Simon

1.8K 131 0
                                    

Malam terasa begitu dingin. Sinar bulan begitu terang. Memancarkan sebuah cahaya yang begitu indah. Namun terasa menyebalkan untuk seorang pria. Ia masuk kedalam baraknya. Dadanya masih naik turun tak menentu. Tangannya menggenggam. Siap untuk melayangkan sebuah tinju pada siapapun.

"Aarrgghhh!!", Serunya.

Namun tak ada orang yang mendengar. Orang-orang masih berada di luar barak. Bahkan masih ada yang berada di halaman. Ia memukulkan tangannya pada ranjang. Laki-laki itu mulai menghela napas. Membiarkan udara masuk memenuhi relung paru-parunya untuk bernapas tenang.

"Bapak, bantu saya untuk tenang", ucapnya sembari membuat salib untuk dirinya sendiri.

Gregorius Simon Santoso, mulai beranjak dari duduknya. Tubuhnya tinggi, kekar. Perawakan sempurna untuk seorang laki-laki. Ia berjalan lebih tenang sekarang. Entah mengapa apa yang ia lihat tadi membuatnya begitu geram. Simon tak pernah merasa seperti itu sebelumnya. Ia adalah tipikal pria yang acuh pada siapapun. Cenderung diam dan sulit di ajak bercanda. Jangankan bercanda, ada yang berhasil menahan Simon untuk mengobrol lima belas menit saja sudah sangat luar biasa. Ia tak pernah ikut campur dalam urusan apapun dengan siapapun. Tapi malam ini, ia begitu marah.

Ia pun tak mengerti mengapa ia harus marah. Padahal, ia hanya tidak sengaja melihat dua orang adik tingkatnya yang sedang bergurau di kedai nasi goreng yang ia lewati ketika pesiar. Tapi rasanya begitu menyebalkan. Ada yang mengganjal dalam hatinya. Bahkan ingin ia memberi pelajaran pada salah satunya.

"Sudah balik kau?", Kata seorang pria yang tiba-tiba muncul dari ambang pintu.

Simon tak merespon yang dikatakan pria itu. Ia hanya menatapnya kemudian terdiam. Beberapa orang menganggapnya begitu sombong, namun sejujurnya pria itu memang memiliki sifat yang tidak suka berbasa-basi atau bertele-tele. Baginya, itu sangat membuang-buang waktu. Sedangkan waktu adalah sesuatu yang begitu berharga baginya.

"Hei! Aku bicara pada Bung!", Kata pria yang berada di ambang pintu sekali lagi.

Simon menatapnya lagi. Ia memutar bola matanya jengah. Kemudian menghela napas dengan kasar. Ia mulai berdecak pinggang. Pria yang berdiri diambang pintu mulai mendekat sembari terkekeh. Kemudian meraih bahu Simon begitu saja.

"Ada apa bung?", Katanya.

"Kamu tahu dengan saya. Pasti kamu paham saya sedang tidak ingin bicara apapun!", Tukas Simon.

Pria itu mulai tertawa. Ia memang tahu bagaimana sifat laki-laki di sampingnya itu. Bagaimana tidak, tumbuh dan besar bersama tentu ia sudah paham bagaimana seorang Gregorius Simon Santoso. Ia mengenalnya begitu dekat. Parasean Baringbing, adalah sahabat Simon. Ia dan Simon di besarkan dalam komplek yang sama. Keduanya di besarkan dalam batalyon angkatan darat. Ia tahu bagaimana Simon dan seluk beluknya. Namun tetap saja, ia suka sekali menggoda Simon. Membuat pria itu kesal hingga bersungut-sungut.

"Jangan lah kau marah-marah", Goda laki-laki itu.

"Apa kamu!", Ujar Simon kesal.

"Ei! Kau tahu apa yang aku dapat tadi"

"Apa!"

"Kau mau tahu?"

"Apa!"

"Mau tahu tidak?!"

"Iya! Apa!"

"Tak usah kau ngegas begitu!"

"Iya, apa", Kata Simon sembari mengubah nada bicaranya lebih halus. Terlihat sekali laki-laki itu tengah membuat-buat cara bicaranya sedemikian rupa yang malah di sambut tawa oleh Sean.

"Kamu mau beri tahu saya tidak sih!", Ujar Simon yang semakin kesal dengan perlakuan sahabat karibnya itu.

"Iya, iya aku beri tahu", kata Sean sembari berusaha membuat tawanya terhenti. Ia menghela napas panjang kemudian mencoba menstabilkan dirinya.

"Ah! Kau tahu. Aku sudah tahu siapa nama sermadatar yang waktu itu kau tunjuk padaku di halaman saat itu"

"Mediterania princessita Tiahahu putri dari Serma Linus Tiahahu, yang purna saat tugas di Lebanon ketika beliau menjadi pasukan perdamaian disana. Dalam misi khusus penyelamatan seorang sandera"

"Bagaimana ka-"

"Saya tahu semuanya, ketika saya pernah merampas buku yang selalu dia bawa. Saya baca lembaran pertama dan saya ingatkan semua yang saya baca"

"Hebat kali kau bung", ujar Sean.

"Ada yang kamu ketahui lagi tentang Mediterania? Selain hal itu?"

Sean tampak berpikir. Membuat ekspresi menyebalkan pada wajahnya. Hal itu membuat Simon merasa jengah pada pria itu. Ingin rasanya menendangnya keras-keras hingga terpental keluar dari barak. Tapi rasanya hanya Sean yang mau menemani Simon dimanapun dan kapanpun ia berada. Bisa dibilang Sean adalah tipikal sahabat sempurna. Sebab laki-laki itu rela bersusah diri demi seorang Simon.

"Ah iya, kau tahu Mediterania itu adalah sosok yang populer dan di incar banyak taruna disini"

"Bodoh! Hal itu saya sudah tahu. Walaupun saya bersikap masa bodoh seperti ini, tapi saya masih punya akal. Pria mana yang tidak mau dengan gadis seperti itu!"

"Iya juga sih. Jujur aja aku pun mau"

"Tidak!"

"Iya.."

"Tidak!"

"Iya, santai aja kali"

"Saya bilang tidak ya tidak!"

"Iya dengarkan dulu, maksud aku, iya tidak! Ah! Macam mana kau"

Simon terdiam. Kemudian pergi meninggalkan Sean begitu saja. Kebiasaan buruk seorang Simon. Ia melenggang dalam lorong-lorong akademi. Entah kemana ia pergi pun ia tak tahu. Ia hanya mengikuti kakinya untuk melangkah. Sebentar lagi ia akan keluar dari tempat ini. Menjadi perwira muda, dan meninggalkan akademi. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Ada sesuatu ketakutan disana.

Jujur saja, ia memiliki rasa yang lebih pada seorang Mediterania. Selalu memperhatikan gadis itu dari jauh. Bukan kemarin atau baru saja. Tapi setiap waktu. Pasca pertama ia melihat seorang Mediterania. Ketika gadis itu masih menjabat sebagai pratar. Hingga baru saat ini, ia mengetahui nama gadis yang ia cinta. Namanya Mediterania. Nama yang begitu indah buatnya. Ia tak suka melihat gadis itu berbicara dengan laki-laki. Tak suka melihat gadis itu begitu dekat dengan laki-laki. Sebab hatinya akan begitu sakit. Perih. Sesak. Pengap.

Ia selalu mengikuti kemanapun gadis itu pergi. Mendengarkan gadis itu bicara meskipun bersembunyi. Egonya lebih tinggi dari hatinya. Namun cintanya lebih kuat dari egonya. Seberapapun egonya berkata bahwa ia mencintai Medi, cintanya tetap mengatakan iya.

Brukkk!

"Kamu punya mata?!", Kata Simon ketika seseorang menubruk tubuhnya dari depan.

"Ijin kaksu. Maaf"

Hatinya mulai berdetak. Tak beraturan. Detakannya makin menjadi-jadi. Matanya menatap orang didepan itu. Yang ditatap masih menunduk. Tapi rasanya hilang rasa amarahnya. Gadis didepannya bagaikan air yang mampu memadamkan api dalam dirinya. Beberapa saat kemudian, mata mereka mulai beradu. Ketika si gadis mulai mengangkat wajahnya.

Simon tak bisa berkata apapun lagi. Bibirnya seakan terkunci. Kakinya terpatri begitu kuat. Medi masih menatapnya. Tatapan yang begitu tegas namun begitu indah. Ah, nyaman sekali untuk seorang Simon. Ingin rasanya terus menatap mata cantik bak lautan jernih. Tapi kembali lagi egonya menuntutnya untuk pergi. Ia tak berkata apapun. Tangan kanannya hanya terangkat keatas kemudian melenggang pergi. Sebenarnya ia ingin disana. Menatap Medi lebih lama. Berbicara hati ke hati. Menggenggam tangan gadis itu apapun yang terjadi.

Medi menatap punggung yang mulai menjauh. Ia ingat sekali siapa orang itu. Orang yang membuatnya begitu marah kemarin-kemarin. Entahlah segala sesuatu tentangnya sangat misterius. Bagaikan bongkahan puzzle yang sulit di pecahkan.

"Aneh", guman gadis itu.

Rasanya baru kemarin orang itu begitu marah padanya meskipun ia tak berbuat kesalahan. Tapi hari ini bersikap acuh tak acuh. Seperti tidak pernah mengenal atau melihatnya. Masa bodoh, pikir Medi. Gadis itu mulai melenggang menuju baraknya. Yang terpenting saat ini, ia begitu bahagia. Hari ini begitu menakjubkan untuknya. Ia bisa merasa begitu tenang di dekat Prasetya. Ah, lagi-lagi nama itu yang terngiang dalam benaknya.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang