Jantungnya selalu berdetak untuk Prasetya. Tapi ia harus kubur dalam-dalam. Semuanya adalah hanyalah ketidakmungkinan yang ia semogakan. Medi membuka buku milik papanya. Ia baca berulang-ulang tentang tanah yang pernah papanya pijak. Sesekali ia tersenyum. Karna pada akhirnya ia bisa meneruskan perjuangan mendiang sang papa. Cita-cita yang sama seperti yang Setya inginkan. Pria itu juga mengharapkan hal yang sama. Menginjak tanah Lebanon untuk meneruskan perjuangan ayahnya. Ah, sekali lagi Prasetya yang selalu muncul. Dan selalu begitu. Ingin rasanya ia menangis. Menghilangkan nama Prasetya dalam pikirannya. Namun mustahil. Prasetya seakan telah lekat dengan hidupnya dengan hatinya.

"Kenapa Medi?", Tanya Simon yang tiba-tiba mengetahui gerak-gerik aneh gadis itu.

"Tidak ada"

"Jangan bohong"

"Tidak ada"

"Saya tahu kamu berbohong"

Medi terdiam. Simon memang pandai sekali membaca raut wajahnya. Ia tak bisa menyembunyikan sesuatu dari pria itu bagaimanapun ia berusaha. Pria itu selalu mengetahui apa yang menjadi kegelisahannya. Apa yang membuatnya bersedih. Atau apa yang membuatnya merasa bahagia. Entahlah, ia pun tidak tahu mengapa hal itu terjadi.

"Karna Prasetya?", Katanya sekali lagi.

Medi menghela napas. Ia menyandarkan tubuhnya pada tempat duduk bus. Ia memejamkan mata kemudian mengangguk. Air mata turun dari matanya. Menetes membasahi pipi milik gadis itu. Simon masih menatapnya. Ingin rasanya memeluk gadis itu. Mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja selama Simon bersama dengannya. Tapi ia tidak bisa. Terlalu lemah atau memang ia adalah seorang pecundang. Simon mengutuk dirinya sendiri.  Jiwa raganya begitu gagah di hadapan bangsa dan negara namun hatinya begitu lemah di hadapan cinta. Ia tak kuasa. Sungguh. Bus berhenti begitu saja membuat Medi sedikit terkejut. Tubuhnya sedikit tertarik kedepan namun kemudian ia memejamkan matanya kembali. Membiarkan yang lainnya turun terlebih dahulu.

"Medi..."

Medi menatap Simon yang ada di depannya. Laki-laki itu menarik tangannya. Merekatkan tubuhnya begitu saja. Simon memeluknya. Begitu erat, wangi tubuhnya tercium. Semerbak harum maskulin yang ia rasa. Medi terkejut sangat terkejut. Ia tak pernah di peluk laki-laki lain selain Prasetya. Rasanya begitu lain. Namun ia tahu ada yang lain terjadi disana. Ia merasakan detak jantung Simon yang begitu kencang tak beraturan. Nafasnya yang begitu menderu seperti orang yang tengah bersiap membidik musuh. Seperti di hadapkan pada sebuah perang yang mengharuskan ia mati.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang