Senja Pertama

1.1K 115 4
                                    

Setya berlari menyusuri Padang ilalang luas di belakang sekolah. Hari ini, setelah mengajar ia mantapkan niatnya ingin melihat Padang luas disana. Gambaran indah tentang Padang itu dalam sebuah catatan ayahanda tercinta membuatnya semakin penasaran. Nafasnya berderu. Keringatnya mulai mengucur. Padang ilalang itu jauh melampaui apa yang ia bayangkan. Amat luas. Sangat luas. Dengan ilalang yang tumbuh banyak sekali. Namun ia tak menyerah. Keindahan yang menakjubkan membuatnya makin giat untuk berlari. Ia ingin menatap laut yang begitu indah. Begitu biru. Ia ingin melihatnya. Nama sebuah samudra disana. Yang di abadikan dalam nama gadis yang amat ia cinta.

"Mediterania...", Gumamnya.

Namun bukan gadis bermata hitam yang ia jumpai. Bukan gadis berambut pendek sebahu yang ia temui. Bukan gadis yang menggunakan seragam loreng yang menoleh ke arahnya. Tapi seseorang berkata hijau bagai permata zamrud. Gadis berambut panjang yang menoleh ke arahnya. Tersenyum begitu manis.

"Kau suka dengan Mediterania?", Katanya.

"Ya.. sangat"

Tentu saja, dia tidak hanya mengangumi samudera bernama Mediterania disana. Tapi dia juga mengagumi seseorang dengan nama yang sama. Andai saja. Dia bisa memandang samudera yang sama dengan Medi. Andai saja. Ilona tampak tersenyum kepadanya. Entah mengapa, tapi ia merasakan ada yang aneh pada Ilona. Caranya memandang, caranya tersenyum, caranya berbicara pada Setya.

"Sudah lama disini?", Tanya Setya kemudian.

"Hmm ya, jarak tempat ini dan sekolah cukup jauh. Aku hanya ingin melihat tempat kesukaanku saja. Sedari kecil papa soldier selalu membawaku kesini. Katanya, semua teman-temannya suka tempat ini"

Setya hanya mengangguk. Ia tak mampu lagi berkata. Seakan bibirnya telah tercekat. Ilona masih berdiri disana. Memandang Setya dengan senyum yang terus mengembang.  Setya mulai memposisikan dirinya untuk duduk di Padang itu. Ia menghela napas. Mengatur kembali kembang kempisnya napas yang masih memburu. Ia tatap Ilona yang juga menatapnya. Beberapa detik tatapan mereka mulai beradu.

"Duduklah. Jika kamu mau", ujar Setya.

Ilona mulai melangkah mendekatinya. Ia mulai duduk di samping Setya. Menunduk begitu saja. Gadis itu merasakan malu yang luar biasa. Entahlah apa yang ia rasa. Seakan kupu-kupu dalam perutnya mulai berpesta ria. Pipinya mulai bersemu kemerahan. Setya melihatnya. Pipi putih itu berubah menjadi begitu merah. Ah, manis sekali. Tapi bukan Setya apabila ia luluh begitu saja. Justru yang ada dalam benak laki-laki itu adalah, aku tidak peduli. Setya membuka sebuah catatan yang sempat ia bawa. Di bukanya buku itu. Ia tatap sebuah potret ya ada dalam sana. Kemudian menatap Mediterania secara langsung.

"Masya Allah... Sama persis", gumamnya.

"Apa itu?"

"Ini?", Katanya.

Ilona tampak mengangguk. Ia seakan ingin tahu tentang apapun dari Setya. Ia ingin tahu betul siapa laki-laki baik hati ini. Ia seakan menemukan papa soldier nya yang telah pulang ke tanah airnya. Ia temukan Setya disini. Laki-laki yang sama dengan papa angkatnya itu.

"Ini catatan kecil ayah saya. Dulu dia tentara yang bertugas di Lebanon juga. Tapi harus gugur karna suatu alasan. Dia meninggalkan ini untuk saya dan bunda, dan saya selalu membawanya kemanapun saya pergi"

"Ayahmu adalah seorang tentara juga?"

"Ya"

"Apakah dia mengenal papa soldier saya?"

"Tidak tahu"

Ilona menghela napas. Rasanya ia telah putus asa tentang mencari keberadaan papa angkatnya. Bertahun-tahun juga tak pernah dia mendapatkan kabar akan hal itu. Entahlah bagaimana harus dia mencarinya lagi. Setya menatap Ilona. Ia ingin menanyakan suatu pertanyaan yang selalu membuat jengah di kepalanya.

"Kenapa kamu bisa lancar berbahasa Indonesia", katanya segera.

Ilona terkekeh. Ia tersenyum kemudian menghela napas. Mata hijaunya menatap lautan Mediterania disana. Sesekali berkedip begitu indah. Melebihi keindahan batu permata hijau. Mata itu begitu bening, cantik dan terang. Siapapun yang melihatnya akan terpesona dengan kegilaan yang di pancarkan dari cantiknya mata itu. Sungguh, indah sekali. Bahkan kini Setya dibuat terpaku dengan indah mata milik Ilona itu.

"Sudah pernah ku ceritakan tentang papa soldier bukan?"

"Ya"

"Dia yang mengajariku berbahasa Indonesia. Bahkan aku lebih suka berbahasa Indonesia daripada harus menggunakan bahasaku sendiri"

"Ilona..."

"Ya"

"Saya yakin kamu bukan keturunan Lebanon. Kamu berbeda dengan orang kebanyakan. Kamu lebih ke..."

"Russian", katanya.

Ilona tersenyum getir. Ia kembali menghela napas kemudian menatap langit sore. Awan begitu indah berwarna biru dengan semburat jingga yang begitu menakjubkan. Berkilau bersama sisa cahaya mentari yang membias pada dua wajah disana. Rambut cokelat milik Ilona menyibak tertiup angin. Seakan-akan tengah di belai oleh angin yang ikut mendengarkan perbincangan dua muda-mudi itu.

"Ketahuilah aku adalah anak terbuang. Pernah aku ceritakan padamu tentang bagaimana aku menjadi korban human trafficking dan papa soldier yang bertanggung jawab atas hidupku saat itu"

"Apa itu alasan kamu begitu membanggakannya?"

"Tentu saja Setya. Papa ku adalah seorang tentara Rusia yang gugur dalam tugasnya. Mama melahirkanku seorang diri namun dia harus tidak selamat. Hidupku berujung di sebuah panti asuhan, kemudian menjadi budak dan di jual di Lebanon. Tapi kemudian papa soldier yang menemukanku. Membuatku menjadi seorang gadis cilik pada umumnya. Dia memberiku cinta, kasih sayang dan semua yang di perlukan oleh seorang gadis cilik itu"

Ilona tampak menghela napas untuk kesekian kalinya. Air matanya mulai mengalir. Membasahi pipinya yang bersemu. Ia selalu menjadi seorang yang mudah tersentuh ketika menceritakan tentang kisah hidupnya. Setya menatapnya. Ia masih terdiam tak melakukan apapun.

"Papa ingin membawaku ke tanah airnya tapi tugasnya melarang akan hal itu. Dia mencoba menghubungi kedutaan Rusia namun aku bukan lagi menjadi warga negaranya. Akhirnya, dia menyerahkan gadis cilik bernama Maria Ilona itu ke pihak gereja karna satu-satunya tempat yang akan bertanggung jawab atas ku adalah rumah Tuhan. Hingga sekarang inilah aku, Maria Ilona"

Setya meraih tubuh gadis itu. Ia memeluknya begitu saja. Memberikan sebuah peluk hangat yang tiba-tiba. Ilona tak percaya akan hal itu. Namun tangannya ikut merengkuh tubuh Setya. Ia ikut memeluk laki-laki itu. Nyaman sekali. Jantungnya berdegup dengan kencang. Pipinya mulai memerah. Ia pejamkan matanya sejenak. Merasakan begitu indahnya rasa di cinta.

Sedangkan laki-laki itu? Kini ia tampak membisu. Ia tak bicara sepatah katapun. Ia hanya ingat apa yang Medi katakan tempo itu. Hal yang selalu ia lakukan kala seseorang merasakan sedih. Memorinya berputar di masa silam. Ketika ia dan Medi masih bersama.

"Aku suka seseorang memelukku ketika aku bersedih?", Kata Medi kala itu.

"Kenapa?"

"Set, orang memerlukan sebuah ketenangan, memerlukan sebuah semangat. Orang akan begitu tenang ketika ia di dengarkan ketika dia merasa nyaman. Dengan cara apa? Dengan cara memeluknya kemudian mendengarkan apapun yang di katakannya. Jadi mulai sekarang kalo aku atau orang lain sedih, lakukan itu okay?"

"Siap laksanakan"

Setya kembali lagi pada kesadarannya. Namun ia juga berpikir seribu kali apa yang ia lakukan benar atau tidak. Entahlah ia hanya ingin Ilona merasa nyaman, merasa di dengarkan. Karna gadis ini memerlukan hal itu sekarang. Dan ia hanya mengerti cara yang dikatakan Mediterania. Ilona membuka matanya. Kemudian mengerjap beberapa kali. Ia menjauhkan tubuhnya dari tubuh laki-laki itu.

"Setya!", Ujarnya. Setya menatap Ilona. Ia sedikit terkejut dengan perlakuan Ilona.

"Lihat", tambah gadis itu sembari menunjuk langit Lebanon.

"Senja pertamaku", bisik Setya.

Kali pertama Prasetya menatap langit Lebanon bersama samudera Mediterania. Kali pertama ia duduk disana. Di tempat yang selalu menjadi cerita ayahnya. Indah memang. Sangat. Bahkan ia takjub dengan indahnya. Ia tak bisa berkata apapun lagi. Senjanya kali ini ditemani gadis cantik bernama Ilona.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang