Titik Temu

1.1K 108 2
                                    

"Letnan Prasetya! Letnan Rama"

"Siap kapten!"

"Sesuai pembagian tugas. Kalian akan di tempatkan sebagai tenaga pendidik anak-anak di sekolah"

"Ijin bertanya!"

"Ya"

"Apakah yang kapten maksud sekolah yang ada di ujung sana?"

"Ya bisa jadi. Ada dua sekolah disini. Satu sekolah di gedung tua disana"

Setya menatap gedung tua disana. Gedung dengan desain lebih mirip dengan gereja. Ia tersenyum. Sebab, dahulu di sanalah bundanya mengajar anak-anak Lebanon. Di sana juga ada sebuah romansa cinta antara ayah bundanya. Indah sekali bukan. Dalam hatinya ia berkata, ia berhasil melihat secara langsung apa yang menjadi tempat sejarah ayahnya. Tapi, di gedung itulah ayahnya wafat. Masih terlihat sisa-sisa kebakaran dari berpuluh tahun lalu. Dinding-dinding yang hitam. Puing-puing yang sengaja di biarkan seperti itu.

"Setiap hari Senin sampai Jumat kau mengajar disana. Tapi hari Sabtu dan Minggu kau mengajar di dekat posko dua. Di sana masih di butuhkan tenaga pendidik. Bagus dan Herman tidak bisa mengajar disana setiap Sabtu karna mereka beribadah pagi. Sedangkan disini masih ada Rama yang bisa mengajar di sekolah itu. Ada yang keberatan?"

"Siap kapten!"

"Ya, karna ini hari Sabtu. Maka Rama kau bersiaplah untuk pergi dan kau Prasetya bersiaplah untuk pergi juga. Kau naik kendaraan kita. Berani kau seorang diri?"

"Siap kapten!"

"Setelah saya bubarkan silahkan menuju tugasnya masing-masing"

"Bubar! Jalan!"

Keduanya mulai berpencar. Ada tugas yang telah menanti mereka disini. Setya menatap sebuah bangunan tua disana. Mungkin hari ini, dia tak bisa menginjakkan kakinya disana. Tak bisa melihat secara langsung detail-detail saksi sejarah atas perjuangan ayahanda. Tapi dalam hatinya, ada sebuah keyakinan. Keyakinan yang kuat bahwa dimana pun dia akan bertugas, dia harus mampu menjadi apa yang di harapkan mendiang ayahnya. Dalam sebuah catatan kecil, ayahnya berkata. Ia ingin anak laki-laki menjadi seorang pengayom masyarakat. Memberi kedamaian seluruh umat manusia. Hatinya semakin yakin bahwa ia pasti bisa.

"Set, aku berangkat dulu yah", kata Rama.

Ia mengangguk. Kemudian bergegas naik ke dalam kendaraan yang di siapkan. Sebuah mobil pick up milik TNI. Ia lajukan mobil itu. Membelah diantara jalan kering yang berdebu. Setya memandangi jalanan di sekitarnya. Jalanan yang ia lalui. Ah, mungkin menyenangkan apabila ia bersama-sama dengan Medi disini. Mungkin, ia akan sangat bahagia ketika mereka sama-sama menunaikan tugas di tempat yang sama. Tapi sudahlah. Tidak masalah. Ia ingat apa yang menjadi tujuannya. Yah, bangsa dan negara. Apalagi yang lebih penting.

Ia telah melajukan mobilnya sangat jauh. Bahkan hampir sampai pada tempat yang di tuju. Ia parkirkan tepat di depan gedung. Orang-orang rupanya telah menyambut dirinya. Mereka berjajar-jajar. Setya tersenyum. Suasana yang sama ketika ayahnya pertama kali datang ke sekolah. Sama seperti yang ayahnya tuliskan pada buku itu. Ingin dia menangis. Ini benar-benar persis. Seorang wanita renta menghampirinya. Menyambutnya kemudian menjabat tangannya. 

Hari pertamanya bertugas sangat luar biasa. Bahkan sangat berkesan untuknya. Setya duduk di bangku depan sekolah. Melihat anak-anak yang tersenyum dan tertawa begitu bahagia. Mereka tak memiliki apapun. Mereka tidak menggunakan alas kaki. Tidak menggunakan baju-baju indah nan sempurna. Tapi tawa dan senyum mereka benar-benar tidak mengada. Semuanya suci dari hati. Terkadang, dia malu dengan dirinya sendiri. Nikmat apalagi yang kurang untuk kita. Sedangkan Tuhan telah memberikan segalanya. Jika masih terasa kurang, maka kita yang salah sebab kita juga kurang untuk bersyukur.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang