Epilog

2K 108 3
                                    

Suara gaduh mesin mulai terdengar. Sementara pramugari-pramugari cantik disana sibuk untuk memberikan petunjuk tentang apa dan bagaimana yang harus penumpang lakukan. Lalu lalang perempuan-perempuan itu masih terasa. Aku duduk di sebuah kursi kelas bisnis salah satu maskapai penerbangan. Masih ku baca-baca katalog yang aku dapatkan dari bandara tadi.

"Mas, aku takut", ujar perempuan yang ada di sisiku ini.

Aku mulai terkekeh. Tersenyum kepadanya. Ku raih tubuh kecil itu. Kemudian mencium puncak kepalanya. Sungguh aku sangat beruntung mendapatkan dia. Ku ingat saat awal kali bertemu dengannya. Atau saat ku bacakan ijab qobul di depan ayahanda sedikitpun aku belum mencintainya sama sekali. Namun ketika malam itu, Allah memberikan sebuah cinta padaku. Dia adalah perempuan yang sangat aku cintai sekarang dan selamanya.

"Ada saya disini. Jangan takut", kataku.

Nafisah menutup matanya. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Ku rangkul tubuhnya yang mungil. Aku tak ingin dia merasa ketakutan. Kini ada aku disisinya yang siap menjaga dirinya kapanpun itu. Pesawat mulai lepas landas. Bergetar begitu hebat. Nafisah semakin mengencangkan pegangan tangannya. Sedangkan aku mengencangkan pelukanku padanya. Pesawat kami mulai mengangkasa. Aku tersenyum.

"Buka mata sayang. Lihat disana awannya indah sekali"

"Ndak mas. Aku takut"

"Ndak apa. Ayo sekali saja"

"Ndak mas"

"Yakin? Ya sudah biar aku yang menikmati indahnya awan itu sendirian"

Istriku mulai membuka matanya perlahan. Aku tahu tentang dia yang sangat takut untuk naik pesawat. Tujuh bulan sudah aku menikah dengannya membuatku tahu semua tentang dia. Aku juga semua tentang Mediterania. Mereka ada dua orang yang berbeda dalam satu kesamaan. Entahlah, kadang Allah memiliki sebuah rencana yang begitu indah. Yang tidak pernah tertebak sekalipun.

"Indah?", Ujarku.

"Sangat"

"Masih takut?"

"Tidak"

Dia terdiam. Menikmati indahnya awan di langit itu. Putih dan biru. Memang indah sekali. Tugasku untuk menjaga kepulauan Bangka membuatku harus membawa serta Nafisah pula kesana. Aku tidak mungkin meninggalkan istriku yang tengah hamil muda sendirian bersama bunda. Kandungan Nafisah sudah memasuki lima bulan. Jadi aku tak ingin meninggalkan dia. Lagi pula sudah ada rumah dinas yang telah di siapkan untuk kami berteduh nanti. Tentang bunda, aku sudah mengajaknya untuk pergi bersama kami. Namun dia menolak dan meminta untuk menjaga rumah peninggalan mendiang kakek. Aku tahu betul, rumah itu begitu berarti bagi bunda. Kenangannya bersama ayah selalu ada disana. Disana adalah tempat ayah tumbuh hingga menikah. Bahkan sampai ujung hayatnya.

"Kalau aku tahu melihat awan akan seindah ini mungkin waktu itu aku akan berani untuk menatap awan bersama Medi", ujarnya.

Aku menghela napas. Rupanya istriku belum bisa melupakan kejadian itu. Memang sangat membekas. Aku pun tak bisa memungkiri hal itu. Ku pikir baik-baik agar bisa menghibur perempuan ini.

"Tau kenapa?"

"Kenapa?"

"Hmmm istriku ini penakut", ujarku. Nafisah mengerucutkan bibirnya sebal.

"Tapi, Medi sudah meminjamkan keberaniannya buat kamu. Disini", tambahku sembari menyentuh dada sebelah kirinya.

Nafisah mulai tersenyum. Mungkin dia mulai berpikir tentang kebenaran yang aku katakan. Yah, Medi terus ada dalam hati kita semua. Bukan dalam hatiku saja, dalam hati istriku juga. Dia telah menjadi kenangan manis yang aku ingat. Tapi fakta terbesarnya adalah Nafisah lah yang akan menjadi masa depanku. Yah, bahkan saat ini dia sudah menjadi masa depanku.

"Naf"

"Ya"

"Sumpah demi Allah, saya tidak akan pernah meninggalkan kamu. Sumpah demi Allah saya mencintai kamu"

"Mas"

"Tetap dampingi saya. Kemanapun saya pergi. Tetap di sisi saya, berikan saya cinta"

"Ketika pertama kalinya kamu mengucapkan ijab untukku. Aku sudah jatuh cinta padamu mas. Dan sebelum dari itu, aku telah memantapkan hati untukmu"

Aku memeluknya. Sekali lagi, aku jatuh cinta kepada Nafisah. Aku jatuh cinta kepada seorang wanita yang bernama Inayatul Nafisah. Seorang perempuan Sholehah yang mana aku sangat beruntung untuk itu. Sekali lagi, Allah menunjukkan jalan terbaik-Nya. Dimana aku tidak mendapatkan seseorang yang baik hati dan pemberani seperti Mediterania, tapi aku mendapatkan seseorang yang penuh cinta dan kasih seperti Nafisah. Betapa Allah begitu adil seperti apa yang telah di gambarkan pada sabda-Nya di dalam Al-Qur'an. Tinggal kita yang harus percaya dengan segala janji-Nya. Betapa janji Allah adalah janji terbaik diatas semua janji. Yang mana keputusan-Nya pula adalah sebaik-baiknya keputusan daripada kita yang hanya seorang umat.

----------------------END------------------------

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang