Isabella

3.5K 213 4
                                    

Malam telah membungkus kota Bandung. Memberikan gulita dimana-mana. Anginnya semilir begitu dingin. Menusuk tulang belulang. Hujan juga rupanya turun. Rintiknya mulai datang membasahi bumi. Isabella masih termenung di balkon kamarnya. Menatap gelap diluar sana. Ayahnya belum pulang dari rumah sakit, ia harus menantinya dirumah seorang diri. Setiap hari dalam hidupnya.

Isabella Elena Radyadinata, gadis itu terlahir dari keluarga yang amat sangat berkecukupan. Bagaimana tidak, ayahnya adalah dokter Evan Radyadinata mendengar namanya saja orang-orang akan tahu siapa dokter itu. Tak pernah ada kata kekurangan dalam hidup Isabella kecuali kekurangan kasih sayang. Ia tak pernah merasakan sentuhan ibunya sama sekali. Ia tak pernah menatap ibunya secara nyata. Tak pernah ia tahu bagaimana sosok sang ibu. Yang ia tahu hanya nama ibunya yang tersemat dalam namanya, Elena. Yah, ibunya bernama Elena. Ia hanya mengenalnya lewat cerita-cerita yang dikata orang. Tanpa ia tahu bagaimana sesungguhnya.

Isabella masuk kedalam kamarnya. Menutup pintu balkon kamarnya. Ia tatap sebuah potret yang terpajang di dinding. Ia menghela napas. Rasanya sesak sekali. Merasa menjadi anak piatu. Ia tak ingin apapun dalam hidupnya. Sebab ia telah memiliki segalanya. Yang tidak ia punya hanya satu, kasih sayang. Ibunya telah meninggal jauh saat dia dilahirkan ke dunia. Sedang pekerjaan ayahnya sebagai seorang dokter membuat Isabella benar-benar tidak mempunyai waktu bersama sang ayah.

"Ma. Hari ini papa pulang telat lagi. Isbel takut sendiri ma. Andai mama ada sama-sama dengan Isbel mungkin Isbel tak akan setakut ini.", gumamnya.

Gadis itu mulai mendudukan dirinya pada meja belajar. Ia mulai membuka sebuah catatan kecil. Surat-surat dalam diary yang di tulis Elena untuknya. Ayahnya pernah bercerita bahwa ibunya selalu menuliskan surat untuknya semasa mengandung. Surat-surat yang selalu dibaca berulang kali oleh gadis itu. Terkadang, ia menangis. Ikut merasakan bagaimana penderitaan ibunya ketika mengandung. Bagaimana perjuangan ibunya ketika melawan rasa sakit itu. Isabella mulai terisak seorang diri. Hidupnya begitu sepi. Ia usap air mata yang mengalir menuruni pipinya. Matanya tak sengaja menerawang bingkai foto di meja belajarnya. Ia raih bingkai itu, sebuah potret dirinya tersenyum begitu lebar dengan seorang laki-laki disampingnya. Mereka masih menggunakan seragam putih abu-abu. Isabella ingat betul kapan foto itu diambil. Foto itu diambil ketika pertama kali ia masuk SMA. Kini ia masih duduk di kelas 2 SMA. Sudah setahun foto itu diambil.

"Kakak...", Gumamnya.

Drrtttt...
Drrtttt...

Isabella berpaling pada ponselnya yang bergetar disampingnya. Sebuah telepon masuk. Ia tatap sebuah nama yang ada dilayar ponselnya. Sebuah nama yang bisa membuatnya tersenyum. Tangannya mulai menyentuh panel. Mengangkat panggilan itu.

"Halo..", sapanya.

"Halo, Isbel dimana?"

"Dirumah kak. Ada apa?"

"Boleh keluar?"

"Kakak kan-"

"Saya sudah kembali"

Seketika itu, sebuah senyum tersungging diwajah cantik Isabella. Ia terdiam. Masih mendengarkan sambungan telepon itu. Hatinya begitu bahagia. Entah mengapa. Semua rasa sepinya sirna seketika.

"Isbel..."

"Iya kak. Bisa kok"

"Turun sekarang. Saya menunggu digerbang. Ada banyak yang harus saya sampaikan tapi waktu yang saya punya tidak banyak. Hanya malam ini saja"

"Iya kak, aku turun sekarang"

Isabella mulai memutuskan sambungan teleponnya. Ia meraih sebuah jaket yang ada di gantungan baju. Ia kenakan begitu saja. Gadis itu berlari turun melalui tangga. Kemudian membuka pintu rumahnya. Tepat di depan gerbang sana,  Seorang pemuda tengah menunggunya. Duduk diatas motornya. Isabella tersenyum. Perlahan ia mendekati pemuda disana.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang